“Sebagai teks yang memiliki sifat al-furqan (pembeda) dan al-dzikr (pengingat), al-Qur`an belumlah selesai dengan selesainya risalah kenabian Rasulullah. Ia akan tetap hidup sepanjang terbaca, sepanjang direproduksi teksnya. Ia juga tetap hidup sepanjang nalar manusia berkehendak untuk mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Dan terutama ia hidup bila masih ada orang yang berkehendak meniti jalan ketuhanan (sang author) melalui al-Qur`an. Semua generasi pembaca al-Qur`an dibedakan oleh semangat zaman masing-masing. Untuk mencapai spirit risalah awalnya, setiap generasi pembaca harus mencari frekuensi yang sama dengan generasi pertama. Itulah mengapa generasi pembaca saat ini perlu masuk dalam dimensi psikologis, sosiologis, dan antropologis pembaca pertama. Wallahu a’lam” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).

Renungan Pak Rektor yang ini langsung mengingatkan saya pada Fazlur Rahman. Ia menawarkan model pembacaan al-Qur`an yang dari segi kelahiran teksnya sudah sangat jauh rentang waktunya dengan kita sekarang ini; jauh pula rentang geografisnya bagi kita yang berada di luar jazirah Arabia. Tawaran ala Rahman itu adalah double-movements; dua pergerakan bolak-balik, pergi-pulang. Pergi dulu, tapi harus ingat dan tahu jalan pulang. Pergi dulu ke masa lalu, kemudian berbekal pengetahuan tentang masa lalu pulang lagi ke masa sekarang; masa di mana kita berada di dalamnya.

Umat Islam percaya bahwa Kitab Suci mereka memuat ajaran dan mengusung risalah yang shalih li kulli zaman wa makan (dapat diterapkan kapan dan di mana saja). Di ranah nyata, jargon itu perlu “penanganan” mendalam dan serius untuk dapat benar-benar landed. Bagaimana teks yang lahir 14 abad yang lalu dengan segala muatan yang dikandungnya dan konteks yang melingkupinya dapat menjawab dinamika dan problematika kekinian dan kedisinian; kini kita berada di abad 21 sedang teks al-Qur`an diwahyukan abah 7, kita berada di Indonesia dengan kekhasan geografisnya sedang teks al-Qur`an diturunkan di jazirah Arabia sana dengan kekhasan geografisnya pula? Apa formula terbaik untuk menjembatani dua “kesenjangan” itu: rentang waktu dan bentang geografis, dalam rangka membuktikan bahwa jargon shalih li kulli zaman wa makan itu bukan klaim hampa atau isapan jempol belaka?

Atas pertanyaan-pertanyaan itu, Pak Rektor memberi jawaban: “Setiap generasi pembaca harus mencari frekuensi yang sama dengan generasi pertama.” Seperti telah saya singgung, formula dari Pak Rektor ini, dalam amatan saya, sepadan dengan tawaran double-movements dari Fazlur Rahman. Setiap pembaca teks harus memiliki dua kesadaran: kesadaran kekinian dan kedadaran kedisinian. Yaitu sadar bahwa dirinya hidup di era sekarang yang secara waktu sudah sangat jauh dari era wahyu diturunkan, dan sadar bahwa dirinya secara geografis juga tinggal di sini, di kawasan yang jauh dari tempat di mana wahyu disampaikan.

Dari dua kesadaran itu, pertama-tama si pembaca pergi dulu ke masa lalu, ke kawasan sana. Bayangkan kita hidup di abad ke-7, sezaman dengan para sahabat senior, lalu duduk melingkar bersama mereka mengelilingi Rasulullah yang menyampaikan apa saja yang baru diwahyukan Tuhan padanya. Bayangkan kita adalah seorang sahabat yang mendapati persoalan lalu ditanyakan langsung kepada Nabi untuk mendapat jawaban. Wahyu pun turun pada Nabi memberi jawaban atas persoalan yang kita ajukan. Dalam Ulumul Qur`an, ilmu makki-madani dan asbab al-nuzul, banyak membantu kita membayangkan diri kita pergi ke masa lalu. Ini adalah movement yang pertama.

Tapi kemudian kita tidak boleh berlama-lama hidup di sana; di masa lalu. Ingat, kita pergi ke sana membawa misi: menangkap ideal-moral (semangat) pada setiap legal-formal (teks lahir) ujaran wahyu yang disampaikan lisan Nabi. Kembalilah ke masa kini, ke tempat asal. Berbekal tangkapan-tangkapan ideal-moral, kita dapat menjadikan legal-formal itu sebagai teks tetap hidup; tetap kita lafalkan, tetap kita sucikan kesakralannya, tetap kita tinggikan kedudukannya sebagai Kitab Suci pedoman. Hanya saja, sejauh menyangkut urusan sosial-kemasyarakatan, ekonomi, politik, kebudayaan, atau bahkan militer, yang diambil dari legal-formal itu “hanya” ideal-moral-nya sepanjang tuntutan kemaslahatan kekinian dan kedisinian menghendaki demikian. Ini adalah movement yang kedua.

Lalu apa piranti yang memadai untuk menggali ideal-moral di balik teks atau ujaran legal-formal? Pak Rektor menjawabnya: “Generasi pembaca saat ini perlu masuk dalam dimensi psikologis, sosiologis, dan antropologis pembaca pertama.” Apa yang saya sebut di atas sebagai ilmu makki-madani dan asbab al-nuzul, kalau diolah dan dikembangkan, sejatinya mampu memenuhi piranti yang disebut Pak Rektor. Tanpa piranti ini, sangat mungkin apa yang disebut oleh pembaca teks sebagai ideal-moral hanya kepentingan pribadi atau dalih belaka.

Komentar