Semalam, dalam pengaji rutin (majelis ta’lim) bulanan di kampungku, aku, antara lain, bilang : dulu, semua warga Negara, jika ditanya : siapakah anda? , dia akan menjawab dengan bangga : “Aku orang Indonesia”. Kini, banyak di antara mereka, jika ditanya hal yang sama, akan menjawab dengan tegas dan penuh bangga : “Aku…..” (menyebut identitas agama tertentu).
Realitas ini sungguh-sungguh mencemaskan bagi masa depan negeri ini. Fondasi dan Pilar Negara bangsa sedang terancam retak, dan kelak boleh jadi, na’udzu billah (semoga Allah melindungi dari) akan seperti sejumlah negara diTimur Tengah atau Afganistan. Dan kita semua tak menginginkan malapetaka itu terjadi di negeri kita. Tragedi Politik itu tak mudah diselesaikan dalam waktu singkat. Mungkin akan berpuluh tahun.
Pagi ini, dalam obrolan santai sebelum acara akad nikah dimulai, di rumah tetangga, aku ditanya antara lain soal situasi Afganistan, Yaman, Irak, Siria, dll. Aku bilang kepada beberapa kiyai: tragedy politik perebutan kekuasaan dengan mengatasnanakan agama. Yaitu perustiwa “Tahkim” (Arbitrase) di Shiffin, di tebing sungai Efurat, Irak/Siria, antara kelompok-kelompok bersaudara sebangsa dan seagama yang bertikai dan berperang, sekitar 15 abad yang lalu, (657 M). Ia menyisakan dampak luka yang amat mendalam, permusuhan yang panjang, dendam yang terpendam di lubuk hati dan pikiran yang terdakam. Perang demi perang sewaktu-waktu meletus.
Maka tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali kembali kepada komitmen kita sebagai Negara bangsa untuk setia kepada Lima Prinsip Kemanusiaan Universal. Yaitu Pancasila dan Konstitusi, dua fondasi yang menjadi titik temu yang menyatukan seluruh warga Negara ini. Tak ada yang lain.
Cirebon, 21082021
HM