Islamsantun.org. Tak ada ragu soal kesundaan saya. Meski ia terpatri karena guratan takdir, terpancang lantaran bawaan qadar, nyatanya saya bangga dengan kenyataan bahwa saya Sunda. Tak tahu persis di mana letak kebanggaan itu; tak bisa memastikan sebab apa saya bangga sebagai Sunda. Yang jelas, meski telah dua dasa warsa ber-KTP Jawa Timur, hati selalu tertusuk rindu akan kampung halaman setiap kali mendengar alunan suling Sunda, benak langsung melayang ke Bumi Pasundan (yang dalam seloroh MAW Brouwer, ”lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”) tatkala alunan suling-kecapi sayup-sayup terpancar dari pojok beberapa warung makan di Tulungagung. Belakangan, bahkan di kampus tempat saya mengais rezeki, di rektorat tempat saya ”mangkal” kerap terdengar suling Sunda dari sudut-sudut gedungnya. Sungguh menambah kecintaan sekaligus kerinduan saja akan kampung halaman.

Saya rasa, hal serupa dirasakan pula oleh siapa pun, dari suku mana pun, kapan saja, di mana saja. Tak ada yang istimewa. Bawaan naluriah belaka. Meski penghormatan dan pemakluman harus kita tunjukkan pada siapa pun yang memeragakannya. Yang Jawa, saya hormati dan maklumi kejawaan serta ekspresi suka-citanya. Yang Minang, Batak, dan lainnya, juga seperti itu. Yang seperti itu, saya sebut sebagai kebanggaan yang dewasa dan mendewasakan. Kita bangga dengan apa yang kita punya, di saat sama menghargai dan memaklumi kebanggaan orang lain dengan kekayaan budaya (suku) yang dimilikinya.

Ketika berada jauh dari Tanah Air dan bertemu banyak kalangan dari beragam daerah, dalam kebanggaan akan kesundaan, saya selalu berusaha untuk ”melebur” dan berteman baik dengan mereka. Di tahun kedua tinggal di Mesir, saya memilih serumah dengan kawan dari Jawa dan Sumatra dengan latar kesukuan mereka masing-masing. Di tahun terakhir saya tinggal di sana, saya bahkan satu-satunya anggota rumah bersuku Sunda. Lainnya, empat orang, Makassar semua. Dalam pergaulan di luar rumah pun demikian; saya selalu berusaha ”menerabas” sekat-sekat kesukuan, tidak untuk ditanggalkan melainkan tetap terpasang sambil dipoleskan senyuman secukupnya sehingga ramah pada siapa saja, semampu saya. Suatu hari, di bilangan Hay ‘Asyir, Nasr City Cairo, mata saya berkaca-kaca melihat secarik kertas di atas meja di kamar rumah kontrakan kawan dari Makassar, tertulis di atasnya: ”Abad, we love you!”

o
Baru belakangan ini saya sadar, kebanggaan akan kesundaan saya ternyata terpancang di atas fondasi filosofis yang dangkal. Pengetahuan saya tentang seluk-beluk budaya Sunda amat sedikit. Dapat dibayangkan seperti apa tebalnya kebanggaan saya akan kesundaan jika sejak awal kebanggaan itu dibangun di atas fondasi filosofis yang mendalam, jika suka-cita kesundaan saya itu sedari awal dipupuk dengan pengetahuan yang memadai. Kang Dr. Asep Salahudin, Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Tasikmalaya dengan dua buku bagusnya: ”Sufisme Sunda: Hubungan Islam dan Budaya dalam Masyarakat”, dan ”Kitab Tritangtu: Keislaman, Kesundaan, Keindonesiaan” saya akui telah membuka kesadaran tersebut.

Untuk buku yang pertama, saya telah pun sedikit mengulasnya pada 3 Agustus 2019. Dalam buku itu antara lain dikatakan: ”…dalam konteks aksiologis, bahwa Sunda dan Islam memiliki irisan takdir yang tidak jauh berbeda; menyimbolkan peradaban yang tengah terpuruk.” Tentu saja, yang dimaksud oleh Kang Asep adalah Sunda dan Islam dewasa ini, bukan Islam klasik (abad pertengahan) saat mana Islam mengukir peradaban mondial yang gemilang. Status ini akan fokus ke buku yang kedua: Kitab Tritangtu, yang saya terima langsung dari Penulisnya sebagai hadiah di Kampus IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, 22 Desember 2021.

Kitab Tritangtu di-endorse oleh orang-orang terkemuka di jagat pemikiran dan kebudayaan. Prof. Dr. Didi Turmudzi, Ketua Umum Paguyuban Pasundan menyebut Kitab Tritangtu berhasil menilik kesundaan dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Percakapan ketiganya sebagai proses menjadi, tegas Prof. Didi, semacam orkrestrasi kultural yang tak pernah sudah. Saya amat menyukai kata-kata Prof. Didi ini. Maka itu, saya menjadikannya judul status ini. Dr. Dedy Djamaludin Malik, Ketua Stikom Bandung, memberi kemungkinan buku ini dapat melahirkan sebuah epistemologi baru hasil sistesis kreatif dari keislaman, kesundaan, dan keindonesiaan dalam lokus dan rimba kebudayaan yang maha luas. Sebelumnya Dr. Dedy melihat bahwa buku ini menampilkan Sunda bukan sekadar realitas ontologis, melainkan disapa untuk bercengkerama dengan keislaman dan keindonesiaan yang ketiganya dilihat oleh Penulis bersifat eklektik.

Fachry Ali, Ph.D menyebut Kitab Tritangtu semacam ekspresi lanjutan eksperimen berpikir yang dirintis Nurcholish Madjid yang menyajikan trilogi keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan. Martin Sinaga, Ph.D memandang Kitab Tritangtu menempuh jalan yang berkebalikan dari Clifford Geertz yang sejak lama merapal gejolak antara-budaya dan memprediksi masyarakat kita akan terbentur-bentur saat menjadi bangsa karena karakter primordial masing-masing kelompok akan terus merangsek tataran berbangsa dan bernegara Indonesia. Alih-alih demikian, Kitab Tritangtu, tegas Martin, menunjukkan jalan lain dari kesundaan; ia menempuh proses dialog yang khas dengan Islam dan keindonesiaan. Yudi Latif, Ph.D memuji Kitab Tritangtu berhasil mempercakapkan keislaman, kesundaan, dan keislaman dengan tidak tergesa-gesa di atas bangunan argumen yang terang. Yudi menilai Kitab Tritangtu sukses menyajikan bahwa kebahagiaan hidup bersama akan terengkuh manakala kita bisa menyalakan cahaya iman yang dijangkarkan pada kearifan lokal (kesundaan), kedalaman penghayatan religiositas (keislaman) dan keadaban kehidupan berbangsa (keindonesiaan).

Sementara itu, Abad Badruzaman mendapati dirinya ”terlambat” menjadi Sunda ”sejati”. Kesadaran akan ”keterlambatan” itu, seperti saya singgung di atas, digugah oleh Kang Asep lewat dua bukunya tersebut. Kitab Tritangtu misalnya, membukakan mata saya bahwa budaya Sunda itu kaya. Akar filsafatnya kuat dan ajaran-ajarannya tentang kehidupan jelas benderang. Kang Asep antara lain menunjuk Hasan Mustapa dan HR. Hidayat Suryalaga sebagai ”penjelmaan” budaya Sunda yang dengan rancak meracik keislaman dan keindonesiaan secara apik. Dalam amatan Kang Asep, Hasan Mustapa telah memberi contoh bagaimana daya akal diaktifkan tanpa mengenal batas, bagaimana filsafat bukan sekadar produk pemikiran melainkan proses. Hasan tiada henti memposisikan kebudayaan sebagai kerja yang dilakoni sepenuh hati untuk mencari kebenaran yang dalam ranah religiositas kebenaran itu merembeskan etik imperatifnya berupa sikap beragama yang terbuka, juga dalam aras sosial berwujud kesediaan menghadirkan ruang inklusi sosial.

Adapun tentang HR. Hidayat Suryalaga (Abah Surya), Kang Asep melihatnya banyak mengembangkan haluan filsafat moral; seumpama al-Ghazali dalam tradisi Islam atau Immanuel Kant di Barat. Islam Sunda dan Sunda Islam, oleh Abah Surya, dijadikan satu helaan napas tanpa saling menegasikan satu-sama-lain. Alih-alih, keduanya tak ubahnya gula jeung peu’eutna. Kang Asep menggambarkan betapa syahdunya membaca Nur Hidayah (sari tilawah al-Qur`an 30 juz wangun pupuh) karya Abah Surya, apalagi kalau diiringi kecapi suling, alam bawah sadar kita seakan dibawa tidak pada imajinasi ”Islam Arab padang pasir” tapi justru ditarik ke alam lingkungan Pasundan dengan hamparan sawah, aliran sungai yang jernih, kolam ikan, hijau pegunungan dan pantai lengkap dengan segala nuansa mistis-teologisnya, keramahan dan gadis cantiknya. Membaca pemikiran-pemikiran Abah Surya, Kang Asep sampai pada kesimpulan bahwa Islam dan Sunda menjadi semacam kearifan perenial sekaligus melambangkan varian kultural iman yang menggetarkan tempat orang mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang diperoleh setelah sebelumnya melakukan fase-fase tirakat: sirna ning cipta (subhanallah), sirna ning rasa (alhamdulillah), sirna ning karsa (bismillahirrahmanirrahim), sirna ning karya (insya`Allah), sirna ning diri (laa haula wa laa quwwata illa billah), sirna ning hurip (assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh), sirna ning wujud (QS 6: 162-163), sirna ning dunya (astaghfirullah al-‘azhim), dan sirna ning pati (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Pertanyaan: Jika filsafat dan alam pikiran Sunda sedemikian mendalam dan kayanya, mengapa di buku ”Sufisme Sunda” Kang Asep bilang bahwa dalam konteks aksiologis, Sunda dan Islam memiliki irisan takdir yang tidak jauh berbeda: menyimbolkan peradaban yang tengah terpuruk? Jawaban yang dapat disodorkan: kedalaman dan kekayaan Sunda itu ada hanya di tataran ontologis dan epistemolis, sedang dalam konteks aksiologis, untuk saat sekarang, Sunda sedang terpuruk. Ya, untuk saat sekarang. Ajip Rosidi misalnya, menandai bahwa sejak abad ke-19, orang Sunda yang menerbitkan buku berbahasa Sunda isinya kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama, lebih banyak bermuatan pesan moral yang bersifat didaktik dan hitam-putih. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis yang mengajak orang untuk menyoal berbagai hal termasuk urusan ketuhanan sekaligus menantang untuk memperdebatkannya secara tajam dan rasional. Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda seringkali dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda! Dalam satu kesempatan, Abah Surya juga menandaskan bahwa salah satu hal penting yang absen dalam peta kebudayaan Sunda adalah filsafat. Jangan bandingkan dengan negara lain, tegas Abah, bahkan dengan suku Jawa sekali pun Sunda banyak ketinggalan langkah. Jawa telah mampu mendokumentasikan filsafatnya lebih dari dua ratus buku.

Tapi, sebagai urang Sunda, saya yakin kondisi ”kurang kondusif” itu tidak akan berlangsung selamanya. Saya optimis, suatu saat Sunda akan kembali ke permukaan, makalangan dan menunjukan ”taji”-nya. Semua bergerak, berdialektika, bersinggungan, dan dalam banyak hal bersinergi, sehingga pada akhirnya semua layaknya orkestra kultural belaka yang tak pernah sudah. Orang yang optimis tidak boleh memastikan bahwa satu titik adalah akhir dan segalanya usai!

Komentar