Islamsantun.org. Sedih rasanya request tersebut belum bisa saya tunaikan. Teriang kembali permintaan beliau saat itu. Kondisi di mana beliau masih sehat-sehatnya. Segar bugar. Aura yang selalu memancarkan energi positif bagi yang melihatnya. Ya, beliau adalah Drs. Ahmad Hudaya., M.Ag. Dosen dan kiai teladan.
Kiai Hudaya dan durian adalah kisah yang tidak bisa dipisahkan. No durian, no party. Kesukaan beliau akan buah ‘bertanduk’ itu mengalahkan fans k-pop akan idolanya. Semula berawal dari perkenalan kami yang dulu. Saat beliau mengetahui saya berasal dari Situbondo, sontak beliau meminta saya untuk membawakan durian merah jika saya pulang kampung. Durian yang diidam-idamkannya. Secara Situbondo dan Banyuwangi jaraknya berdekatan.
Akan tetapi, janji tetaplah janji. Sampai akhir hayat beliau janji tersebut belum terbayar lunas. Ingin rasanya menikmati durian merah bersama beliau sambal bercengkrama ngalor-ngidul. Teman mengobrol yang asik. Teman curhat yang selalu mau mendengarkan. Teman berbagi kisah dari berbagai kisah manis dan pahit. Bak kopi yang selalu menimbulkan candu.
Kematian adalah keabadian. Layaknya kenangan yang sulit untuk dihilangkan. Secara pribadi, banyak sekali kisah tentang beliau. Tentang kesederhanaan, loyalitas, profesionalitas dan semangat yang selalu membara. Sebagai dosen senior, beliau tidak malu untuk menggeber N-Max-nya pergi ke kantor. Jiwa muda di dalam tubuh yang sudah menua. Memang benar adanya.
Sebagai rekan kerja di program studi yang sama, Bimbingan dan Konseling Islam, semangat beliau dalam membimbing mahasiswanya turut diberikan sepuluh jempol. Baik itu bimbingan skripsi, pembimbing akademik, sampai ke bimbingan kehidupan mahasiswanya sendiri. Saat sakitpun, beliau masih menyempatkan untuk menguji skripsi. Semua dilayani tanpa pamrih dan totalitas. Sosok ngayomi yang tidak tergantikan.
Saya sebagai juniornya, menyaksikan dengan kepala sendiri beliau adalah manusia yang benar-benar dapat digugu dan ditiru. Sosok dosen dan kiai yang out of the box. Menyukai music rock, tapi jangan ditanya soal kitab kuning. Semua dilahap habis. Sebagai alumni Lirboyo, pemahaman beliau akan kitab klasik tidak perlu dipertanyakan. Jadi, tidak mengherankan akhirnya beliau didapuk sebagai Rais Syuriah PCNU Karanganyar.
Menjelang akhir hayatnya. Saya dan keluarga menyempatkan untuk menjenguk beliau. Kurang lebih sebulan yang lalu. Sayangnya, kunjungan yang mendadak itu (tanpa konfirmasi terlebih dahulu) berakhir sia-sia. Saya belum bisa bertemu dengan beliau secara empat mata. Saat itu beliau istirahat. Dan pesan istrinya untuk sementara bisa di lain waktu. Meskipun kecewa, dalam hati yang terdalam saya selalu mendoakannya. Izin Yai, izinkan kami untuk melanjutkan perjuangan panjenengan. Alfatihah.