Islamsantun.org. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan forum tertinggi bagi NU yang mna forum tersebut adalah forum milik para alim ulama, kiyai, dan para warga Nahdliyin khususnya guna merespon berbagai problematika umat Islam di Indonesia dan dunia yang sekarang ini, diterpa oleh arus radikalisme dan modernisme. Juga, bisa dikatakan bahwa Muktamar NU merupakan “momen spiritual” bagi eksistensi NU untuk menentukan arah gerak NU kedepan. Muktamar NU Ke-34 kali ini, digelar pada 22 hingga 25 Desember 2021 di Lampung.

Momen Muktamar NU, tidak hanya mengundang perhatian para warga Nahdhiyin dan masyarakat Indonesia pada umumnya, tapi juga mengundang perhatian para sarjana asing yang mempunyai minat terhadap studi Islam dan kebudayaan Asia, termasuk Indonesia. Tentunya, keberadaan NU di tengah masyarakat Indonesia dan dunia yang tak terlepas dari kemajemukan bangsa Indonesia merupakan obyek utama yang diteliti oleh para sarjana tersebut, salah satunya adalah Mitsuo Nakamura.

Mitsuo Nakamura, seorang antropolog dari Universitas Chiba Jepang yang konsen dalam mengkaji gerakan sosial Islam di Indonesia. Ia meneliti Muktamar NU Ke-26 di Semarang 1979. Nakamura mencoba menelusuri sebuah ciri utama NU yang jarang terlihat oleh organisasi lain, yaitu hierarki kepemimpinan yang tidak terbangun secara vertikal, namun terbangun secara horizontal. Hal ini bisa kita jumpai dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (2010) Bab 11 NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini.

Perihal di atas, Nakamura menyatakan bahwa K.H. Idham Cholid (Ketua PBNU saat itu) menerima tamparan kritik yang ditujukan kepada PBNU yang dinahkodainya. Dengan meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada pada masa kepemimpinannya, K.H. Idham Cholid mengajak kepada seluruh peserta muktamar untuk melakukan perbaikan-perbaikan demi masa depan NU yang lebih baik.

Konstruksi yang di bangun Nakamura sebelumnya, menjadi analisis atas perkembangan dalam diri NU, yaitu “pemberontakan” para kiyai terhadap kepemimpinan K.H. Idham Cholid sejak pertengahan 1982. Seakan-akan para ulama daerah seperti K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo yang menilai PBNU menitiberatkan kepemimpinannya kepada “kepentingan orang Jakarta.”  Bahkan tampaknya konstruksi yang dibangun Nakamura menjadi “lebih baku” dengan bobot berat dari keputusan Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo di ujung tahun 1983 yang secara final menyelesaikan problem utama hubungan antara Islam sebagai “jalan hidup” (way of life) di satu pihak dan Pancasila sebagai landasan kehidupan bernegara.

Seolah-olah dengan perkembangan terakhir tentang pengamatan Nakamura mengenai NU yang terlepas dari sudut pandang baru tentang NU yang dulu belum pernah dikemukakan oleh para pengamat lain, Nakamura ternyata tidak memberikan tempat dominan terhadap aspek-aspek lain dari pergulatan kekuasaan dalam tubuh NU, dan hanya berpuas diri dengan penekanan kepada aspek “watak horizontal” hierarki kepemimpinan di tubuh NU. Disinilah Gus Dur melontarkan kritik kepada Nakamura.

Menurut Gus Dur, Nakamura mengabaikan aspek-aspek lain mengenai Muktamar NU Ke-26 di Semarang 1979. Misalnya, Kemampuan K.H. Idham Cholid dalam melakukan pembaruan pada diri NU dengan membuat aliansi efektif di antara semua pihak yang menakuti “dominasi Jawa Timur” dengan kuatnya isu “dinasti Jombang” dalam menjelang dan berlangsungnya Muktamar.

Selain itu, kemampuan K.H. Idham Cholid untuk mengumpulkan satu barisan dua aspirasi yang sebenarnya saling berbenturan, seperti kemuakan terhadap verpolitisasi yang berjalan terlalu jauh dalam NU dan pihak yang mendambakan kehidupan organisasi NU yang secara penuh diisi dengan kesalehan ritualistik serta kebanggaan akan kekuatan politik NU yang sangat besar (Abdurrahman Wahid, 2010: 151-153). Penelitian Nakamura terhadap Muktamar NU Ke-26 Semarang tercatat dan diplubikasikan di Asian Southeast Asian Studies (Tonan Ajia Kenkyu), Vol. 19. No. 2, September 1981, atau bisa kita jumpai dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdhatul Ulama dan Negara (Greg Fealy, 1997).

Menilik kritikan Gus Dur atas Nakamura yang telah dikemukakan di atas, mengajarkan kepada kita untuk berani berargumen melalui tulisan yang berangkat dari pengetahuan yang kita miliki akan sesuatu dan bersifat ilmiah, inilah cermin bagaimana keintelektualan seorang Gus Dur. Selain itu, hal lain yang membuat saya takjub dari Nakamura adalah ketertarikannya mengenai dinamisasi dan pergolakan masyarakat dan keberagamaan di Indonesia yang mana NU menjadi basisnya.

Mungkin ketertarikan Nakamura dan sarjana asing lainnya terhadap NU tidak dimiliki oleh warga Nahdliyin sendiri dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ironis memang, dan ini menjadi problematika terhadap diri kita sendiri, di mana spirit for knowledge masih minim dimiliki para manusia Indonesia khususnya mengenai sejarah, kebudayaan, keberagamaan, dan mengenai organisasi NU sendiri yang mana menjadi kiblat peradaban Islam di Indonesia yang sekarang ini menunaikan Muktamar Ke-34 di Lampung. Sekian.

Fahrul Anam. Mahasiswa Manajemen Zakat Wakaf UIN Raden Mas Said Surakarta dan penikmat buku Islamic Studies.

Komentar