Dalam Islam terdapat bulan-bulan yang memiliki keutamaan. Setidaknya terdapat empat bulan dalam setahun atau 12 bulan. Informasi tersebut tercantum dalam Q.S. al-Taubah (9): 36.
Informasi empat bulan yang mulia sebagaimana dalam al-Qur’an di atas dijelaskan dalam hadis. Hadis riwayat Bukhari nomor 2958 menyebutkan bahwa bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Keempat bulan tersebut dimuliakan dalam Islam.
Muharram sebagai bulan haram dan mulia memiliki keutamaan yang besar. Tradisi memuliakan bulan tersebut sudah sejak lama sebelum Islam. Kaum Yahudi Madinah biasa melaksanakan puasa Ayura. Mereka memuliakan sebagaimana kebiasaan Nabi Musa di mana Musa a.s. terbebas dari Fir’aun. Bahkan di Makkah kaum Quraish juga melakukan hal yang sama.
Tradisi puasa Asyura ini memiliki persamaan dengan tradisi sebelumnya, namun Islam memberikan perbedaan. Hal teresebut bermula dengan pertanyaan Ibn Abbas r.a. yang mempertanyakan puasa di tanggal 10 Muharram. Atas pertanyaan tersebut Nabi Muhammad saw. bersabda, “jika aku masih hidup (tahun depan) akan berpuasa tanggal 9 Muharram.” Atas dasar inilah bulan Muharram sunnah dalam berpuasa tanggal 9 dan 10 saja.
Walaupun tradisi puasa 9 Muharram tidak pernah dilakukan Nabi saw. namun termasuk bagian sunnah juga. Nabi saw. wafat sebelum bulan Muharram datang karena beliau wafat tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. Tradisi tersebut dikenal dengan tasu’a.
Sepaket puasa ini dijalankan umat Islam dalam rangka membedakan dengan tradisi lainnya. Islam berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Atas dasar itulah, puasa Muharram dilaksanakan sepaket tanggal 9 dan 10 atau dikenal dengan tasu’a dan asyura. Demikian ulama mengulas puasa sunnah tersebut. Bahkan Nabi saw. sendiri menganjurkan dalam mengerjakan dua hari tersebut.
Di Arab Saudi, tradisi puasa selain wajib Ramadan dan puasa Muharram juga dilaksanakan dengan berbuka bersama di masjidil haram. Penulis sempat mengikuti tradisi tersebut di saat tahun 2012. Setelah musim haji selesai dan menunggu kepulangan ke tanah air sampailah di tanggal 9 dan 10 Muharram. Pada waktu itu, penulis berhaji sebagai panitia haji atau dikenal PPIH Misfalah Makkah.
Sebagaimana lazimnya puasa, di Masjidil Haram menyediakan banyak hidangan pembuka puasa dengan menu khasnya. Setidaknya teh atau say, kopi atau qohwah, bahkan air zam-zam menjadi minuman yang menjadi suguhan utama. Selain itu, terdapat roti dan yogurt serta kurma menjadi bagian pelengkapnya. Tradisi sedekah ini biasa dilakukan pada momentum tertentu baik Ramadan maupun musim haji dan lainnya.
Keutamaan puasa Muharram memiliki kesetaraan dengan puasa di bawah Ramadan. Hal tersebut menunjukkan bajwa puasa Muharram nilai pahalanya melebihi pahala puasa sunnah yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Riwayat Imam Muslim yang menunjukkan keutamaan lebih utama setelah puasa wajib.
Nabi saw. melakukan puasa Asyura ini. Bahkan kesengajaan dalam menjalankan puasa tersebut hampir sama dengan puasa wajib di bulan Ramadan. Keutamaan puasa ini adalah menghapus dosa setahun masa lampau. Para ulama dalam hal ini menjelaskan dosa-dosa kecil saja. Sedangkan dosa besar harus dilakukan dengan taubat.
Perumpamaan puasa di atas diibaratkan dengan keutamaan antara shalat wajib lima waktu dengan shalat sunnah tahajjud atau shalat lail. Artinya antara puasa Ramadan dan Puasa Muharram terdapat beda tipis di mana di bawah pahala Ramadan adalah puasa Muharram. Shalat malam atau tahajjud lebih utama dibanding shalat sunnah lainnya. Demikian juga puasa sunnah lainnya, puasa Muharram menempati posisi terbaik di antara puasa sunnah lainnya.
Ragam puasa sunnah dalam Islam dapat ditemukan dengan beragam momentum. Puasa Senin-Kamis, puasa ayyam al-bidh (bulan purnama), puasa enam hari syawwal, puasa Arafah, dan lainnya. Puasa Muharram menjadi bagian bertabur keutamaan di mana Nabi saw. selalu mengerjakan dan bahkan hampir menyamai puasa Ramadan karena dalam puasa ini bertabur kemuliaan dan keberkahan.