Islamsantun.org – 25 November menjadi tanggal penting bagi pendidikan di Indonesia. Tiga bulan setelah negeri ini merdeka, tepatnya tanggal 24-25 November 1945, Kongres Guru Indonesia pertama diselenggarakan di Surakarta. Salah satu poin penting yang dihasilkan adalah menghapus segala perbedaan ras, suku, agama, dan kepentingan politik demi terwujud persatuan Indonesia. Kongres itu menjadi cikal peringatan Hari Guru Nasional yang diinisiasi saat Orde Baru.
Sebagaimana hari peringatan lainnya, refleksi utama adalah bagaimana membawa semangat peringatan tersebut secara substansial, tidak hanya sebatas seremonial. Hari Pendidikan, Hari Buruh, Hari Ayah, hingga Hari Ibu, hampir setiap entitas ada peringatannya. Memang sebagai manusia, kita perlu eling, senantiasa ingat identitas kemanusiaan. Menjadi manusia tidaklah mudah, mempertahankan nilai kemanusiaanlah yang susah.
Berkaitan dengan peringatan Hari Guru, Imam Ali pernah memberikan nasihat:
“Ana ‘abdu man ‘allamani, wa law harfan waa hidan”
“Aku adalah murid bagi siapa pun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau hanya satu huruf”.
Pernyataan Imam Ali tersebut menegaskan kerendahhatian beliau dalam menuntut ilmu. Padahal masyhur dikenal bahwa sosok terdekat Nabi ini adalah seorang yang cerdas. Seolah-olah, jika Nabi adalah kota ilmu pengetahuan, maka Imam Ali adalah pintunya.
Rendah hati adalah satu aspek penting dari akhlak atau karakter. Dalam tradisi pesantren, ada kitab terkenal, Ta’lim al-Muta’allim karya Syaikh Zarnuji. Kitab ini mengulas adab penuntut ilmu. Bahwa sebelum berilmu, kita perlu beradab. Sebelum menjadi guru, kiai, santri dan murid, kita perlu menjadi manusia; yang tahu di atas awan, masih ada awan.
Sayangnya, nilai ini seringkali luntur di era digital. Orang berlomba-lomba menjadi pakar, hingga Tom Nichols menyebut istilah “The Death of Expertise”, matinya kepakaran. Ketika semua orang berlomba menjadi guru, lantas siapa yang bisa menjadi murid? Ini soal etika kepakaran. Sejatinya orang yang berilmu akan tahu kapan bersuara. Ada saat tak boleh diam dan ada kala diam adalah emas.
Belum lagi soal metode pengajaran. Sering menghiasi media, berita guru dikriminalisasi oleh muridnya. Dengan dalih kekerasan, sang guru dilaporkan. Lantas, kita pun bernostalgia ke zaman bahari. Orang dulu mengalami pendidikan seperti itu, tetapi tidak ada yang melaporkan. Sekarang mereka yang ditempa dengan keras pada zamannya, menjadi ‘orang’ saat ini.
Lagi-lagi, Imam Ali punya pernyataan yang bijak seputar ini. Beliau mengatakan:
“Addibuu awlaadakum lizamaan ghairu zamanikum”
“Didiklah anak sesuai dengan zaman mereka, bukan zaman kalian”.
Pernyataan ini memiliki dua pesan penting. Sebagai orang tua dan guru, kita perlu beradaptasi. Bertahan dengan metode lama tanpa memperhatikan pembelajaran baru akan membuat pendidikan terasa hambar. Sebaliknya bagi murid, peserta didik juga perlu belajar bagaimana orang tua dulu ditempa dengan pendidikan yang disiplin. Dengan memahami akar pendidikan orang tua dan guru, murid pun tak akan mudah menghakimi guru dengan label “killer” “seram” dan sebagainya.
Rasanya inilah yang membuat pendidikan hari ini berujung lapor-melapor. Sebab tidak ada jembatan penghubung antara pendidikan gaya lama dan baru. Baik guru apalagi murid, perlu berbenah untuk terus menjadi insan pembelajar. Ironi, melihat potret guru hari ini yang gajinya kian terpinggirkan, sementara sedikit ‘pendisiplinan’ berujung pelaporan.
Lantas, metode apa yang perlu dikembangkan di era modern? Tulisan ini mencoba meminjam analisis Yuval Noah Harari dalam buku “21 Lessons for the 21st Century”. Dalam buku tersebut, Yuval memasukkan salah satu nilai penting di abad 21 adalah pendidikan.
Sekolah hari ini, kata Harari, terlalu fokus menjejalkan informasi. Di masa lalu, era ketika orang masih terpisah, informasi menjadi penting untuk mengetahui dunia yang begitu luas. Saat ini, informasi sudah menjadi asupan sehari-hari. Orang bisa belajar rumus Matematika, Fisika, Kimia, tanpa harus sekolah. Anak-anak bisa belajar agama tanpa perlu masuk madrasah. Apakah peran guru berhenti?
Pertanyaan ini perlu direnungkan. Jika fungsi guru sebatas “transfer of knowledge”, maka dengan adanya teknologi, fungsi guru tak lagi berarti. Orang bisa dapat pengetahuan dari chatGPT yang berada dalam gawai genggamannya.
Teknologi sebenarnya tidaklah buruk. “Jika Anda tahu apa yang diinginkan dalam hidup, maka teknologi akan membantu Anda untuk meraihnya. Tetapi jika Anda tidak tahu tujuan hidup, akan terlalu mudah bagi teknologi untuk mengendalikan hidup Anda”, tukas Harari.
Di tangan guru yang bijak, teknologi hadir untuk membantu murid menemukan pengalaman pembelajaran yang menyenangkan. Karenanya, fungsi guru lebih dari sekadar mengajar pengetahuan, kehadiran guru penting karena memberikan pengalaman. Ruang perjumpaan, kebersamaan, antara guru dan muridlah yang membuat kita berkesan.
Coba bayangkan, 10-15 tahun yang lalu, atau bahkan 30-40 tahun silam, apa yang kita rindukan dari sosok guru? Bisa jadi bukan hafalan geografi atau butir-butir Pancasila yang sudah terlupa, tetapi yang dirindukan adalah kehangatan, ketegasan juga kedisiplinan mereka.
Ketika lebaran, biasanya menjadi ajang reuni murid berkunjung ke rumah guru. Apa yang diceritakan? Bukan konten pelajaran, tetapi suasana pembelajaran. Ada yang nakal tetapi sekarang jadi berakal. Ada yang jahil sekarang jadi orang penting. Ini berkaitan dengan pengalaman sekaligus proses peziarahan yang panjang.
Poin ini sebenarnya sudah dirasakan dan dihidupi oleh para santri di pesantren. Pesantren hadir tidak sebatas mengkaji kitab, menghafal ayat, tetapi juga menjalani laku kehidupan yang berakhlak. Kiai dan ustaz pun tidak dihormati sebatas karena kepakarannya, melainkan juga karena etikanya yang luhur. Pesantren menjadi ruang aman dan nyaman untuk menghadirkan pengalaman belajar.
Nilai-nilai inilah yang perlu dihadirkan. Sekarang manusia hidup di era disrupsi informasi minus literasi, sehingga kehadiran guru, dosen, ustaz, kiai, ajengan, berfungsi memberikan pencerahan untuk memahami informasi dengan tepat, membedakan antara apa yang penting dan tidak penting, dan bagaimana merangkai informasi yang beragam itu menjadi kesatuan narasi yang membentuk ‘worldview’.
Karenanya guru di era digital ini, kutip Harari, harus beralih pada Empat C: critical thinking, communication, collaboration, dan creativity. Keempat hal ini soal metode, bagaimana pendidikan hari ini menumbuhkan semangat berpikir kritis, komunikatif, kolaboratif dan kreatif. Bukan soal konten, pelajaran apa, apa rumusnya, atau apa yang dihafal. Guru perlu menjadi kawan bertumbuh dan berkembang siswa.
Lebih lagi, di masa yang akan datang, kehadiran guru justru kian penting di tengah kecanggihan teknologi. Terutama bagaimana menjaga keseimbangan mental anak. Kita bisa saksikan, permasalahan anak muda hari ini tak jauh dari isu kesehatan mental. Sekian banyak anak yang menjadi pelaku sekaligus korban perundungan bahkan berujung nyawa melayang. Di sinilah kehadiran guru tak dapat tergantikan dengan informasi yang melimpah ruah dari google. Teknologi mungkin memberikan pengetahuan, tapi tidak mengembangkan perasaan.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara sudah memberikan pemikiran brilian yang melampaui zamannya. Beliau menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya menciptakan manusia yang cerdas, tetapi juga insan yang bahagia. Pendidikan haruslah membahagiakan, bukan menekan apalagi membuat anak menjadi stres.
Akhirnya, meski kita perlu hati-hati dengan penggunaan teknologi yang dapat menggantikan fungsi pendidik, saat yang sama kita perlu optimis bahwa kehadiran guru sampai kapan pun selalu relevan dengan zaman. Sebab hakikat manusia adalah ketika kita tahu bahwa kita adalah makhluk pembelajar.
Terima kasih sang murabbi, yang kehadiranmu tak kan terganti. Siapalah diri ini tanpa kehadiran seorang guru. Man ana Law laakum.