Kolak merupakan salah satu menu takjil yang sudah tak asing lagi bagi kita masyarakat Indonesia khususnya yang bertempat tinggal didaerah Jawa. Makanan ini sudah menjamur di berbagai sudut tempat. Bisa kita lihat disekitar kita, di rumah, di pasar, di mall, di kampus, di berbagai sudut tempat kita bertemu dengan penjual kolak. Bahkan saat kita melihat ada yang berbagi takjil, rata-rata menu yang dibagikan juga kolak.

Sejak zaman dahulu, makanan dengan rasa manis yang dipadukan dengan santan ini sudah menjadi santapan yang tak tertinggal setiap berbuka puasa. Konon, saat abad ke-14 kolak juga menjadi salah satu media dakwah. Mayoritas masyarakat yang saat itu baru mengenal Islam setelah sebelumnya beragama Hindu-Buddha menjadikan ajaran Islam pun tampak asing, termasuk halnya dengan puasa. Hal ini yang membuat Walisongo mengenalkan hidangan lokal dengan pemaknaan mendalam supaya masyarakat saat itu ‘mau’ untuk melakukan ibadah puasa.  Sehingga dengan adanya pengenalan-pengenalan secara tidak langsung ini membuat masyarakat tidak kaget dengan Islam.

Kolak sendiri merupakan serapan dari kata Khalik atau Kholaqo yang berasal dari bahasa Arab berarti ‘Pencipta’. Diharapkan nantinya orang yang berpuasa dapat lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Sejalan dengan maknanya, seringkali kolak bisa kita lihat di masjid-masjid sebagai menu takjil setelah tadarusan ataupun kajian menjelang berbuka. Siapa tahu ketika memakan kolak dapat mengingat Sang Pencipta.

Terdapat unsur di dalam kolak yang paling utama, yakni Santan. Santan di dalam kolak dijadikan sebagai unsur penyatu antar bahan lainnya. Dalam bahasa Jawa, santan ini biasa disebut dengan Santen yang lekat dengan kata ‘Pangapunten’ atau permohonan maaf. Diharapkan orang selama berpuasa atau sebelum berpuasa sudah saling memaafkan satu sama lain, tidak ada dendam antar satu manusia dengan manusia yang lainnya.

Jika kita tarik kedalam unsur puasa yang bermaknakan ‘menahan diri’ dari segala sesuatu yang membatalkan tentu semua makna di dalam kolak saling berhubungan. Upaya penahanan diri dalam puasa diawali mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Waktu-waktu ini merupakan masa ketika semua manusia rata-rata melakukan sebuah aktivitas baik itu bekerja, bersekolah, mengaji, ataupun hal-hal lain. Disaat inilah manusia berinteraksi dengan manusia lainnya dan disini juga terkadang interaksi menimbulkan kesalahpahaman yang menjadikan adanya pertengkaran, permusuhan yang menjadikan perselisihan semakin terlihat. Adanya puasa diharapkan manusia dapat benar-benar menahan diri, tidak mudah emosi sehingga dapat menyelesaikan berbagai macam perselisihan dengan cara damai.

Unsur-unsur Islam ini tidak langsung disampaikan Walisongo dalam penyebaran dakwahnya. Akan tetapi, tersirat dalam sebuah bentuk makanan tradisional atau berbagai macam kesenian yang menjadikan masyarakat lebih mudah menerima. Ketika masyarakat sudah menerima Islam dengan segala ajarannya, maka nilai dakwah baru dimasukkan dan itu bisa lebih masuk ke dalam sukma masyarakat. Buktinya, sampai sekarang kolak masih terus menjadi menu yang wajib ada saat berbuka puasa.

Kolak adalah salah satu bukti nyata penyebaran agama Islam dapat diterima sehingga banyak masyarakat saat itu mau untuk berpuasa hingga sekarang. Cita rasa yang unik, dengan komposisi bahan didalamnya khas makanan jawa menjadikan kolak salah satu makanan tradisional yang tak mungkin tertinggal. Meski zaman sekarang menu takjil sudah berariasi warnanya, bukankah kolak masih menjadi menu yang paling diminati?

Tulisan ini merupakan bentuk kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan islamsantun.org.

Haura Sabita Putri, Mahasiswi Perbankan Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Komentar