Abraham Zakky Zulhazmi*
Di sebuah negara, tersebutlah seorang raja yang kejam dan lalim. Raja itu membangun istana yang besar dan kokoh. Tembok istana itu tingga menjulang. Memberi rasa aman dan perlindungan.
Suatu ketika, seorang nenek miskin mendirikan bangunan semi permanen alakadarnya tepat berdempetan di dinding istana untuk sekadar tinggal dan berteduh. Ketika pada suatu pagi raja berkeliling untuk melihat-lihat keadaan sekitar, ia terhenyak demi melihat bangunan kumuh dan lusuh itu. Ia panggil seorang penjaga dan kemarahannya telah meninggi.
“Siapa pemilik gubuk reot ini?!” Hardik sang raja.
“Milik seorang nenek miskin, Yang Mulia,” jawab penjaga ketakutan.
“Bongkar! Gusur!” perintah sang raja.
Maka dalam waktu sekejap gubuk reot milik nenek miskin lenyap dari pandangan. Tak aneh jika ketika nenek miskin itu kembali, ia terkejut bukan main karena gubuk reot yang dibangun dengan susah payah itu raib tak berbekas.
“Siapa yang telah merobohkannya?” tanya nenek miskin dengan suara parau.
“Raja melihat gubukmu lalu merobohkannya,” jawab penjaga.
Nenek miskin itu lalu mengkangkat tangannya ke langit dan kepalanya mendongak, lalu ia berkat: aku tidak hadir, tapi di mana Engkau berada?
Apa yang selanjutnya terjadi sungguh mengerikan, istana yang megah itu roboh seketika!
Kisah di atas tentu sangat kontras apabila kita bandingkan dengan kisah antara Umar bin Khatab dan seorang nenek. Suatu hari, Umar berjalan-jalan melihat kondisi masyarakatnya. Sudah menjadi kebiasaan Umar mengunjungi rakyatnya dengan menyamar sebagai orang biasa.
Umar bertamu ke rumah seorang nenek miskin. Nenek itu tinggal di sebuah gubuk yang tidak layak untuk dihuni. Umar bertanya kepada nenek itu: apa pendapatmu tentang khalifah Umar?
Nenek menjawab, “semoga Allah tidak memberi kebaikan kepadanya.” Umar bertanya lagi, “mengapa demikian?”
“Ia pemimpin yang tidak peduli pada rakyatnya yang miskin. Aku tak pernah mendapat satu dirham pun darinya,” jawab nenek itu.
Umar tertegun, ia menenteskan air mata dan berkata, “maukah engkau menerima 25 dinar untuk membayar kezaliman Umar?”
Uang itu diterima sang nenek. Namun tiba-tiba datanglah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Melihat Umar, mereka memberi salam kepada sang khalifah.
Mendengar salam tersebut, tahulah nenek bahwa tamu yang berbicara dengannya tadi adalah Khalifah Umar. Dengan perasaan takut dan gementar nenek berkata “Masya Allah, celakalah aku dan ampunilah kelancanganku tadi wahai Amirul Mukminin. “
Dengan welas asih Umar menjawab “Tidak apa-apa, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada nenek.” Umar kemudian menyobek sebagian bajunya dan menulis:
Bismillahirrahmanirrahim, dengan ini Umar menebus kezalimannya atas seorang nenek sejak ia menjadi khalifah hingga saat ini dengan 25 dinar. Jika nenek ini menuntut di hadapan Allah, maka Umar telah berlepas diri. Disaksikan oleh Ali dan Mas’ud.
Umar lantas memberikan potongan kain yang telah ditulisi itu kepada anaknya. Ia berpesan, “Jika kelak aku meninggal, maka sertakan kain ini di kafanku untuk dibawa ke hadirat Tuhanku nanti.”
Dua kisah di atas yang memberi keteladanan kepemimpinan bagi kita. Bahwa saat kita mendapat amanah untuk memimpin, kita pantang untuk berlaku sewenang-wenang. Apalagi kepada mereka yang lemah.
Kewajiban pemimpin adalah menyejahterakan rakyatnya, bawahannya, anak buahnya.
Dalam khazanah Jawa, perihal kepemimpinan kita telah diingatkan melalui lagu dolanan Gundul-Gundul Pacul. Jika kita sedang menjadi pemimpin, sesungguhnya kita sedang nyunggi wakul. Maka, jangan sampai kita berjalan gembelengan. Karena jika kita gembelengan, maka wakul akan glimpang dan segane dadi sak latar. Kalau kita sewenang-wenang, maka rakyat yang akan dirugikan.