‎“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…”, Sesungguhnya kita milik Allah, dan ‎sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Demikian dijelaskan dalam Q.S. ‎Al-Baqarah: 156.‎

Kalimat istirja’ di atas, akhir-akhir ini hampir setiap hari kita ucapkan atau kita tulis di sejumlah grup WA yang kita ikuti. Berita duka berupa wafatnya seseorang, baik yang wafat karena terpapar virus COVID-19 atau karena sakit lainnya, seolah menjadi menu sehari-hari belakangan ini.

Kalimat istirja’ ini biasa diucapkan ketika kita mendengar seseorang ‎terkena musibah. Lebih-lebih ketika musibah itu berupa kematian. Inilah yang ‎lazim kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. ‎

Pada hakekatnya, apa pun musibah yang menimpa kita atau orang lain, ‎baik berupa sakit, kecelakaan, kehilangan, kematian, atau pun musibah-‎musibah lainnya, maka kita dianjurkan mengucapkan kalimat istirja’ tersebut.‎

Kalimat ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’, jika kita pahami lebih jauh ‎maknanya, maka akan kita jumpai sebuah pesan yang sangat dalam, yakni ‎perintah agar kita menyadari sepenuh hati bahwa segala yang kita miliki, baik ‎berupa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, bahkan anak dan istri atau ‎suami kita, semua itu milik Allah. Maka, kapan pun Allah berkehendak untuk ‎mengambilnya kembali, kita harus mengikhlaskannya.‎

Kita tidak diperkenankan untuk mempertanyakan atau bahkan ‎‎‘menggugat’ ketetapan Allah yang telah diberikan kepada kita. Apalagi, kita ‎kemudian menganggap bahwa Allah tidak berlaku adil, karena menimpakan ‎musibah tersebut kepada kita. Semua ketetapan (qadla) dan qadar Allah yang ‎dituliskan untuk kita adalah yang terbaik menurut Allah. Allah lah yang paling ‎tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Alih-alih kita mempertanyakan keadilan ‎Allah, introspeksi diri adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan. Apa pun ‎ketetapan yang telah Allah gariskan untuk kita, harus kita terima dengan ‎lapang dada dan ikhlas. ‎

Untuk dapat bersikap ikhlas dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah ‎dengan cara menyadari dari mana sesungguhnya kita berasal? Apa yang kita ‎bawa ketika lahir ke dunia ini?‎

Kita semua, ketika pertama kali melihat alam dunia ini, ketika baru saja ‎keluar dari perut ibu kita masing-masing, tidak ada satu pun yang membawa ‎harta kekayaan, jabatan, kedudukan, popularitas atau yang lainnya. Bahkan, ‎sehelai benang pun tidak kita miliki. Kita semua terlahir dalam kondisi ‎telanjang, tidak membawa bekal apa pun berupa materi. ‎

Satu hal yang kita bawa adalah perjanjian yang telah kita sepakati ‎dengan Allah ketika kita masih di alam rahim. Seperti ditegaskan dalam Q.S. ‎Al-A’raf: 172: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan ‎anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ‎jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka ‎menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan ‎yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‎‎”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ‎ini (keesaan Tuhan)”.‎

Ayat ini menegaskan bahwa hanya janji tauhid yang kita bawa ke dunia ‎ini ketika kita dilahirkan oleh ibu kita. Tidak ada bekal berupa pengetahuan, ‎harta, kekayaan dan bekal-bekal lain selain janji tauhid tadi.‎

Setelah seseorang dewasa, kemudian dia dapat menjalani kehidupan ‎secara layak dengan bekerja keras, berjuang sekuat tenaga mengerahkan ‎segala potensi yang dimilikinya, maka kemudian kesuksesan pun dia raih.‎

Pada saat seperti inilah, ketika kesuksesan hidup sudah dicapainya, akan ‎terlihat jelas siapa yang tetap memegang teguh janji tauhid yang dibawanya, ‎dan siapa yang melupakan janji tersebut.‎

Orang-orang yang sadar dari mana mereka berasal, ke mana mereka ‎akan pulang, niscaya akan tetap memegang teguh janji tauhid itu hingga ajal ‎menjemputnya. Sekali lagi, kita semua ini milik Allah dan akan kembali kepada ‎Allah.‎

* Ruang Inspirasi, Kamis, 8 Juli 2021.

Komentar