Islamsantun.org. Faktor yang paling genting dalam pembentukan terorisme antara lain bersumber dari politisasi agama dan kritisisme masyarakat yang hilang. Termasuk bagaimana ekonomi yang tak berdaya dan sisi kebijakan pemerintah yang timpang.

Dengan demikian, terorisme tak bisa hanya diukur sebatas dogmatisme agama atau sohornya ideologi transnasional. Namun, ia lahir dalam beberapa ragam aspek kendati sangat berpengaruh dan berdampak kejam, tetapi sering terlupakan untuk dibicingkan.

Atas semua itu, mungkinkah strategi deradikalisasi masih relevan dengan faktor kompleks yang menjadikan teroris hilang dalam dunia ini, atau minimal mengecilkan angka statistik terorisme dari tahun ke tahun?

Sejak program deradikalisasi bergulir, sampai hari ini, masih belum terlihat perubahan yang signifikan. Deradikalisasi tetap belum memenuhi harapan untuk menumpas ideologi dan sikap terorisme. Di beberapa tempat, teror terus berkobar, dan bahkan hari ini, sikap-sikap intoleran dan radikalisme tambah mengental.

Dengan gelombang radikalisme yang terus ada, dan sikap intoleransi dan radikalisme tambah berkobar, setidaknya perlu strategi baru yang jitu untuk melawan itu semua. Barangkali kalau masih belum siap kita bisa ajukan rejuvenasi pemberantasan terorisme di Indonesia.

Rejuvenasi Pemberantasan Terorisme

Rejuvenasi pemberantasan terorisme bisa dimulai dengan mempertanyakan kesiapan melakukan proyek atau strategi dalam memberantas terorisme atau radikalisme: deradikalisasi. Rejuvenasi perlu juga menjadi perbincangan publik, di mana publik harus tahu sejauh mana pemerintah telah melakukan, mengukur, memberantas, dan siap untuk bertarung melawan strategi teroris.

Kalau tidak, maka lambat laun, corak penanggulangan terorisme di Indonesia terlihat lembek. Atau kepemimpinan dalam niat baik untuk memberantas terorisme dan radikalisme disintegrasi yang berakibat pada kefatalan lebar-meluas. Dan masyarakat menjadi tidak percaya dan tidak punya harapan kepada kebijakan pemerintah.

Karena radikalisme dan terorisme sangat krusial di Indonesia, ditambah lagi dengan adanya sel-sel teroris yang pasif, rejuvenasi deradikalisasi perlu ditanyakan. Jangan kemudian, ketika teroris sudah meledakkan dirinya di mana-mana, atau sel-sel teroris bangun di beberapa kota, baru menyadari bahwa deradikalisasi memang tidak mampu untuk menumpas kultur teroris di Indonesia.

Termasuk bagaimana melihat bangkitnya ideologi-ideologi lain dan strategi lain seperti misalnya perkembangan Taliban dan ISIS mutakhir. Dengan kuatnya Taliban dan pengalaman ISIS dalam kancah politik-teror kini, bukan tidak mungkin ia hanya sebatas bakal menguasai negara seperti Irak, Afghanistan, dan Nigeria.

Penyadaran Kembali

Gejala lain harus dilihat secara cermat dengan upaya rejuvenasi. Pencarian dan segala upaya untuk menemukan strategi jitu yang pas dalam lanskap budaya Indonesia, adalah inti bagaimana melihat titik tendensi dan perkembangan mutakhir teroris di Indonesia.

Demikian, dengan menjadikan rejuvenasi sebagai langkah untuk kritik diri, sekali lagi, merupakan tahap awal untuk mengembangkan kembali strategi menghilangkan teror di Indonesia.

Atau dengan seringnya rejuvenasi dijadikan sebagai isu harian yang bahkan kalau bisa ditengahkan ke publik, setidaknya kebijakan pemerintah lebih dikaji kembali bahwa strategi deradikalisasi sudah tidak bisa diandalkan sama sekali hari ini.

Rejuvenasi memerlukan tahapan yang panjang, dan harus digelorakan secara terus-menerus. Rejuvenasi pemberantasan radikalisme-terorisme jangan sampai gagal dibawa ke dalam wacana kehidupan masyarakat Indonesia. Hari ini kita harus memberikan perhatian khusus untuk menilik kembali langkah-langkah pemerintah dalam memberantas radikalisme dan teroris baik yang sudah ada, dan yang belum mereka ketahui.

Selengkapnya baca di sini I

Komentar