Pondok Pesantren tak ubahnya sebagai lembaga pendidikan Islam pada umumnya di dunia. Ia mempunyai spesifikasi keilmuan dan profesionalitasnya. Terlebih lagi, pada perkembangan mutakhir, pesantren-pesantren progresif yang sudah beradaptasi dengan lembaga pendidikan tinggi (Ma’had Aly atau PTKI), mereka telah mempunyai segmen pengembangan yang menarik. Salah satu segmennya itu berbasis keilmuan fikih (hukum) Islam, tasawuf (baca; tarekat), usul fikih, atau yang lainnya. Segmentasi keilmuan itu mendapat nilai plusnya, setelah ada pengembangan ekonomi untuk kemandirian pesantren.
Beberapa bulan yang lalu, penulis sempat berkunjung tak terlalu lam di Pesantren Idrisiyah Tasikmalaya. Pesantren ini menarik dan unik. Fungsi pesantren bukan hanya tafaqqahu fi ad-din dengan kajian kitab kuningnya dan segmentasi tarekat/tasawufnya, tetapi para santri dan keluarga wali santrinya diajak pula untuk pengembangan diri, keluarga, dan yayasan di pesantren itu. Bangunan masjid sudah sangat megah dan bergaya internasional, terutama bagian pintu mirip seperti di Madinah/Mekkah, serta bangunan dan penguatan keagamaan, baik bersifat sufistik, dengan adaptasi pada perkembangan dunia global.
Saat itu, penulis berkunjung bersamaan dengan acara Kongres Mahasantri Ma’had Ali se-Indonesia. Penulis merasa, sungguh beruntung mahasantri dapat hadir di tempat tersebut. Terlebih lagi, pengasuhnya merupakan mursyid tarekat Idrisiyah Indonesia saat ini yang bernama Ajengan Sheikh Muhammad Fatkhurraman, sekaligus pimpinan tertinggi tarekatnya. Sebelum ini pimpinan tarekat itu mertua ajengan Fatkhurahman, yang juga pengasuh pesantren Idrisiyah.
Keberuntungan mahasantri itu antara lain dapat ngalap berkah, seperti dalam tradisi tasawuf atau tarekat. Berkah di sini, dapat diartikan sebagai ngangsuh kaweruh ilmu agama dan pengabdiannya bagi pengembangan sumber daya manusia dan kesejahteraan ekonomi. Uniknya dalam manajemen pesantren yang sudah profesional, ada juga bagian “biro jodoh” bagi santri yang sudah wayahna (waktunya menikah). Bahkan, dalam lembaga itu menerima pula konsultasi keluarga, jika ada konflik atau problem ekonomi, atau yang lainnya.
Keberuntungan berikutnya, mahasantri diperkenankan melihat langsung pertumbuhan ekonomi pesantren a la tarekat Idrisiyah. Dalam hal ini, mereka dapat belajar bagaimana manajemen ekonomi pesantren untuk kemandirian santri dan pesantrennya. Pada kesempatan yang ada, penulis diajak pengasuh untuk melihat salah satu tempat penguatan ekonominya, antara lain rumah makan (restoran) yang luar biasa. Selain tata letaknya yang asyik, indah dan klasik, juga manajemennya keren.
Kita ditunjukkan bagaimana profesionalisme itu diterapkan. Biarpun makan minum kita (akan) digratiskan, tetapi harus tetap antri untuk mendatangi kasirnya, artinya apa yang kita ambil untuk dimakan itu tetap masuk dalam neraca jual beli. Pengasuh juga spt itu setiap bawa tamu atau utk dirinya. Selain resto, pesantren juga punya tambak, sayangnya tdk cukup waktunya, krn acara mau dimulai, jd tak jadi berkunjung. Sehingga pesantren, tidak hanya bergantung pada syahriyah (SPP bulanan) santri atau yang lainnya.
Selain itu, mahasantri konon memperoleh kitab yg menjadi pegangan dalam bertasawuf yg lintas madzhab. Kitab ini sebagai salah satu segmen keilmuan yang khas di Pesantren Idrisiyah. Dalam catatan sejarahnya, tarekat Idrisiyah ini berasal dari 3 tarekat lainnya, yakni Sanusiyah (Sheikh Muhammad ibn Ali As Sanusi, 1787-1859) Qadiriyah (Sheikh Abdul Qodir Jaelani, 1078-1168), dan Syadziliyah (Sheikh Abu Hasan Asy Syadzili, 1197-1258).
Dari kitab yang dibagikan itu, ada yg menarik dari karya Mursyid sheikh Fatkhurahman, Risalah Muhimmah, fi Bayan Wujub Suluk at Tariqah al Mu’tabarah (2019). Isi kitab itu dapat diklasifikasi dalam 4 bagian besar. Pertama, bahasan tasawuf sebagai background kitab ini. Semacam pengantar singkat. Disebutkan bahwa hakikat tasawuf itu mengikuti al Kitab (al Quran) dan as Sunnah, serta rahasia-rahasia (asrar) yg melekat pada para Nabi dan Wali. Bahasan ini berdasar pada pendapat para ahli hadits dan ahli tasawuf. Kedua, bagian menarik kitab setebal 225 halaman ini terdapat percikan gagasan 99 ulama tentang penting nya suluk dalam tarekat.
Semuanya ulama non Indonesia, mulai dari salaf (klasik), khalaf (mutaakhir) dan ma’asir (kontemporer). Di antaranya, Imam Abu Hanifah (w. 150 H.) dan imam madzhab fiqhul arba’ah, Imam Abu Qasim al-junaedi (w. 297 H.), Imam Ibn Taimiyah (w. 728 H.), Syaikh Ibn al Qayyim al Jauziyah (w. 751 H.), hingga ulama Azhar, spt Yusuf Qardlawi (l. 1926 M.). Ketiga, kitab ini menjelaskan 18 Ulama dan tokoh yang mempunyai perhatian pada jalan sufi, a.l. Imam adz Dzahabi (w. 748 H.), Hasan al Bana (w. 1368 H.) dan Al Imam al Hafidh Jalaluddin As Suyuti. Keempat, disebutkan pula 8 tokoh penebar ajaran Sufi hingga ke Indonesia, a.l. Hamzah Fansuri (Aceh), Syaikh Hasyim Asyari (NU), hingga Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka).
Sekadar catatan kecil dari beberapa gagasan yang dibahas sekitar 110 ulama dan pemikir tasawuf di dunia Islam dalam kitab itu, hanya Ibn Taimiyah saja yang diulas panjang lebar dari halaman 46-97. Sementara tokoh yang lain terkadang cukup satu atau dua paragraf saja, seperti Abbas Mahmud al Aqsa (w. 1964 M.) dan Abu al Wafa Taftazani (w. 1994 M.). Padahal, seperti at-Taftazani ini penulis buku tasawuf yang sangat keren. Selain ibn Taimiyah, yang lumayan panjang kupasannya itu Ibn al Qayim al Jauziah dari halaman 99-104. Dan ulasannya persis setelah Ibn Taimiyah.
Oleh karenanya, menurut hemat penulis, sebagai bacaan sekelumit tasawuf dan ajarannya dalam bahasa Arab bagi ulama dan intelektual Indonesia hari ini tentu dapat menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk berkarya dalam aksara dan bahasa Arab. Pengarang kitab ini dilahirkan di Tasikmalaya sekitar tahun 1974, S-1 dan S-2 di UIN Bandung. Ajengan Fatkhurahman ini juga berdakwah melalui media elektronik, a.l. TVRI pusat. Saya pernah melihat beberapa kali taushiyahnya habis Subuh.
Melihat kelebihan dan keberuntuhan Mahasantri di atas, penulis berharap dua hal; pertama, untuk pesantren Idrisiyah sendiri, secara keilmuan sudah jelas memilih jalan tarekat, tetapi juga mengembangkan aspek ekonomi, tentu hal itu terobosan baru sebagai pesantren di kota kecil seperti Tasikmalaya, semoga tetap istiqomah pengembangannya. Harapan kedua untuk Mahasantri yang menyelenggarakan kongres ke-2 Dewan Mahasantri Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Kongres Dema Amali), 24-27 Februari 2020, semoga benar-benar mengambil hikmah, inspirasi atas apa yang dilihatnya selama di Idrisiyah untuk dapat diadaptasi pada pesantren/ma’had aly sesuai lokalitasnya, selain tentu saja kongres itu dapat menghasilkan keputusan yang bermanfaat dan berkah, terlebih lagi best practice dari sohibul hajah, yang memadukan dakwah, pendidikan dan ekonomi pesantren. Wallahu a’lam bish-shawab.
Kedaung Hijau Pamulang, April 2020