Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi
Ramadan selalu disambut dengan rasa suka cita, sebagai bulan yang penuh rahmat dan berkah. Ramadan menjadi bulan khusus yang identik dengan kesucian diri sekaligus hati melalui kewajiban puasa bagi umat Muslim.
Di sisi lain, ada hal menarik yang mungkin muncul di benak kita mengenai Ramadan. Memaknai Ramadan dengan cara yang “seyogianya” adalah perkara ibadah. Namun demikian, memaknai Ramadan dengan sejumput hiburan sebagai penanda datangnya Ramadan, mungkin akan menjadi perkara yang berbeda. Ramadan sudah berlangsung beberapa hari, sejumlah hiburan di media televisi masih terus berlomba untuk mengemas Ramadan menjadi semenarik mungkin bagi masyarakat.
Tulisan ini boleh jadi tidak akan membahas tentang apa makna Ramadan dan bagaimana masyarakat harus memaknai Ramadan dengan benar. Tulisan ini juga tidak bermaksud menjelaskan tuntunan menjalani Ramadan yang penuh berkah melalui bagaimana cara beribadah khusyuk yang sesuai syariat. Tulisan ini hanya akan sedikit memberikan pesan tentang salah satu fenomena dalam bingkai media yang turut menghiasi Ramadan setiap tahunnya.
Berlomba-lomba dengan segala kebaikan menjadi salah satu esensi untuk memperoleh keberkahan dalam Ramadan. Hal inilah yang juga terpotret dalam sejumlah iklan dan kemasan media atas bagaimana memaknai Ramadan. Banyak media yang seolah berlomba menawarkan kebaikan Ramadan sebagai bentuk rahmat setiap umat melalui iklan yang ditayangkan. Iklan yang menarik perhatian, menumbuhkan minat dan ketertarikan, memunculkan kesadaran terhadap merek, sampai pada sarat human interest agar memunculkan action bagi khalayak yang menontonnya. Sadar atau tidak, media dengan sedemikian rupa mengemas Ramadan dengan cara yang apik dan kreatif untuk menciptakan Ramadan agar dapat dinikmati dengan cara yang luwes.
Iklan sirop salah satunya, menjadi ciri khas terhadap adanya Ramadan. Bahkan iklan ini sudah mulai mengeluarkan teaser sebagai penanda datangnya bulan Ramadan. Beragam alur cerita, mulai dari potret keluarga saat sahur dan berbuka, pesan sosial melalui kesenian khas Indonesia, sampai pada kisah dongeng yang dikemas sedemikian rupa.
Sirop (setrup) merupakan salah satu olahan air gula yang diberi esens dan pewarna. Selain memiliki manis, sirop atau setrup merupakan olahan air gula yang cenderung berwarna dan identik dengan rasa buah yang segar. Mengapa kemudian ini muncul di bulan Ramadan, tentu bukan tanpa alasan. Terlepas dari sejumlah iklan sirop yang sebenarnya juga muncul di luar bulan Ramadan, tetapi secara timing, euforia Ramadan dengan kebiasaan masyarakat yang berbuka puasa dengan sesuatu yang berasa manis merupakan pemakluman.
Rasulullah menganjurkan kita untuk berbuka dengan kurma basah (ruthab). Jika tidak ada ruthab, maka berbuka dapat menggunakan kurma kering (tamr). Ketika tidak ada tamr, maka dapat minum dengan satu tegukan air (HR. Ahmad, Abu Dawud). Rasa kurma (baik ruthab maupun tamr) memang identik dengan rasa yang manis. Akan tetapi, bukan berarti berbuka dengan manis menjadi salah satu keharusan yang mesti dilakukan. Meski kemudian Rasulullah menyukai minuman yang dingin dan manis. Namun demikian, dalam hal ini, berbuka dengan air putih—yang tidak berasa manis—adalah urutan ketiga apabila tidak tersedia ruthab dan tamr.
Berbuka dengan makanan ataupun minuman manis tentu tidak dilarang. Masyarakat sah-sah saja apabila ingin berbuka dengan jenis makanan dan minuman yang manis. Secara sederhana, makanan ataupun minuman manis boleh jadi akan mengembalikan sense pada indera pengecap seseorang sekaligus menambah nafsu makan setelah berpuasa. Paling tidak, rasa manis pada makanan atau minuman yang dikonsumsi dapat sedikit mengganti tenaga yang hilang saat berpuasa.
Perkara manis ataupun tidak, sebenarnya bukan esensi dari sejumlah iklan yang ditampilkan. Sedikit banyak, iklan pada dasarnya memiliki kuasa dan ranah tersendiri atas maksud yang ada di dalamnya. Secara informatif, iklan sirop memiliki pesan khusus untuk menghiasi kemeriahan Ramadan dengan sejumlah rujukan minuman—dan olahannya—yang dapat dijadikan referensi untuk berbuka. Namun demikian, kita seolah lupa dengan alasan, mengapa harus iklan sirop yang seolah dikemas menjadi penanda adanya bulan Ramadan? Mengapa tidak iklan gamis, baju koko, ataupun hijab yang mungkin bagi sebagian orang lebih identik dengan muslim dan muslimah.
Salah satu joke di masyarakat bahwa munculnya iklan sirop menjadi penanda masuknya bulan Ramadan. Sedikit ironis namun realistis. Pun begitu dengan Ramadan yang berkah, seberkah iklan sirop yang selalu muncul berulang-ulang di layar kaca, terlebih pada jam-jam prime-time di saat siang orang berpuasa, maupun sore menjelang berbuka puasa. Kemasan dan kekuatan iklan di sini yang sebenarnya secara tidak langsung telah menjadi reminder bagi masyarakat dalam memaknai Ramadan dalam aroma sirop. Sudahkah Anda minum sirop hari ini?
Penikmat seni dan pengamat media, dosen KPI IAIN Surakarta