Islamsantun.org – Ketika saya menonton beberapa video di YouTube, membaca unggahan di media sosial seperti X dan Facebook, ternyata masih banyak pemuka agama yang menggemakan dalil tentang jihad. Tak jarang, mereka juga melontarkan tudingan kafir kepada orang lain. Penyematan kata “kafir” ini adalah penyakit lama yang melekat pada sebagian penceramah dan tokoh agama.
Ucapan kafir tersebut sebanding bahayanya dengan stigmatisasi negatif terhadap suku, etnis, dan warna kulit. Tanpa berpijak pada ilmu yang bersumber dari rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, hal itu sering meracuni jiwa serta pikiran sebagian umat Islam. Lebih dari itu, kebiasaan semacam itu mencerminkan egoisme religius maupun kesukuan yang lahir dari kedangkalan pemahaman atau bahkan sifat asli si penutur.
Penyematan “kafir” secara serampangan dan stigma negatif terhadap etnis biasanya bermula dari dua sumber: egoisme keagamaan di satu sisi, dan kepongahan kesukuan di sisi lain. Keduanya, jika ditelaah lebih jauh, setara dengan tindakan tidak beradab, atau bahkan lebih buruk lagi, menunjukkan kebodohan.
Padahal, Nabi Muhammad Saw. yang dipuja sebagai cahaya Ilahi oleh umatnya telah dengan tegas melarang perilaku semacam itu. Egoisme keagamaan dan kesukuan adalah penyakit yang merusak tatanan umat. Nabi pernah bersabda:
“Barang siapa mendakwah sesama mukmin sebagai kafir, maka sama saja ia telah membunuhnya,” (HR. Tirmidzi No. 2636 dari Tsabit bin Ad-Dhahhak).
Ucapan “kafir” yang dilontarkan sembarangan, dalam hadis tadi, disetarakan dengan tindakan membunuh manusia. Sama halnya dengan stigma negatif terhadap suku, yang sebenarnya mencoba membunuh karakter, kehormatan, dan martabat sebuah komunitas secara kolektif.
Logikanya sederhana: jika seseorang dituduh kafir meski seagama, maka sesuai logika agama, hak hidupnya seolah dianggap halal untuk dirampas, bahkan sampai pada kekerasan fisik. Sebaliknya, jika seseorang melontarkan rasisme terhadap suku tertentu, dia telah merampas hak kebahagiaan, ilmu, pendidikan, peradaban, dan martabat orang-orang dalam komunitas tersebut.
Perilaku semacam itu, secara sadar atau tidak, melanggengkan rasisme dan permusuhan yang telah susah-payah dihapus oleh Nabi Muhammad Saw. serta tokoh-tokoh kemanusiaan sejak zaman jahiliyah. Lebih dari itu, tindakan tersebut memperkuat lingkaran setan yang melemahkan persatuan, menghancurkan kerukunan, dan merusak potensi manusia sebagai khalifah di bumi.
Dalam ini, saya lagi-lagi teringat sabda Rasulullah; “Barang siapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai, kafir, maka salah seorang saudara dari keduanya akan membawa pulang dosa dari ucapan itu, meski dia (si pengata) benar. Sebaliknya, jika tidak demikian, maka dosa dari kalimat itu akan menimpa kepadanya” (H.R Imam Al-Bukhari 5753).
Sebagai orang yang sama-sama mencintai Nabi, tentu saja peringatan keras dari Nabi di atas adalah ucapan yang sudah dilumat habis dan bertengger di dada sebagian umat muslim. Sebab, Nabi mengucapkan di atas, hanya bertujuan agar umat ini elok dalam memandang manusia lain. Nabi berupaya menutup celah keserakahan dan kepongahan sebagian umatnya yang bisa berakibat lahirnya permusuhan.
Sebagai umat muslim, yang selalu mengaku cinta Nabi, solawatan ke sana sini dari kecil hingga dewasa ini, saya benar-benar sangat malu atas peringatan keras Nabi di atas. Ketika ada orang muslim menstigma kafir dan menstigma suku secara bar-bar, rasanya itu kembali disuguhkan kepada Nabi, sahabat, keturunannya, dan kepada saudara sesama muslim di dunia.
Padahal Al-Qur’an, mukjizat agung yang paling disukai Nabi pernah mengatakan: “Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu dekat dengan takwa” (QS. Al-Maidsh [5]:8).
Saya mengandaikan, ayat ini disuruh pegang dan dibaca oleh Nabi kepada umatnya, dalam hal apa saja, baik melihat realitas masalah di lapangan atau dalam menuntaskan perselisihan, termasuk menyelaraskan kedongkolan perasaan.
Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku muslim dan mengaku cinta Nabi mudah lupa dengan sabda Nabi dan kitab suci-nya itu. Kita memilih untuk menampilkan sikap paling pintar, paling digdaya, paling berguna, paling tahu, paling sempurna, paling beradab dan paling-paling yang lain.
Naifnya, semua itu meminta divalidasi, yang sebenarnya itu adalah penyakit jiwa. Bagaimana mungkin orang yang akal pikirannya sibuk menstigma suku, mencari validasi dan mencari kemonceran, bisa mengalahkan sakit yang berumah di dadanya yang telah hancur, pikirannya dan jiwanya retak oleh nafsu, walau hanya berupa kata kafir dan stigma negatif pada kesukuan?
Dalam hal ini, saya membayangkan bagaimana wajah Nabi mengetahui perilaku umatnya ini. Untungnya, saya masih mengingat sabdanya: “Sesunggunya di antara bangsaku ada orang-orang yang membaca Al-Qur’an tapi tidak melampui tenggorokan mereka.”
Sabda tersebut menggambarkan bahwa sebagian umat hanya memahami agama secara dangkal—hanya sebatas formalitas, tanpa menyentuh palung hati dan mengubah perilaku.
Ini susah, karena sebagian umatnya Nabi ini kadangkala hanya pintar mengubah cintra di media, lewat kata-kata mutiara, lewat responitas atas semua hal yang terjadi di dunia, lewat pesona muka yang dipermak oleh bedak digital, lewat patronase dengan menjual nama-nama besar di lingkungannya, atau malah lewat kedengkian yang tak pernah selesai.
Dari sini saya sadar, kadangkala umatnya inilah yang memang menggampangkan ajaran agama itu sendiri (tafrith), sembari bersikap berlebihan dan tidak adil kepada yang lain.
Atas semua itu, semoga Tuhan mengampuni kesalahan, keburukan, kekeliruan, keujuban, kejumudan, kepongahan, keburukan umatnya ini.
“Tuhan pelihara kami, terimalah dari kami (amal kami), sesunggunya Engkaulah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 127).