Catatan Reoadshow Ki Ageng Ganjur ke Belanda dan Aljazair #3

Di tengah saling sengkarut perdebatan anak bangsa yang nyaris tanpa henti aku menemukan kebersamaan dan persaudaraan yang menyenangkan di event Panggung Rakyat Pandora, Den Haag. Di sini semua orang bahagia dan gembira bersama. Mereka bebas berekspresi dan menuangkan perasaan rindu tanpa harus terganggu hiruk pikuk atau dicurigai menjadi bagian yang pro atau kontra dari perdebatan yang sedang tejadi.

Rasanya belum lagi kering luka hati bangsa yang terbelah akibat Pilpres, kali ini bangsa (masyarakat) Indonesia disibukkan dengan perdebatan mengenai revisi UU KPK. Dan seperti halnya perdebatan saat Pilpres, perdebatan kali ini juga sarat dengan tuduhan, cacimaki, nyinyir bahkan hoax. Dalam suasana seperti ini siapa saja bebas bicara meski tanpa memahami duduk perkara. Bumbu agama juga digunakan untuk mempertajam perdebatan.

Jika sudah demikian benar-salah dan baik-buruk kembali tersamar karena berbaur dalam retorika dan sama2 terbungkus topeng suci. Yang muncul selanjutnya adalah garis pemisahkan antar kelompok yang pro dan kontra. Garis itu semakin tebal dan kuat karena dipupuk dengan prasangka dan kepentingan masing2 pihak. Meski tidak terlihat dan tidak berbentuk, namun garis itu ada dan nyata karena jelas terasakan.

Roadshow Ki Ageng Ganjur ke Belanda dan Aljazair kali ini menjadi semacam jeda waktu (pause time) bagi kami menikmati hiruk pikuk perdebatan. Di Belanda kami menemukan wajah-wajah ceria warga Indonesia. Ini terjadi karena mereka tidak terjebak dalam perdebatan yang membuat mereka tersekat. Musik dan budaya Nusantara telah menyatukan mereka dalam satu rasa gembira secara bersama-sama.

Kami tidak tahu harus bersukur katika terlepas dari arus perdebatan yang kelihatannya tidak menyediakan ruang tengah sebagai titik temu itu. Kami juga tidak tahu apakah kami harus meratap karena tidak ikut dalam perdebatan yang sepertinya sangat penting ini, karena menentukan masa depan dan nasib bangsa.

Tapi yang jelas di tempat ini, kami merasa bangga menjadi warga bangsa Indonesia. Lebih2 ketika kami bethasil menyuguhkan pertunjukan yang bisa menarik perhatian bangsa lain dan membuat mereka tetpesona pada Indonesia. Di pasar malam Pandora kami tidak saja membawakan lagu2 klasik tradisional yang diramu dengan komposisi jazz dan rock kontemporer, dengan iringan gamelan, tapi juga menampilkan lagu-lagu dangdut yang khas Indonesia.

Yang menarik, tidak hanya warga Indonesia yang larut dalam irama dangdut, para bule juga ikut bergoyang dalam alunan dangdut. Malam itu kami merasa bangga dan tersanjung katika berhasil menunjukkan pagelaran musik yang bisa menarik warga Eropa. Mereka tertegun ketika Ganjur membawakan lagu Es Lilin dan Caping Gunung dengan sentuhan jazz dan blues. Dan menjadi lebih antusias ketika membawakan What’s up dari Blondes dan Imaginenya John Lennon dengan nuansa sunda. Penonton perdecak ketika di tengah lagu tersebut kang Jimbot demo kendang Sunda yang ngejamp dengan piano klasiknya mas Iyan Ganjur.

Saat membawakan lagu medley Nusantara yang merangkum lagu2 daerah dari Sabang sampai Merauke, penonton tidak hanya semangat mengikuti lagu, tapi banyak diantara mereka yang terharu karena tersentuh hatinya dengan lagu2 tersebut. Selama dua kali penampilan Ganjur di panggung utama Pandora Ganjur, penonton terus berjoged, bernyanyi dan bergembira bersama sambil meneriaakkan cinta Indonesia.

Selain bangga kami juga sangat terkesan dengan apresiasi dan respon penonton. Mereka datang benar-benar hanya ingin menikmati pertunjukan. Tak ada kegaduhan apalagi tawuran seperti penonton di Indonesia. Padahal suasana gedung pertunjukan sangat padat oleh penonton yang berjoged.

Yang lebih menarik adalah soal keamanan. Dua orang musisi ganjur HPnya terjatuh saat menuju panggung dan tas saya ketinggalan di panggung. Dan semua ini baru disadari saat kami berada di ruang transit artis menunggu jemputan. Dengan rasa panik, kami segera lapor panitia, apalagi dalam tas yang tertinggal itu ada paspor. Tidak sampai satu jam panitia melakukan penelusuran, semua barang2 itu diketemukan dan kembali utuh. Saya tidak bisa membyangkan kalau hal ini terjadi di Indonesia.

Setelah pertunjukan kami merasa lega. Meski kami tidak ikut dalam perdebatan soal revisi UU KPK tapi kami juga tetap berpartisipasi dalam menjaga keutuhan bangsa melalui cara yang lain. Melalui seni bidaya kami telah berusaha membangun kesadaran warga Indonesia untuk tetap bangga menjadi Indonesia, meski hanya sebatas mengumandangkan musik Nusantara di manca negara.

Komentar