Oleh: M. Zainal Anwar *

Berbagai kasus terorisme dan gerakan radikal ekstrem akhir-akhir ini melibatkan civitas akademika di perguruan tinggi. Mulai kasus Bahrun Naim, Siska di Mako Brimob, seorang guru besar di kampus ternama di Jawa Tengah hingga yang mutakhir adalah penangkapan alumni di perguruan tinggi di Riau. Hal ini seolah menjadi pembuktian bahwa tingkat keterpaparan perguruan tinggi terhadap radikalisme ekstrem sudah sedemikian parah. Dan, hari-hari ini seolah kita panen aktor radikal ekstrem tersebut.

Kasus teror dan radikalisme ekstrem yang melibatkan mahasiswa hingga dosen di perguruan tinggi membuncahkan satu pertanyaan penting, apakah nilai-nilai tenggang rasa, menghormati keyakinan orang lain hingga rasa saling memiliki sebagai bangsa Indonesia sudah sedemikian menipis? Bukankah nilai-nilai tersebut terkandung dalam pancasila yang menjadi mata kuliah dasar di setiap kampus? Jangan-jangan memang Pancasila sudah sedemikian tergerus atau memang mata kuliah Pancasila tidak lagi mampu membangkitkan kesadaran menjadi dan menghayati Indonesia.

Sebagai mata kuliah institut atau universitas, hampir semua kampus mengajarkan Pancasila kepada semua mahasiswanya. Tetapi, merujuk pada kasus mutakhir dimana banyak civitas akademika hingga alumni perguruan tinggi terlibat dan bahkan menjadi aktor utama kegiatan terorisme atau gerakan radikal ekstrem, tentu kita wajib merefleksikan model, pola dan strategi pembelajaran mata kuliah Pancasila di kampus agar tidak sekedar diajarkan secara formalitas tetapi menjadi bagian dari menanamkan kecintaan pada bangsa dan negara.

Jelas, tantangan terkini dari Pancasila di perguruan tinggi adalah merebaknya kegiatan-kegiatan bernuansa radikal ekstrem. Disinilah benih-benih mahasiswa berwajah ganda akan muncul. Di satu sisi, ia mendengar dan mungkin juga mendalami seraya mengerjakan tugas-tugas kuliah dari mata kuliah Pancasila. Tetapi pada saat yang sama, entah disadari atau tidak, ia belajar untuk mencari pengganti Pancasila sebagai ideologi negara dan kesepakatan bersama warga bangsa. Tidak masalah tentunya belajar berbagai ideologi di dunia dalam sebuah perguruan tinggi, tetapi yang patut diwaspadai adalah adanya provokasi atau hasutan untuk mengganti Pancasila.

Dalam situasi seperti ini, perguruan tinggi perlu menyegarkan pembelajaran Pancasila agar tidak hanya menjadi formalitas mahasiswa karena dianggap mata kuliah wajib tetapi mengajak mahasiswa yang nota bene generasi milenial agar lebih menyelami dan mampu mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada kehidupan kampus dan kesehariannya.

Pentingnya penyegaran mata kuliah Pancasila karena selain “serangan” terhadap Pancasila semakin bertubi tubi juga pengajaran Pancasila perlu disesuaikan dengan karakter mahasiswa milenial yang tidak suka terlalu banyak ceramah di dalam kelas. Dengan karakter akrab teknologi, media sosial dan suka jalan-jalan, maka Pancasila harus lebih didekatkan dengan realitas dan kehidupan sehari-hari para mahasiswa cum generasi milenial. Bukan melulu untuk indoktrinasi yang tentu saja akan membosankan. Pengalaman penulis ketika mahasiswa dulu dimana Pancasila disampaikan dengan gaya penataran tentu sudah tidak relevan lagi.

Tantangan Pancasila

Salah satu akar dari radikalisme ekstrem adalah lunturnya rasa hormat, welas asih dan toleransi terhadap orang lain. Padahal, hal itu merupakan sebagian dari berbagai nilai yang ada dalam Pancasila. Penulis curiga bahwa model pembelajaran selama ini kurang mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menjadi warga Indonesia dengan menjadikan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai salah satu panduan.

Argumen semacam ini bukannya tanpa resiko. Justru disinilah titik krusial yang biasanya menjadi pijakan perlawanan kelompok radikal ekstrem. “Tidak ada panduan dalam kehidupan yang sempurna kecuali dari Al Quran dan Hadits,” kira-kira begitulah respon yang biasanya diajukan untuk “menantang” Pancasila sebagai pondasi dan panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Debat kusir pun acap terjadi dan pada akhirnya masing-masing kubu tetap pada pendirian masing-masing.

Jika sudah demikian kejadiannya, tidak terelakkan jika benih-benih radikal ekstrem semakin membesar dan berpengaruh pada sikap dan pendirian mahasiswa di masa mendatang. Yang terjadi adalah transformasi dari yang awalnya menentang dan menantang Pancasila dengan cara menjadikannya sebagai mata kuliah yang formalitas semata dan pada akhirnya tidak ada gairah bahkan “mengharamkan” Pancasila sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai pihak sudah menegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama, dan bukan sesuatu yang harus dipertentangkan dengan agama.

Bersandar Realitas

Di era pasca merebaknya terorisme dan gerakan radikal ekstrem yang bersarang di perguruan tinggi, maka pengajaran dan pembelajaran Pancasila harus bisa mengikuti arus jaman. Gaya atau model penyampaian mata kuliah Pancasila perlu menyesuaikan dengan karakter mahasiswa cum generasi milenial. Bukan lagi model hafalan atau membuat tulisan berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan, tetapi perlu ada model kunjungan ke komunitas atau jika di dalam kelas bisa mendiskusikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dan membahasnya dengan menggunakan Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sebagai perspektif.

Mahasiswa perlu didekatkan dengan realitas keseharian dalam mengkaji Pancasila. Sebagai contoh, untuk menginternalisasi nilai kemanusiaan dalam sila kedua, maka mahasiswa diajak berkunjung ke tempat ibadah kelompok minoritas agar tumbuh rasa menghormati dan empati. Cara lain bisa dilakukan dengan meminta mahasiswa merasakan menjadi seorang warga minoritas agar bisa mendapatkan pengalaman seorang minoritas walaupun sebetulnya dia adalah seorang warga mayoritas di daerah x. Pengalaman ini lalu ditulis dan didiskusikan dengan teman di kelas dan diharapkan terjadi pertukaran pengalaman untuk memperkaya wawasan.

Penulis berpendapat bahwa memperkaya wawasan dan pengalaman ke berbagai komunitas yang berbeda pandangan dan keyakinan penting dilakukan agar mahasiswa tidak sumpek di dalam kampus dan merasa tidak ada dunia lain di luar sana. Banyaknya tugas dari berbagai mata kuliah yang kebanyakan mengharuskan mahasiswa ke Perpustakaan atau cukup di dalam kelas tampaknya perlu dipikirkan ulang karena lama kelamaan membuat mahasiswa tercerabut dari akar masyarakat dan lingkungannya. Menjadi penting bagi mahasiswa untuk menziarahi komunitas atau institusi yang di luar dunianya agar pengalaman mahasiswa menjadi kian beragam dan muncul kesadaran bahwa masyarakat Indonesia tidaklah tunggal.

Pintu masuk pertama bagi kampus untuk menggelorakan Pancasila di perguruan tinggi tentu saja ketika kampus menyelenggarakan pengenalan budaya dan akademik kampus. Kegiatan yang ditujukan untuk menyambut mahasiswa baru ini perlu dimanfaatkan untuk mengenalkan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan nilai-nilai yang perlu dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa dan civitas akademika harus menyadari bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi agen untuk menyebarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi bagi kampus negeri yang dibiayai negara, maka menjadi ironi jika tidak mampu menjadikan civitas akademiknya sebagai garda depan yang menggelorakan Pancasila.

  • Staf Pengajar dan Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta

Komentar