Ketika membicarakan tentang toleransi, sebagian muslim nyatanya masih kurang antusias karena menganggap toleransi adalah ajaran luar dan bukan berasal dari tradisi Islam. Karena memang, istilah “toleransi” tidak kita jumpai secara verbatim dalam kitab suci maupun sunah Nabi, meski substansi tentang toleransi itu sendiri telah menjadi bagian inheren dari Islam.

Dengan kata lain, toleransi lebih dipandang sebagai ajaran yang diperkenalkan oleh teori politik modern. Itulah sebabnya sebagian muslim merasa setengah hati atau kurang yakin ketika berbicara tentang toleransi. Kalaupun antusias, sebagian Muslim lebih terdidik merasa lebih mantab untuk mengambil justifikasi toleransi dengan mengutip dari teori modern yang lebih meyakinkan tentang faham pluralisme, hak asasi manusia, maupun multikulturalisme.

Di dunia penelitian pun, kajian tentang toleransi seperti mandeg dan tidak dikembangkan, kalah dengan kajian-kajian tentang intoleransi dan radikalisme yang lebih menggugah emosional dan simpati. Padahal, semestinya kajian tentang toleransi dan kajian tentang intoleransi berjalan beriringan. Keyakinan bahwa toleransi adalah primat moral yang “inheren” dalam Islam dan perlu dikembangkan menjadi kajian yang sistematis sepertinya masih belum banyak disadari oleh muslim di Indonesia.

Toleransi di Mata Dunia

Karya dari sarjana kita seperti Gus Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran (Mizan, 2011) dan Gus Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi (Pustaka Oasis, 2017) adalah prototype yang bagus dalam kajian ini. Belakangan Quraish Shihab juga menulis Toleransi (Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman) (Lentera Hati, 2022). Namun ketiganya belumlah cukup menutup kebutuhan.

Kesan itu, kurangnya kajian toleransi sebagai “cardinal virtue” dalam Islam dan ketimpangan narasi itu, yang segera tampak dalam benak penulis ketika harus bersinggungan dengan gagasan Adam B. Seligman. Profesor dalam bidang agama dari Boston University sekaligus direktur CEDAR ( Communities Engaging with Difference and Religion) ini merupakan ilmuwan sekaligus aktivis dalam lingkar toleransi dan perdamaian.

Latar belakang intelektual dan aktivismenya memberikan otoritas kuat untuk berbicara tentang toleransi agama. Seligman mencoba meyakinkan dan mengembangkan wacana toleransi dengan argumen-argumen religius daripada argumen sekuler. Dalam pandangannya, argumen-argumen tradisional dalam tradisi monotheisme tak kalah luarbiasanya daripada argumen-argumen modern. Penulis mencoba menilik sekilas gagasan Seligman.

Dalam Modest Claims: Dialogues and Essays on Tolerance and Tradition yang ditulis tahun 2004, Seligman memberikan serangkaian argumen toleransi yang bersumber pada tradisi monotheistik. Ia menggali dari sumber toleransi yang ada dalam tradisi Yahudi, Kristiani, dan Islam, yang sebagian besar sumber khasanah tradisional tersebut menurutnya sudah jarang dieksplorasi lagi dalam perdebatan publik hari ini dan dalam berbagai agenda sosial tentang perdamaian.

Pemahaman tradisional semacam itu, menurutnya, dapat menjadi pijakan untuk membangun dialog agama dan budaya untuk perdamaian ke depan. Gagasan ini memantik kita untuk mempelajari toleransi dari tradisi kita sendiri. Belajar kepada tradisi ulama-ulama klasik kita sendiri di dalam menyikapi perbedaan dan mengelola keragaman adalah salah satunya.

Seligman juga menulis Rethinking Pluralisme: Ritual, Experience, and Ambiguity  (2012), menyinggung tentang ritus agama dan menawarkan langkah alternatif membangun toleransi agama. Menurutnya, menyikapi situasi modern yang penuh ambiguitas dan tersekat-sekat dalam identitas agama, kita harus lebih memahami dan mengenal, bahkan mau “berbagi pengalaman” tentang ritual agama. Kita dapat menggali kembali dan merujuk kepada “tradisi” agama: misalnya, komentar para tokoh agama di masa lalu, teks-teks klasik, untuk menyelesaikan problem-problem modern.

Melampaui Teori

Menggunakan pendekatan pragmatisme, Seligman menekankan pentingnya pengalaman keagamaan (religious experiences) dalam beragama, pengalaman yang partikular (individual), kontingen (manusiawi), dan dialami secara otentik, yang kontras dengan informasi keagamaan yang seringkali abstrak, umum, dan tidak menubuh. Hanya dengan cara “mengalami” agama itu kita dapat menciptakan “empati” untuk menghadapi kenyataan hari ini yang sangat plural.

Meski kita tidak dapat menolak ambiguitas yang telah melekat secara inheren dalam cara kita mengkonstruksi kehidupan sosial yang sangat kategoris hari ini, Seligman mendorong untuk kita merekonseptualisasi cara berpikir kita tentang “batas-batas” identitas agama agar kita lebih terbuka, bukan hanya terpaku pada “garis notasi yang solid” yang menyekat berbagai identitas, tetapi juga masuk dalam “membran” atau lapisan yang dapat dialami bersama dari ritual-ritual agama. Kita bisa mengamini pandangan Seligman tersebut, karena memang, tanpa mengenal, mempelajari, dan memahami tradisi agama lain, kita sulit untuk membuka empat dan bersungguh-sungguh untuk menghormati kelompok agama lain.

Karya Seligman yang lebih mutakhir adalah Living with Difference: How to Build Community in a Devided World (2016). Dalam karya ini, Seligman berargumen bahwa daripada mengekspresikan toleransi dalam bentuk mengendalikan diri agar tidak terjadi konflik –penulis menyebut ekspresi semacam ini sebagai toleransi koeksistensial atau kerukunan agama yang rentan[1]–, Seligman dengan gagasan Living with Difference menyatakan pentingnya memahami perbedaan dalam menciptakan sebuah masyarakat, mencari jalan bukan untuk menolak atau menyelesaikan perbedaan itu, tetapi untuk berani hidup bersamanya, di dalamnya, dengan ruang dan praktik kedirian yang reflektif.

Dengan menekankan aspek pedagogi (pengajaran) dan pengalaman penulisnya dalam menjalankan program-program pendidikan inklusif, buku ini berbagi tentang tantangan yang harus dihadapi dalam rangka mengakomodasi dan menghadapi perbedaan serta melintasi batas-batas (barriers) kategori, sekalipun itu susah dan tidak nyaman dilakukan. Pendidikan mesti menciptakan kondisi anak didik yang memahami kondisi perbedaan alamiah yang ada di sekitarnya. Pun, kita bisa segera mengaminkan gagasan pendidikan inklusif Seligman ini.

Fungsi Riil di Indonesia

Jika kita berrefleksi dari agenda Nahdlatul Ulama sendiri, dalam khittahnya menjunjung tinggi empat pilar yang juga  dikenal sebagai “prinsip aswaja”, di antaranya adalah toleransi (tasamuh), selain moderat (tawassuth), adil (i’tidal), dan seimbang (tawazun). Keyakinan toleransi sebagai nilai intrinsik dalam tubuh Nahdlatul Ulama itu yang pernah penulis presentasikan dalam sebuah forum PCINU bertajuk Seeking the Middle Path (Wasatiyya): Articulations of Moderate Islam (2019), bahwa Nahdlatul Ulama menjadi penjaga gawang toleransi di Indonesia, karena memang toleransi merupakan karakter yang menyatu dengan pilar-pilar yang lain dalam khittah keislamannya. Kegiatan itu dirangkai dengan kegiatan rutin NICMR, forum dialog agama Indonesia-Belanda, yang bertajuk “PromotingCostlyTolerance: Challenges for States and Religious Communities” (2019).

Bagi penulis sendiri, Nahdlatul Ulama memiliki banyak figur yang mencirikan watak “costly tolerance” yang digambarkan Leo Koffeman (2016) ini, seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang bukan saja merupakan muslim otentik yang mengerti dan memahami tentang prinsip dasar toleransi dalam Islam, tetapi juga mempraktikkannya, mempertahankan prinsip toleransi moderat berdasarkan konstitusi, bahkan tanpa tedeng aling-aling berani membayar mahal (costly) dengan harga dirinya hingga menjadi martir untuk membela korban intoleransi muslim dan non-muslim yang dipersekusi kelompok radikal ketika mayoritas muslim lebih memilih untuk “diam” dan menjadi “silent majority”, atau justru menjadi bagian dari aktor intoleransi.

Dari Gus Dur kita bisa belajar juga tentang “toleransiku, toleransi anda, toleransi kita semua”, toleransi Islam yang bisa dirasakan manfaatnya dan dirayakan bersama untuk menciptakan keberagamaan yang penuh kesantunan tanpa kekerasan. Figur dengan karakter yang sama kita jumpai dari kalangan Muhammadiyah, semisal Buya Ahmad Syafii Maarif, selain juga ada figur seperti Nurcholish Madjid. Dengan berkaca pada mereka, Muslim Indonesia semestinya dapat tampil lebih percaya diri.[2]

Penulis ingin meyakinkan, bahwa berkaca pada agenda-agenda akademik yang dilakukan Seligman dalam isu toleransi, kajian berorientasi teoritis untuk mengembangkan pemikiran tentang toleransi Islam dan muslim masih perlu terus dikembangkan untuk menjawab kebutuhan kita di masa depan, terutama berkaca dari sejarah dan praktik keislaman di Indonesia. Seligman sendiri direncanakan akan memberikan International Lecture tentang agama dan keragaman di PMB-BRIN dalam waktu dekat (13 Juli 2023). Catatan dari kuliah umum itu nantinya akan penulis tuangkan dalam “pesan toleransi 2 dari Seligman” untuk mengingatkan kita tentang pesan moral ini agar semakin menggugah kesantunan kita dalam berpikir dan beragama, insyaallah.

 

Referensi

[1] Dapat dilihat Muhammad Nur Prabowo Setyabudi “Melampaui Toleransi Konfliktual Menuju Toleransi Respektif dalam Hubungan Sosial Politik (Sebuah Upaya Merajut Harmoni0” dalam Endang Turmudi (ed.), Merajut Harmoni Membangun Bangsa (Obor, 2021), pp. 1-33.

[2] Dapat dilihat catatan penulis bersama Ahmad Najib Burhani tentang Ahmad Syafii Maarif dalam Inspirasi Untuk Dunia: Islam Indonesia dalam Perspektif Pemikiran Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif (Editor: Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF) (UIII Press & Mizan, 2023)

Komentar