Dalam tradisi Sufisme Islam, misalnya Ibn Arabi dan Hakim Tirmidzi, Nabi Isa dan Nabi Muhammad digambarkan dekat/akrab. Mereka berdua mengaku, beberapa kali didatangi (dalam mimpi) oleh nabi Muhammad yang ditemani nabi Isa, dalam proses kesufian atau pelantikan keduanya sebagai sufi. Sufi-sufi yang lain juga mengaku didatangi nabi Muhammad dan nabi Isa sebagai tanda kewalian/kesufian mereka.

Dalam Al-Quran, Nabi Muhammad juga “condong” atau “berpihak” kepada orang-orang Nasrani. Dalam Surat Al-Maidah ayat 82 jelas Allah memberi tahu Nabi bahwa “Dan pasti engkau (Muhammad) akan mendapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya (denganmu) adalah dari orang-orang Nasrani”. Allah menggunakan kalimat “aqrabahum mawaddah”: kasih sayang, bukan hanya sekadar persahabatan.

Dalam ayat itu Allah menjamin bahwa orang-orang Nasranilah yang akan menunjukkan persahabatan dan kasih sayang mereka kepada Nabi. Bahkan dalam Al-Qur’an, selain ada Surat Maryam, ada juga Surat Ar-Rum: bangsa Romawi yang beragama Kristen (Nasrani). Jelas, nabi Muhammad “berpihak” kepada bangsa Romawi dan senang ketika bangsa ini menang perang dari bangsa Persia. Luar biasa Al-Qur’an ini sampai satu bangsa (Romawi) yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dijadikan nama Surat dalam Al-Qur’an.

Dalam hadis Riwayat Bukhari, Nabi menegaskan persahabatan dan kasih sayangnya dengan Nabi Isa “Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.”

Untuk pertama kalinya, Nabi mencoba peruntungan dengan mengutus orang-orang yang hijrah perdana yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib ke Abisinia, daerah Ethopia sekarang. Negeri itu dipimpin oleh Raja Kristen, Raja Negus (Najasyi), dan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di Abisinia ini, rombongan muhajirin yang dipimpin oleh Ja’far ini diterima dengan baik oleh Negus dan menjadi tamu kehormatan mereka selama 3 bulan.

Mereka kemudian kembali ke Mekkah dan daerah ini dianggap tidak cocok untuk Hijrahnya Nabi dan kaum Muslim. Tapi Nabi selalu mengenang kebaikan Raja Negus yang Kristen itu. Karena itu, kelak setelah Nabi tinggal di Madinah dan mendengar Raja Negus wafat, Bukhari pada Hadis nomor 1225 menceritakan bahwa Nabi pergi ke musala, membuat shaf dengan sahabat-sahabatnya dan bertakbir 4 kali (salat ghaib).

Dalam Hadis Bukhari nomor 1294, Jabir bin Abdullah menyatakan bahwa Rasulullah salat (gaib) atas Najasyi (Negus) dan “Aku (kata Jabir) berada di shaf kedua atau ketiga”. Nabi mendoakan dan mengenang kebaikan Raja Kristen ini yang dulu pernah menolong dan melindungi kaum Muslim yang hijrah periode pertama. Kemudian, menurut satu sumber Kristen Ortodoks, ketika “elit-elit” Kristen Bizantium (Romawi) “memprediksikan” bahwa Islam bakal menjadi agama besar, maka mereka mengutus utusan dengan membawa hadiah beberapa perempuan cantik yang dipersembahkan kepada Nabi Muhammad. Tapi yang paling cantik di antara mereka adalah Maria Al-Qibtiyyah (Kristen Koptik Mesir).

Saat itu, Mesir di bawah kekuasaan Romawi. Nabi kemudian menerima hadiah itu dan menikahi Maria (setelah diislamkan oleh Nabi). Dalam satu kesempatan, Nabi bilang kepada Umar bin Khattab “Umar, suatu hari nanti Mesir jatuh ke tanganmu. Kalau itu terjadi, aku titip agama lama bibimu ini (Kristen Koptik)”.

Benar saja, pada musim panas 6 Juni 640 Masehi (di masa kekhalifahan Umar bin Khattab), Mesir jatuh ke tangan kaum Muslim dari kekuasaan Romawi di bawah komando ‘Amr bin Ash. Selama Amr bin Ash memimpin Mesir’, ia memberikan kebebasan penuh kaum Kristen Koptik dalam agama mereka. Kaum Muslim dilarang ikut campur dalam urusan keagamaan gereja Koptik. Kristen Koptik dilindungi, bahkan Patriarkh Koptik Mesir, Benyamin dilindungi, direhabilitasi dan dijamin keselamatannya karena selama 13 tahun sembunyi di gurun sahara akibat intimidasi rezim Romawi di Mesir.

Akhlak Nabi Isa dan Nabi Muhammad juga mirip. Bagi Nabi Isa, berbuat baik tidak sama dengan membalas kebaikan “Kalau engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat baik padamu, itu namanya “membalas kebaikan”, bukan perbuatan baik. “Kalau engkau silaturahmi kepada orang yang sering berkunjung ke rumahmu, itu namanya “membalas kunjungan”. “Berbuat baik adalah engkau berbuat baik kepada musuh-musuhmu”, “maafkan musuh-musuhmu”, “Silaturahmi adalah engkau datang kepada orang yang memutus hubungan denganmu”, “engkau datang kepada musuh-musuhmu”.

Ternyata Nabi Muhammad juga demikian. Dalam peristiwa aniaya kepada dirinya di Thaif, peristiwa di banyak tempat, dan terakhir adalah peristiwa pembebasan kota Mekkah, Nabi menunjukkan kualitasnya sebagai Nabi agung pemaaf.

Dalam peristiwa Pembebasan Kota Mekkah nyawa ribuan orang Mekkah di “ujung bibir Nabi”. Jika Nabi bilang kepada pasukan kaum Muslim yang jumlahnya 10.000 yang mengepung Mekkah “Bunuh semua mereka!” maka “selesai” sudah. Nabi sebenarnya punya hak untuk balas dendam mengingat 13 tahun Nabi di Mekkah dimusuhi, dianiaya, disiksa, diboikot, dan banyak sahabatnya yang dibunuh.

Tapi Nabi tidak melakukan itu. Nabi berdiri di sekitar Ka’bah dan Masjidil Haram, lalu Nabi membuka pidatonya, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut pendapatmu, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” “Yang baik-baik, sepupu yang pemurah,” jawab mereka.

Dalam Sirah Nabi yang lain, jawaban mereka adalah “kami berkata yang baik dan berpikir yang baik, saudara yang mulia dan baik hati, putra saudara yang mulia dan baik hati, adalah hakmu untuk memerintah.”

Dengan bergetar Nabi kemudian berbicara, “hari ini adalah hari kasih sayang (al-yawm yawmul marhamah). Pergilah kamu sekalian. Kalian sekarang sudah bebas (antumut thulaqa).” Nabi memaafkan musuh-musuhnya, baik ketika ia masih dalam jumlah kecil yang lemah, maupun ketika sudah jadi mayoritas yang kuat. Seperti juga Nabi Isa, Nabi Muhammad bersabda “(Laysal wasil bil mukafi, walakin al-wasil al-ladzi idza quti’at rahimahu washalaha) Bukanlah silaturahmi itu membalas kunjungan, tetapi adalah menyambung tali yang putus”: tali persahabatan, tali kekerabatan, tali kasih sayang (Hadis Shahih Bukhari).

Dalam Islam, Nabi Muhammad sendiri dipanggil sebagai “nabiyyur rahmah: nabi dengan kesantunan dan empati yang luar biasa, yang diutus “al-mab’uts rahmatan lil ‘alamin”. Kurang apa lagi keindahan, humanitas, dan keagungan sikap Nabi Muhammad?

Bagi saya, Nabi Isa dan Yesus adalah person yang sama dengan panggilan yang berbeda. Nabi Isa dan Nabi Muhammad tidak pernah berjumpa secara fisik. Rentang waktu lebih dari 500 tahun memisahkan fisik mereka. Tetapi “persahabatan spiritual” mereka mestinya menuntun kita: kaum Muslim dan Kristen menjalin persahabatan tulus serupa.

Warisan “kesamaan teologis” keduanya dalam hal empati, simpati, dan akhlak yang agung rasanya kini semakin relevan dan kontekstual di tengah iklim polarisasi, permusuhan dan kebencian, baik antara Muslim dan Kristen maupun di antara sesama agama masing-masing.

Tetapi, yang dirawat oleh memori kaum Muslim-Kristen hari ini adalah warisan konflik dan perang antara dua agama bersaudara ini: Perang Salib, Penjajahan terhadap negeri-negeri Muslim yang kebetulan penjajahannya adalah kaum Kristen-Protestan, dan konflik-konflik yang lain.

Mengapa warisan sejarah politik yang berdarah-darah itu yang kita rawat? Mengapa kita tidak melanjutkan “warisan teologis dan historis” yang harmonis antara Nabi Isa dan kaum Kristen dengan Nabi Muhammad dan kaum Muslim?

Komentar