Di tengah eskalasi konflik antara Iran dan Israel, pembicaraan seputar politik identitas kembali menyeruak ke ruang-ruang publik, termasuk di Indonesia. Perang dua kekuatan besar di Timur Tengah ini tidak hanya berimplikasi geopolitik, tetapi juga menggugah solidaritas emosional umat Muslim di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, resonansi konflik ini kerap beresonansi dalam bentuk meningkatnya politisasi agama di ruang publik, termasuk di dalam masjid.

Konflik Iran–Israel bukan sekadar konflik antarnegara, tetapi juga merupakan pertarungan simbolik yang melibatkan identitas keagamaan, ideologi, dan politik regional. Ketegangan ini kerap dibingkai dalam narasi “Islam versus Yahudi,” yang sayangnya direproduksi secara simplistik di ruang-ruang domestik Indonesia. Di sinilah persoalan politik identitas menemukan momentumnya.

Politik Identitas dan Peran Ruang Keagamaan

Politik identitas, sebagaimana dikembangkan oleh akademisi seperti Francis Fukuyama dan Charles Taylor, merujuk pada praktik politik yang menjadikan identitas etnis, agama, atau budaya sebagai dasar mobilisasi politik. Dalam konteks Indonesia, masjid sering kali menjadi salah satu ruang paling strategis untuk artikulasi politik identitas keagamaan, terutama menjelang pemilu.

Kelompok-kelompok tertentu menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai arena konsolidasi politik. Hal ini berlandaskan pada argumen historis bahwa Nabi Muhammad SAW menggunakan masjid sebagai pusat kegiatan sosial-politik umat. Namun argumen ini kerap direduksi, tanpa memperhatikan konteks kenabian yang sangat berbeda dengan politik elektoral modern.

Pembicaraan mengenai agama dan politik mengalami peningkatan intensitas, baik di media sosial maupun di mimbar-mimbar keagamaan. Sayangnya, politik yang diusung bukanlah politik etik atau politik kebangsaan, melainkan politik polarisasi: politik yang membelah, bukan menyatukan.

Politik identitas yang memanfaatkan agama justru bertentangan dengan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan dasar syariat), yang di antaranya adalah menjaga agama, jiwa, akal, dan kehormatan. Ketika masjid dijadikan ruang penyebaran hoaks, fitnah, dan kampanye hitam, maka nilai-nilai dasar Islam justru dikhianati.

Bahaya dari politisasi agama dalam bentuk politik identitas adalah keretakan sosial. Politik elektoral yang berlangsung lima tahunan dapat meninggalkan luka sosial yang panjang. Polarisasi berbasis identitas telah terbukti memperlemah solidaritas sosial, merusak tatanan kebangsaan, dan menyuburkan intoleransi.

Sosiolog seperti Rogers Brubaker mengingatkan bahwa politik identitas sering kali tidak merepresentasikan identitas sejati komunitas, tetapi lebih merupakan hasil konstruksi elite politik untuk tujuan elektoral. Dalam konteks Indonesia, para elite politik memanfaatkan tokoh agama untuk meraih dukungan, sementara tokoh agama mendapatkan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.

Rekomendasi: Menuju Politik Etik

Untuk membendung laju politik identitas yang destruktif, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, reorientasi fungsi masjid, yakni masjid harus dikembalikan pada fungsinya sebagai pusat ibadah, pembinaan spiritual, dan solidaritas sosial, bukan sebagai ruang agitasi politik elektoral.

Kedua, pendidikan politik keagamaan, pemerintah dengan ormas keagamaan Indonesia, perlu melakukan kerja-kerja literasi politik etik di kalangan masyarakat, khususnya di komunitas keagamaan. Literasi ini penting untuk membedakan antara politik nilai (politik substansial) dan politik transaksional yang berbahaya.

Ketiga, menjunjung tinggi etika kolektif tokoh agama. Saya merasa, ada kemorosotan dalam menjunjung etika publik. Karena itu, tokoh agama perlu merefleksikan kembali peran mereka dalam kehidupan publik. Keterlibatan dalam politik seharusnya didasarkan pada etika, bukan transaksi. Mereka harus menjadi penjaga moralitas publik, bukan alat legitimasi kekuasaan.

Politik identitas tidak boleh dijadikan sebagai way of life dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Ia harus ditransformasikan dari politik polarisasi menjadi politik kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Dalam konteks global yang penuh konflik, seperti perang Iran–Israel, Indonesia harus menjadi teladan bagaimana agama dan politik dapat hidup berdampingan tanpa saling menegasikan.

Agama harus menjadi sumber etika dalam berpolitik, bukan komoditas dalam pertarungan kekuasaan.

Komentar