“Sahur… sahur… Rhimba, Sobri, Andini, bayu ayo sahur” Suara seorang ibu yang tengah membangunkan anaknya dini hari untuk sahur. Sambil mengusap mata Sobri dan Andini dan turun dari tempat tidur mereka bertanya, “Kita sahur dengan lauk apa, bu? Jangan bilang telur ceplok.” Sedangkan, Rhimba dan Bayu sudah bergegas menuju meja makan. terlihat ayah tengah menunggu isteri dan anak-anaknya untuk sahur bersama, “Nak, Ramadan kali ini maafkan ayah ya, karena belum mampu menepati janji membelikan makanan kesukaan kalian untuk sahur”, ucap ayah sembari mengambil nasi hangat dari bakul di atas meja makan. Dengan perasaan marah bercampur kecewa, Sobri dan Andini langsung membanting piring dan berlari ke tempat tidur.

Kedua bocah tersebut menangis sejadi-jadinya. karena semenjak sahur pertama, sampai sahur hari ke enam lauk yang mereka makan hanyalah telur ceplok dengan kecap asin. Dari jauh terdengar derap langkah kaki si sulung Rhimba, perlahan-lahan dia memasuki kamar kedua adiknya. Si sulung kemudian bercerita kepada kedua adiknya, bahwa ada banyak sekali orang di luar sana yang menahan lapar karena tidak mempunyai uang ataupun makanan. Maka, sudah sepatutnya mereka bersyukur karena masih diberi makanan, meskipun hanya nasi dan telur ceplok. Si sulung memeluk kedua adiknya dan berkata dalam hati, Dik, kakak janji akan memberikan kalian makanan terbaik suatu saat nanti.

Kemudian dengan terisak-isak kedua adiknya Sobri dan Andini menuju meja makan untuk sahur bersama. Selama mereka menyantap sahur tak terdengar sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Si sulung menatap wajah ayahnya,  mata sang ayah terlihat berkaca-kaca karena merasa bersalah. Setelah makan sahur bersama, si sulung menghampiri sang ayah yang sedang duduk termenung di pojok ruang tamu. Rhimba berkata lirih, “Ayah apakah ayah tahu siapa itu pejuang sejati?”

Ayah menjawab sambil menatap dalam anaknya, “Mereka yang berjuang, menjalani hidup dengan tiga hal sabar, syukur dan ikhlas bukan?”, kata sang ayah.

Kemudian si sulung kembali berucap, “Bagiku sejatinya seorang pejuang adalah perjuangan seorang ayah untuk keluarganya.” Sambil menangis si sulung memegang tangan ayahnya dan berkata, “Yah restui dan ridohi kami anak-anakmu untuk menjadi pejuang yang tangguh.” Sang ayah mengecup pelan kening putrinya dan berkata, “Setiap kalian yang menjadi anak ayah adalah pejuang-pejuang tangguh yang akan menjadi pemimpin pembaharu pada zamannya.”

Tiba-tiba aku mendengar suara yang begitu keras memanggilku, “Rhimba ayo sahur sedikit lagi sudah memasuki waktu imsak ayo bergegas atau kamu tak akan sahur”

Pelan-pelan kubuka mataku yang terlihat hanya sepetak ruangan yang sempit. Ternyata tadi itu hanya mimpi, kemudian aku bergegas untuk sahur sendiri karena sudah dua tahun aku tak pulang ke rumah dan Ramadhan kali ini aku kembali menyiksa orang tuaku dengan rasa rindu. Bukannya aku tak rindu ayah ibu tapi ada kewajiban yang harus ku penuhi dulu sebelum menemui kalian. Maafkan anakmu ini yang kembali menyandera rindu kalian karena pendidikan. Tak sadar air mataku menetes membasahi pipi dalam hati aku kembali berucap, “Bersabarlah sedikit lagi ayah ibu aku pastikan waktu akan membayar mahal untuk temu kita nanti.

Tulisan ini merupakan kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan media islamsantun.org.

Sri Rahmawati, mahasiswa prodi Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta.

Komentar