Hari-hari ini hingga beberapa hari ke depan menjelang lebaran, jika kita amati kondisi jalan raya, akan tampak jelas berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Ya, fenomena arus mudik yang ditandai dengan semakin meningkatnya volume kendaraan di jalan raya menjadi pemandangan tahunan yang lazim kita jumpai.

Mudik sendiri adalah istilah khas di masyarakat negeri ini yang berarti ‘pulang kampung’ saat menjelang lebaran atau hari raya (Idul Fitri).

Ada sementara orang yang mengatakan bahwa mudik itu berasal dari kata ‘udik’, yang berarti kampung. Kemudian ketika menjadi kata ‘mudik’ artinya, menjadi udik atau kembali ke kampung, atau pulang kampung.

Dalam tulisan ini, saya ingin membaca fenomena mudik ini dalam tinjauan filosofis—jika bisa disebut demikian.

Tradisi mudik ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya setiap manusia selalu rindu pada asal-muasalnya, pada keluarganya, pada tanah kelahirannya.

Betapa pun ia sudah mencapai tingkat kesuksesan hidup di kota, jika dilihat dari materi, ilmu, pengalaman, jabatan, popularitas, dan seluruh aspek kehidupan yang melingkupinya, tetap saja kerinduan untuk bernostalgia dengan masa lalu, mengingat saat-saat hidup di kampung yang asri, guyub, penuh dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan menjadi pengalaman yang terus menerus ingin tetap dikenang. Dan mudik adalah cara paling mungkin untuk menikmati semua kenangan itu.

Tak heran, demi memenuhi hasrat kembali ke kampung halaman, berkumpul bersama sanak famili di tanah kelahirannya itu, orang-orang rela melakukan apa saja, agar bisa setiap tahun mudik ke kampung halaman.

Beragam bekal dipersiapkan, dari mulai kendaraan, bekal selama di perjalanan, hingga oleh-oleh untuk orang tua, saudara, kerabat serta handai taulan. Tak lupa, mereka pun menyiapkan ‘angpau’ berupa beberapa lembar uang untuk diberikan kepada saudara-saudara mereka, baik adik, keponakan, sepupu dan yang lainnya.

Demikian gempitanya tradisi mudik ini, hingga menyita perhatian sebagian besar penduduk negeri ini. Media pun tak mau ketinggalan. Setiap waktu, hampir seluruh stasiun televisi menyiarkan kabar terbaru seputar arus mudik ini.

Dari fenomena tradisi mudik ini kita bisa mengambil sebuah pelajaran penting. Bahwa untuk memenuhi hasrat kembali ke kampung halaman, setiap orang rela berkorban apa saja. Untuk bisa menikmati suasana alami di kampung yang asri dan jauh dari hiruk-pikuk​ persaingan dan kepentingan layaknya di kota-kota besar, orang-orang mau melakukan apa saja.

Pertanyaannya kemudian, jika untuk mudik ke kampung halaman (di dunia) yang hanya beberapa saat saja, setiap orang rela berkorban apa saja, membawa bekal yang cukup agar bisa menikmati perjalanan, juga bisa tenang ketika tiba dan berada di kampung halaman, maka bagaimana pula dengan persiapan serta bekal yang akan dibawa untuk mudik ke kampung akhirat, yang kita tidak pernah tahu berapa lama akan tinggal di sana?

Inilah pertanyaan filosofis yang perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing. Sudah siapkah kita jika suatu waktu nanti kita harus segera mudik ke kampung akhirat? Sudah cukupkah bekal yang akan kita bawa untuk melakukan perjalanan panjang yang entah berapa lama kita akan berada di sana?

Belajar dari fenomena mudik ini, hendaknya kita sesegera mungkin menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk persiapan melalui perjalanan panjang mudik kita ke akhirat nanti. Sehingga selama perjalanan hingga sampai tujuan nanti, kita akan merasakan ketenangan dan kenikmatan. Layaknya para pemudik yang membawa bekal yang cukup untuk kembali ke kampung halamannya. Semoga.

* Ruang Inspirasi, Jumat, 29 April 2022.

Komentar