Islamsantun.org – Tinggal menghitung bulan, Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024 (Pilpres 2024) akan terlaksana. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pelaksanaan hajat besar lima tahunan tersebut pada Rabu, 14 Februari 2024. Berbagai persiapan untuk menyambut momentum tersebut telah dilakukan oleh banyak pihak. Pemilihan umum harus diselenggarakan berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan amanat konstitusi.
Berkaca pada pemilu sebelumnya pada pilpres 2019, panasnya persaingan politik antara dua kubu sangat terasa baik dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya. Keterbelahan publik tidak dapat dihindarkan karena pemilu dalam satu dekade terakhir sudah berada pada fase perkembangan media sosial dan teknologi.
Membendung polarisasi
Secara otomatis seluruh aktivitas politik pasangan calon maupun simpatisannya dalam upaya meraih suara rakyat tersorot oleh media sosial. Berbagai istilah di media sosial seperti cebong, kampret, kadrun, jejak digitalnya masih ada sampai hari ini dan menjadi pengingat kita bahwa pemilu di Indonesia pernah dirundung polarisasi.
Pendidikan politik dalam pencegahan polarisasi di Indonesia masih minim jika dibandingkan dengan pencegahan politik uang/money politic. Ramai-ramai orang cegah politik uang karena dianggap melemahkan kecerdasan pemilih, berpotensi merusak tatanan demokrasi, bentuk pembodohan masyarakat, memperlihatkan buruknya kaderisasi politik dalam partai, maupun kecenderungan melahirkan pemimpin yang tidak berkualitas.
Semua alasan tersebut sangat relevan dan harus diberantas, namun dampak polarisasi juga sangat berbahaya jika tidak segera dicegah. Hari ini praktik pencegahan politik uang sudah dijumpai dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah pembentukan desa anti politik uang di sejumlah wilayah di Indonesia. Sebab politik uang sudah membudaya mulai dari level desa pada momentum pilkades maupun pemilihan kepala daerah, maka edukasi yang terlaksana jauh lebih terarah dan pihak-pihak yang terlibat lebih banyak mulai dari mahasiswa, masyarakat umum, akademisi, maupun tim pengawas pemilu.
Upaya pencegahan polarisasi yang dinilai lebih sulit. Ada beberapa faktor penyebab antara lain perbedaan pendapat masyarakat dalam menilai tokoh atau calon pemimpin sangat kuat, sehingga sikap fanatisme tersebut sulit untuk diredam. Sikap tersebut disertai anggapan bahwa pandangan kelompok mereka adalah yang paling benar.
Polarisasi di media sosial juga sulit untuk dicegah. Sebab pengetahuan masyarakat untuk membedakan berita asli dan palsu masih sangat minim. Ditambah masyarakat kurang familiar dengan kanal aduan milik pemerintah yang dapat dijadikan rujukan untuk melaporkan informasi.
Selain itu, derasnya arus informasi di media mnjadi salah satu tantangan tersendiri. Setiap detiknya banyak informasi yang muncul di media sosial tentang berbagai hal, sehingga respon masyarakat jauh lebih cepat tersampaikan melalui media sosial.
Edukasi di media sosial
Upaya edukasi pencegahan polarisasi harus melibatkan orang-orang yang melek teknologi karena saat ini pesan-pesan untuk masyarakat harus dikemas secara menarik agar informasi yang disampaikan tidak terkesan kaku. Namun realita yang ada masyarakat banyak yang menggunakan teknologi sekedar sebagai alat komunikasi. Kemampuan untuk membuat konten dalam bentuk tertentu masih terbatas.
Kegaduhan di media sosial tidak lepas dari peran buzzer. Jika dahulu peran buzzer difungsikan oleh para pelaku usaha dalam pemasaran produk, namun kini keberadaan mereka telah merambah ke dunia politik.
Menurut keterangan akademisi Wijayanto, Buzzer bekerja dengan mengoperasikan ratusan akun media sosial untuk menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi pemenangan calon pemimpin. Mereka menghuni media sosial populer yang banyak diakses oleh masyarakat, mulai dari twitter, facebook, instagram, dll.
Media sebagai salah satu pilar pembela demokrasi dengan fungsi kontrol sosial, nampaknya tak berdaya menghadapi gaung tersebut. Selain membahayakan persatuan dan kesatuan negara, hinaan dan perilaku buzzer yang semakin tidak terkendali juga membahayakan kebebasan berekspresi warga negara.
Kebebasan berpendapat juga mencakup kebebasan pers dan harus dikontrol. Serangan buzzer yang bertebaran juga berdampak pada psikologi kritikus, yang dipandang sebagai penghalang keberhasilan mereka dalam menyusun narasi tertentu yang mengarah ke masyarakat umum.
Polarisasi tumbuh: peran digital?
Polarisasi sangat berpegaruh pada menurunnya nilai-nilai demokrasi, sebab fenomena tersebut beriringan dengan adanya politik identitas. Politik identitas dan populisme agama dalam demokrasi sering muncul pada detik-detik jelang pemilihan umum dengan tujuan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya.
Kecemasan ini terjadi karena pengalaman masa lalu yang pernah terjadi pada momentum Pilkada DKI Tahun 2017 dan Pilpres 2019. Sikap nasionalisme sangat dibutuhkan agar kekhawatiran terulangnya politik identitas lebih mereda. Banyak pihak berharap pemilu 2024 akan lebih ideal dan kondusif.
Meskipun di media sosial masih banyak isu dan konten yang menggiring opini terhadap salah satu calon yang digadang-gadang sebagai calon presiden atau wakil presiden namun tidak menimbulkan panasnya media sosial seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. Peran milenial dan influencer sangat diperlukan guna memberikan informasi kepada publik bahwa pemilu sebagai ajang memilih pemimpin dan menentukan masa depan bangsa tidak perlu disertai dengan kegaduhan yang mengancam stabilitas negara.
Polarisasi politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara maju seperti Amerika dan Brazil pun mengalami fase ini. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ini adalah tren global. Banyak studi yang menjelaskan meningkatnya polarisasi tidak lepas dari bangkitnya media sosial. Pengalaman negara-negara yang terpecah belah memicu ketegangan pada internal negara mereka tidak melulu dikaitkan soal ekonomi dan pendidikan.
Isu sosial politik dan perebutan takhta kekuasaan telah diperjuangkan melalui berbagai cara yang kini sudah tidak dilakukan secara kompetitif. Populisme agama juga dijumpai di negara lain karena agama adalah sistem kuat yang mengatur kepercayaan dan keyakinan manusia dalam hal Ketuhanan, pedoman hidup, dan ajaran-ajaran kebaikan yang kompleks sehingga sebagian pihak melakukan politisasi agama melalui propaganda tertentu.