Tidak hanya kalimat takbir yang dikumandangkan, atau bedug kulit yang ditabuh semalaman, namun beberapa tahun belakangan, saat malam takbiran sebagai pertanda selesainya ibadah puasa sebulan penuh, langit Indonesia akan penuh warna warni dari percikan kembang api. Tidak hanya di kota-kota besar, bahkan di kampung yang jauh dari kota-pun menyulut kembang api saat malam takbiran merupakan pemandangan yang indah dalam pandangan.
Kejadian seperti ini rasa-rasanya adalah hal biasa di tengah masyarakat, tapi menjadi luar biasa ketika kembang api itu disulut di masa sulit seperti saat ini. Masa pandemic Corona Virus Desease (Covid-19) yang mewabah di seantero dunia, juga di Indonesia dan sudah merata sampai ke pelosok desa. Data terakhir di akhir Ramadhan 1441 ini sudah lebih dari 18 ribu kasus positif, sudah sembuh sekitar 4.400 lebih dan 1.200 lebih korban meninggal dunia karena virus korona.
Kembang api menjadi Hal biasa bagi masyarakat muslim di kondisi normal, bisa jadi sebagai wujud rasa kebahagiaan karena telah melaksanakan puasa ramadan sebulan penuh dan besoknya adalah hari raya idul fitri. Kita berbahagia di malam takbiran, berkumpul bersama saudara dan teman-teman. Terlebih jika diantara keluarganya ada yang baru saja pulang mudik dari kota besar. Dimana kembang api luas tersebar, dijual obral. Apalagi dijadikan sebagai oleh-oleh bagi anak-anaknya. Pengalaman penulis saat masih anak-anak sangat senang sekali jika almarhum ayahanda belikan kembang api tersebut sebagai oleh-oleh dari ibu kota, lalu disulut selesai tarawih di sepanjang jalanan depan masjid jami desa. Teman-teman sebaya berkumpul sambil melihat ke atas langit yang penuh warna.
Namun, perlu kita sadari dari hati sanubari, bahwa saat ini Ramadan 1441 H. menorehkan sejarah yang mengharukan. Puasa kali ini kita diberikan banyak ujian, bukan hanya ujian rasa lapar dan dahaga saja, namun ujian kesehatan dengan melakukan social distancing dan yang paling berat adalah bagi kepala keluarga yang menjadi tulang punggung ekonomi, adalah permasalahan pendapatan harian yang menurun drastis.
Bagi kita yang mampu, mari lebih bijak dan bermanfaat bagi orang lain. Jika kita diberikan kelancaran rezeki saat pandemi, tidak perlu rasa syukur kita digambarkan dengan menyulut kembang api, namun syukur yang lebih nyata adalah ikut aktif mengembangkan ekonomi rakyat di sekitar kita.
Masih banyak saudara, tetangga, bahkan kolega yang galau terkena PHK. Mereka tidak lagi bekerja lalu tidak punya penghasilan untuk memberi makan seluruh anggota keluarga. Bisa dibayangkan betapa pilunya hati ini saat melihat nominal uang puluhan ribu dibakar disulut lalu meluncur terbang ke angkasa dan memancarkan warna-warni cahaya. Namun di saat yang bersamaan banyak perut-perut manusia kelaparan di sudut-sudut sunyi dan senyap.
Uang puluhan ribu tersebut jika dibelikan beras dan lauk pauknya bisa untuk menghidupi banyak orang yang membutuhkan seperti anak-anak jalanan, untuk orang-orang yang sudah tidak punya pendapatan. Jika harta itu digunakan untuk diberikan modal usaha untuk tetangga, tentu akan sangat bermanfaat yang bisa menambah pendapatan. Jika diinfakkan ke masjid, maka harta akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya di masa depan.
Maka kami menghimbau kepada para saudara-saudara yang diberi kelapangan rezeki, daripada membakar kembang api, membakar uang tanpa arti, lebih baik kembangkan ekonomi. Ingatlah, Ramadan kali ini adalah masa-masa sulit akibat pandemi. Jangan egois, berbahagia di atas penderitaan orang lain. Mari semarakkan lebaran dengan berbagi, bukan dengan kembang api.