Beberapa waktu lalu, Gus Rozin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, menyampaikan data yang patut kita cermati. Data RMI PBNU mencatat, paling tidak hingga awal Desember 2020 sudah ada sekitar 207 pengasuh pesantren, baik Kiai, Nyai, Gus hingga Ning yang wafat di masa pandemi Covid-19. Di awal tahun 2021 ini, berita wafatnya para ahli agama di kalangan pesantren terus bertambah. Tiap hari ada saja berita meninggalnya para ulama hingga habaib.

Kondisi ini tentu patut menjadi perhatian bersama. Sosok kiai atau nyai adalah profil pengasuh pesantren yang menaungi santri dan menjadi rujukan bagi warga sekitar pesantren. Wafatnya para ulama adalah kehilangan yang besar bagi pesantren dan masyarakat sekitarnya, bahkan bisa jadi menjadi kehilangan bangsa Indonesia. Lalu, apa implikasinya?

Ulama adalah pemilik otoritas keagamaan di dalam lanskap pesantren. Bahkan otoritas ini bisa meluas lintas batas geografi apabila sang ulama tersebut digemari ceramahnya dan petuahnya banyak diterima di banyak tempat. Artinya, otoritas ini ada yang bersifat lokal, regional, nasional hingga internasional. Dus, ketika pemilik otoritas tersebut meninggal, maka hilang pula pengetahuan keagamaan yang melekat pada diri ulama tersebut. Padahal, pengetahuan dan bangunan otoritas ini tidaklah terbentuk dengan mudah.

Otoritas keagamaan dan pengetahuan yang melekat pada diri seorang ulama tidak bisa ditentukan masa belajarnya sebagaimana seorang mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Meskipun seseorang belajar atau mengaji dari satu pondok ke pondok yang lain, belum tentu ketika kembali ke habitat aslinya bisa langsung disebut kiai. Gelar kiai atau ustadz adalah pemberian masyarakat dan tidak bisa asal diberikan kepada siapa saja.

Bahkan meskipun seseorang tersebut memiliki hubungan kekerabatan atau masih keluarga seorang ulama, belum tentu gelar kiai akan otomatis melekat pada diri seseorang. Seorang putra atau putri kiai tentu saja memiliki kans besar melanjutkan estafet kepemimpinan dalam pesantren. Tetapi tanpa dibekali pengetahuan keagamaan yang memadai, maka pengakuan atas ke-kiai-an seseorang tidak akan bisa muncul begitu saja.

Paling tidak, pemberian ini ibarat rekognisi publik atas tiga hal yang melekat pada diri seorang ulama. Pertama, kemahiran pengetahuan keagamaan yang dimiliki. Kedua, aktivitas keagamaan yang diberikan ulama tersebut dirasakan sangat membantu kebutuhan keagamaan masyarakat misalnya memimpin sholat, mengisi acara keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini, meski saat ini ada mesin pencari yang canggih sekalipun, aspek yang kedua tidak mungkin bisa dilakukan oleh, misalnya google. Ketiga, sisi akhlak baik yang menjadikan seorang ulama adalah cermin prilaku bagi masyarakat. Dalam bahasa lain, seorang ulama tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki etika yang bagus.

Teladan dan Panutan

Seiring dengan mangkatnya para ulama di masa pandemi ini, kehilangan besar bagi pesantren adalah semakin langkanya sosok teladan dan panutan yang menjadi sisi penting dalam diri para ulama. Pesantren mengalami permasalahan pengasuhan dan kehilangan sosok teladan yang biasanya menjadi panutan. Keteladanan yang ada dalam diri seorang ulama adalah praktik baik yang menjadi pengetahuan bagi pembentukan karakter bagi santri.

Soal pembentukan karakter ini adalah sisi praktis yang menjadi teladan bagi santri dan publik. Artinya, pendidikan karakter tidaklah hanya sebatas pengetahuan di dalam buku atau modul. Lebih dari itu, kepribadian dan sosok ulama adalah cermin bagi siapa saja yang ingin melihat prilaku nyata yang baik. Belum lagi jika sosok ulama tersebut adalah pribadi yang selama ini mampu menjadi orang yang bisa menjadi jembatan bagi orang atau pihak yang sedang bserseteru. Artinya, ada nilai kepercayaan dan dipercaya public dalam diri seorang ulama.

Lagi-lagi, sisi akhlak yang baik dalam diri seorang ulama tidaklah terbentuk hanya dalam hitungan bulan. Kepribadian yang baik dan menjadi panutan adalah akumulasi tindakan bertahun-tahun yang selalu dipupuk dan disemai secara rutin oleh seorang ulama. Wafatnya ulama maka hilang pula keteladanan dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.

Kondisi yang demikian memerlukan perenungan bersama. Regenerasi dalam pesantren adalah hal paling penting menjadi perhatian bersama. Wafatnya para pengasuh pesantren harus segera dibarengi dengan adanya pengganti atau penerus. Ini tentu agar kegiatan dan syiar dakwah dari dunia pesantren tidak lantas berhenti seiring wafatnya para ulama.

Komentar