Pada suatu kesempatan, saya bertanya kepada mahasiswa di kelas: Misalnya, di tempatmu ada pemilihan wali kota, salah satu calonnya adalah non muslim. Lalu kamu ingin tahu hukum memilih pemimpin non muslim. Kepada siapa kamu akan bertanya?

Jawaban mahasiswa beragam. Ada yang menjawab akan bertanya kepada kiai atau ustad yang mereka kenal, ada yang mau bertanya kepada dosen, sedang jawaban bertanya kepada Google alias googling adalah jawaban terbanyak.

Lalu saya bertanya lagi: kenapa bertanya kepada Google? Mereka bilang Google, dengan bantuan smartphone, adalah yang paling mudah diakses. Selain mudah, Google juga menawarkan kecepatan. Lagipula, sudah jadi kebiasaan mereka bertanya kepada Google untuk hal-hal yang tidak tidak mereka tahu. Seperti hotel murah di Purwokerto, kuliner enak Pekalongan, kedai kopi terdekat dll. Mereka pasrahkan ke Google.

Harusnya, jawaban mahasiswa-mahasiswa itu bukan sesuatu yang mengejutkan, karena memang begitulah yang jamak terjadi. Nyatanya, Google memang membantu kita. Pertanyaan seperti “hotel murah Purwokerto” dapat dijawab dengan tepat. Hanya saja, bagaimana ketika Google harus menjawab pertanyaan seputar agama?

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada riset Nurul Embun Isnawati dan Ahmad Fauzan Hidayatullah yang berjudul The Effect of Utilizing Google Search Features in Answering Religious Problems: A Case Study of Students in Semarang. Riset itu dipresentasikan di ISRL (International Symposium on Religious Life) pada Selasa 04 November 2020.

Riset itu bicara tentang pengaruh fenomena ketergantungan generasi milenial (mahasiswa di Semarang) dalam penggunaan Google untuk menjawab permasalahan keagamaan yang dihadapi. Menurut Isnawati dan Hidayatullah, masalah agama tidak cukup dijawab dengan mesin pencari. Apalagi Google tidak memiliki “filter”. Salah-salah mereka bisa terjebak di portal radikal.

Di internet, siapapun bisa menulis dan siapapun bisa menjadi orang lain. Inilah salah satu dampak negatif penggunaan fitur tanpa filter. Masalah agama merupakan masalah yang serius, sehingga jawaban atas masalah tersebut perlu ditanggapi secara serius pula.

Riset itu juga selaras dengan apa yang disampaikan Menteri Agama dalam pembukaan ISRL 2020: Pertukaran data secara virtual menyebabkan peran manusia, konektivitas antar manusia, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan diuji. Kecerdasan buatan, yang pada awalnya membantu peran-peran manusia, pada gilirannya mendominasi bahkan menggantikan peran tersebut. Lalu, rasa kemanusiaan menjadi hilang karena bagaimanapun mesin tetaplah mesin.

Ya, mesin tetaplah mesin. Ketika mahasiswa saya googling “hukum memilih pemimpin non muslim” kita akan melihat algoritma bekerja. Jawaban teratas yang tampil di Google boleh jadi bukan jawaban terbaik, tapi tulisan yang paling SEO friendly. Itu baru pertanyaan tentang pemimpin non muslim, bagaiaman jika mereka bertanya: hukum membunuh penghina Nabi.

Lalu sampai kapan kita terus bertanya kepada Google?

Komentar