“Kita ini seperti kehilangan ruang bahagia dan rasa humor ya mas,” demikian celutuk salah seorang seniman kepada saya saat kami ngobrol santai di rumah Budaya Banjarsari Solo tahun 2019.
“Lha emang kenapa mas,” jawabku memancing agar mereka mau mengeluarkan perasaannya secara lebih terbuka.
“Orang sekarang sensitif, mudah tersinggung. Kalau sudah tersinggung gampang membawa-bawa nama Tuhan dan agama” kata seniman lain menimpali.
“Iya gak kayak dulu kita ayik-asyik saja membuat guyonan dan kreasi seni yang kritis dan nyrempet-nyrempet kelakuan orang beragama yang jarkoni (hanya omong doang, tidak menjalani apa yang diomongkan-pen)”.
“Sejak adanya kelompok yang suka mempersekusi orang lain atas nama Tuhan dan agama, masyarakat jadi kehilangan rasa humor. Jangankan membuat lelucon sekadar mengapreasiasi humor dengan tertawa saja sepertinya sudah susah, karena takut dianggap mendukung pelecehan agama”.
“Ah sampean terlalu berlebihan, masih banyak kok masyarakat yang tidak seperti mereka, yang tidak gampang tersinggung dengan humor dan karya seni, bisa membedakan penistaan dan guyonan, tahu orang yang menista agama dan sekadar mengekspresikan kritik melalui seni,” kataku menghibur mereka.
“Emang, tapi kan mereka diam” sahut salah satu di antara mereka. “Kalau terjadi sesuatu di antara kita ya kita sendiri yang menanggung, bahkan teman-teman sesama seniman tidak bisa berbuat banyak, karena kelompok itu tidak segan-segan mempersekusi dengan segala cara dan melibas siapa saja yang membela,” lanjutnya.
“Bagaimana bisa bahagia, jika kehidupan kita selalu diancam dengan tuduhan yang mengerikan. Kita tak bisa bercengkrama secara santai dan menuangkan ide kreatif secara nyaman karena takut menyinggung perasaan kemudian dituduh menista agama. Mereka telah merebut ruang bahagia masyarakat atas nama agama. ” kata seniman tersebut
Saya mendengarkan dengan seksama keluhan teman-teman seniman ini. Saya seperti sedang berbicara dengan diriku sendiri. Suara-suara yang keluar dari para seniman itu adalah suara hati saya yang selama ini selalu terabaikan. Saat itu, saya seperti sedang bercermin melihat wajah sendiri yang kusam dan kusut dihinggapi ketakutan yang membatu. Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan, karena mereka saya adalah bagian dari mereka.
Meski disampaikan dengan cara-cara yang santai dan penuh canda namun saya tahu mereka sebenarnya sedang menahan beban dan luka karena hilangnya ruang bahagia dan rasa humor. Ungkapan-ungkapan jenaka yang mereka lontarkan itu adalah ironi atas ketakutan dan rasa was-was yang menghantui mereka. Di rumah Banjarsari, malam itu saya seperti melihat adanya defisit tradisi yang dilindas oleh arus puritanisme agama yang membuat pemeluk agama menjadi sentimentil, sensitif, mudah tersinggung dan marah dan mudah memberikan ancaman terhadap kelompok lain yang berbeda.
Fenomena defisit tradisi dan budaya ini terjadi bukan karena para seniman tidak kreatif, atau kehilangan semangat dan ide kreatf untuk menghasilkan karya seni adilihung. Sebaliknya mereka memiliki semangat berkreasi yang sangat tinggi. Mereka juga memiliki daya dan ide-ide kreatif brilliant. Namun ide-ide kreatif itu enggan mereka munculkan dalam suatu karya seni karena ketakutan menghadapi berbagai tekanan dan ancaman dari sekelompok orang yang selalu menggunakan agama untuk mempersekusi suatu karya seni. Mereka dengan mudah menuding seseorang melakukan penistaan dan melecehkan agama karena tindakan, perkataan dan hasil karya yang dianggap tidak sejalan dengan pemahaman keagamaan mereka.
Jika sudah demikian, mereka akan memaksakan kehendak dengan unjuk kekuatan massa sambil membawa nama Tuhan dan simbol agama untuk mempersekusi, intimidasi dan mengambil tindakan hukum sesuai dengan kemauan kelompoknya. Hal ini dilakukan di berbagai tempat, mulai di tempat ibadah, dunia maya sampai di jalanan. Tak ada dialog dan negosiasi, bahkan negara dan aparat sekalipun sering harus mengalah terhadap kelompok ini dengan alasan menjaga harmoni dan ketertiban.
Memperingatkan seniman agar tidak mempermainkan agama memang perlu dilakukan, karena agama adalah wilayah yang sakral yang tidak layak untuk dijadikan bahan guyonan. Tetapi mengatasnamakan agama dan menggunakan simbol agama secara tidak tepat justru membahayakan kehidupan. Sikap demikian tidak saja bisa membunuh kreatifitas manusia, tidak hanya seniman, tetapi justru bisa memperburuk citra agama itu senidiri. Karena bisa menimbulkan persepsi agama adalah pembunuh kreatifitas, penebar ketakutan yang bisa menghilangkan ruang bahagia dan membunuh rasa humor masyarakat.
Padahal secara normatif agama merupakan tuntunan untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jika agama digunakan untuk menakut-nakuti manusia, menebar ancaman dan kebencian, bagaimana agama bisa mewujudkan kebahagiaan di dunia. Salah satu bentuk kebahagiaan manusia adalah terpeliharanya rasa humor dan menikmati ekspresi seni. Ini sesuatu yang manusiawi dan diperbolehkan oleh agama.
Beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa rasa humor (sense of humor) dapat menambah kematangan psikologis seseorang. Dengan kata lain orang yang memiliki daya homor bisa melakukan pengendalian diri dan emosi, tidak mudah emosi dan lebih mudah mengenali diri. Sense of humor yang baik hanya dimiliki oleh individu yang berkepribadian matang (Kartono; 1979; 134).
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran para ahli tasawuf. Dalam pandangan tasawuf kebahagiaan manusia bisa diperoleh ketika tercapai kebahagiaan spiritual mengenal Tuhannya. Untuk bisa mengenal Tuhanya maka manusia harus mengenali dirinya, sebagaimana tercermin dalam ungkapan “man arafa nafsahu faqad arafa robbahu” (barang siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya). Proses pengenalan diri ini dilakukan dengan metode takhallli, tahalli, tajalli, mujahadah, riyadlah, dan sebagainya. Berbagai metode ini memberikan ruang bagi seni dan humor untuk mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan, sebagaimana tercermin dalam berbagai syair, gerak/tari dan humor sufi.
Dalam tasawuf kita bisa melihat bagaimana mengamalkan dan menjaga ajaran Islam dengan cara yang kriatif, santuy dan enjoy sehingga bisa memperluas ruang bahagia. Bukan seperti cara beragama kelompok puritan-skriptualis yang mengamalkan dan menjaga ajaran agama degan cara-cara yang intimidatif dan penuh ancaman sehingga merebut ruang bahagia dan mematikan daya humor masyarakat. Dari sinilah muncul istilah bahwa humor adalah cara terbaik menjaga kewarasan jiwa dan pemikiran.
Setelah mendengarkan curhat dan ungkapan perasaan para seniman ini dengan bercanda saya sampaikan ke mereka : “ada baiknya kita merebut kembali ruang bahagia yang sudah dirampas oleh kelompok yang mengatasnamakan agama, melalui gerakan aksi bela tawa. Aksi ini perlu digalakkan untuk mewujudkan sikap beragama yang enjoy, fun dan menyenangkan”
“Wah nanti dituduh menista agama, mas?”
“Justru dengan aksi ini kita membela agama dengan cara yang baik dan benar. Karena agama tidak lagi berwajah sangar dan seram sehingga menjadi alat intimidasi dan persekusi. Kita ciptakan gerakan beragama yang bahagia melalui Aksi Bela Tawa dengan semboyan Bersatu Untuk Lucu”. Demikian provokasi saya pada mereka menutup pembicaraan malam itu.