Bagaimana persepsi Dunia Islam, terutama bangsa Arab Timur Tengah, pada bangsa Asia Tenggara, khususnya Indonesia dulu dan sekarang ini? Ini pertanyaan sosio-historis yang diajukan oleh kolega Barat saya– yang menggelitik untuk saya cari jawabannya.

Saya lalu buka-buka tulisan Michael Laffan, Azyumardi Azra, dan Mona Abaza. Jika Azra dan Laffan membuktikan jejaring global cendekiawan Muslim Indonesia telah terjalin setidaknya sejak abad 17, Mona Abaza melihat kontemporer lagi memastikan jejaring global mahasiswa Indonesia di Kairo tahun sejak 1920an dan perannya bagi Islam di Indonesia. Kajian-kajian mereka, meski tampak berusaha menunjukkan jejaring global Muslim Indonesia, hemat saya, masih berlangsung secara one way relationship: mengurus deras satu arah, dari “pusat” ke “pinggiran”. Bukan sebaliknya. Hal ini berlaku pada setiap jenis, corak, aliran, atau paham keagamaan islam: tasawuf, reformisme dan modernisme, tradisionalisme, hingga transnasionalisme Islam.

Indonesia atau Nusantara yang berada di paling pinggir timur Dunia Muslim menganggap dirinya dan atau dianggap (oleh pusat) sebagai reservoir, penampung, penerima gagasan yang datang dari luar dirinya. Semakin asing, semakin sophisticated dan layak untuk diterima. Meski ada adaptasi, asimililasi, modifikasi atau akulturasi yang menghasilkan paham dan corak keagamaan hibrida, kita masih bisa melihat jelas “jantung dan nadi”-nya itu tetap berasal atau terinspirasi dari “pusat”.

Dari Mona, saya lalu dirujuk pada Majalah Al Manar [1911, 14/5: 347-349] untuk menggali persepsi kaum pembaharu – Panislamisme terhadap Muslim Hindia Belanda pada akhir abad 19 atau awal abad 20. Majalah Al-Mannar yang dikelola oleh Muhammad Rasyid Ridha untuk menyebarkan pandangan reformis dan modernis gurunya Muhammad Abduh menulis dalam rubrik yang berjudul «Dunia Islam dan Pejajahan Barat : Belanda dan Muslim Jawa » bahwa negara kecil Belanda itu hebat dan cerdas: dapat menaklukkan Muslim di pulau Jawa yang berjumlah 30 juta jiwa dan memperlakukan mereka seperti hewan ternak. Mengapa negara kecil bisa menaklukkan puluhan juta Muslim di Jawa?

Menurutnya, Muslim Jawa itu « lebih bodoh dari pada rakyat jajahan Inggris dan lemah akal dan spiritualnya, dan tidak punya ‘heritage’ yang diwariskan, tidak punya ilmu pengetahuan, peradaban, dan kekuasaan politik, tidak seperti bangsa India dan Mesir » dan tidak punya kepekaan terhadap kondisi sosial dan politik di sekelilingnya.

Salah satu keajaiban yang disaksikan Al Manar dari Muslim Jawa adalah para mahasiswa yang belajar dan bermukim bertahun-tahun di Mekah atau Kairo itu tidak mengetahui kondisi dunia Islam dan konsidi aktual saat itu, sebab mereka mengurung jiwanya pada kitab fikih: mendalami buku-buku mutakhir mazhab Syafii seperti Ibn Hajar al-Haitami dan al-Ramly, atau paling jauh adalah bukunya Syaikh Zakaria al-Anshari atau Syaikh Nawawi (al-Bantani).

Dalam majalah ini, penulis lebih jauh juga menyaksikan bahwa para santri atau ulama Jawa yang belajar di Timur Tengah (Mekah dan Mesir) hanya mempelajari kitab fikih Syafii selama bertahun-tahun seperti tentang muamalah, jual beli, jihad, perbudakan dan lain sebagainya yang tidak diterapkan di negeri mereka di Jawa. Mereka juga ditulis tidak mempelajari ilmu Qur’an, tidak tahu kondisi zaman, tidak tahu ilmu sejarah atau geografi, tidak tahu ilmu politik, dan selama mereka tinggal di Mesir tidak membaca koran untuk mengetahui persoalan aktual di bidang sosial politik dan sebagainya.

Seratus tahun lebih. Tentu sudah banyak perubahan di Jawa dan Nusantara. Jika Abduh, Ridha dan Al Kawakibi masih hidup sekarang ini: sekiranya apa yang akan mereka tuliskan untuk sebuah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia saat ini?

Wallah a’lam.

*Andar Nubowo, Bekerja di Irasec (Institut de recherche sur I’Asie du Sud-Est contemporaine).

Komentar