Tak ada jubah putih di tubuhnya, tak ada rambut panjang di dagunya, bahkan tak sering terlihat kopiah di kepalanya. Ialah Habib Husein Ja’far al Hadar, seorang habib muda yang enggan tampil ke Arab-araban. Berbeda dari kebanyakan tokoh yang juga melintang menyiarkan dakwah Islam. Meski berdarah Arab asli, Habib Husein tidak serta merta merasa memiliki nilai agama lebih tinggi. Karena baginya, Arab bukanlah simbol bermuslim.
Saat kajian diidentikkan dengan narasi lantang, ia lebih suka menyampaikan dengan tenang. Memberi pengaruh baik melalui media digital menjadi pilihan. Dari segala konten di akun Youtube-nya, Jeda Nulis, tak pernah sekalipun terdengar nada bicara yang meledak-ledak.
Bertutur kata dengan adem, serta senyum yang tak pernah lupa ia berikan. Sering kali, orang-orang yang dipandang tidak cukup paham agama (misal, tokoh publik figur) yang justru diajak untuk berbincang. Bagaimana Habib Husein excited dengan pandangan orang lain, mungkin suatu alasan mengapa lawan bicara merasa nyaman ketika berbincang.
Mereka merasa dihargai dengan diterimanya pendapat-pendapat yang disampaikan. Bahkan, sampai pada tingkat tidak lagi merasa malu untuk bertatap muka dengan seorang Habib.
Selain Jeda Nulis, Kultum Pemuda Tersesat juga menjadi konten yang diidolakan. “Tersesat” dimaknai sebagai perasaan penanyanya. Perasaan yang membawa mereka agar terus belajar, bertanya, dan memperbaiki diri. Pertanyaan-pertanyaan yang terkadang konyol, adalah bentuk kegelisahan yang tulus dari hati dan kejernihan akal, sebagai semangat pencarian dalam agama.
Kultum Pemuda Tersesat bukan hanya perbincangan tanya jawab belaka, tapi sebagai medium untuk mengagamakan canda.
Husein Ja’far al Hadar, sosok Habib yang menyelesaikan gelar Magister Pasca Sarjana Tafsir UIN Jakarta. Menurutnya, tiap-tiap orang memerlukan perhatian dari para ulama. Tidak terkecuali para publik figur. Bersama mereka, perbincangan menjadi bukan hanya sekadar mengobrol. Jokes, komedi, dan musik, merupakan topik-topik yang bisa ditemukan dalam semua konten.
Mengingat latar belakang beragamnya seorang publik figur, sudah seharusnya ia mampu untuk menciptakan kesatuan yang utuh secara kreativitas. Bukan hanya tampilan, hal lain yang diperhatikan adalah konten.
Baginya, manusia di zaman ini, khususnya anak muda, cenderung tidak suka kepada sebuah konten yang berisi menggurui. Mereka lebih nyaman untuk diperlakukan sebagai kawan, saling mengungkapkan dan saling mendengarkan.