Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober berdasarkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Mengapa tanggal tersebut yang dipilih?. Pro dan kontra pasti terjadi menyikapi pemilihan tanggal tersebut. Satu hal yang pasti adalah bahwa pada saat itu, tepatnya pada tahun 1945 silam, Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad untuk melawan penjajahan. Lantas, ada dua pertanyaan penting yang patut direfleksikan, apakah makna jihad di era milenial saat ini dan bagaimana peran santri dalam meneruskan perjuangan dan mengisi kemerdekaan?.
Pertanyaan pertama, terkait definisi jihad, sudah terlampau banyak kajian yang membahas hal tersebut. Jika merujuk pada makna dasar, kata tersebut mengandung arti kesungguhan, upaya dan tekad yang kuat untuk melakukan sesuatu. Alquran pun menggunakan kata jihad dalam beragam arti, seperti berbakti kepada kedua orang tua juga bagian dari jihad. Melawan hawa nafsu juga bagian dari jihad, sehingga jihad tidak selalu bermakna kontak fisik.
Berdasarkan beberapa makna tersebut, kira-kira makna apa yang dapat kita ambil. Apakah masih relevan jihad dengan menggunakan kontak fisik di saat kita sudah merdeka?. Ini namanya kita ingin kembali ke zaman dulu ketika masih dalam era penjajahan. Tentu semangat jihad juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saat ini zamannya kolaborasi, bukan kompetisi. Maka makna jihad saat ini adalah dengan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, bekerja sama dengan orang banyak, melakukan kebaikan-kebaikan dengan penuh kesungguhan, dll.
Pertanyaan kedua, bagaimana peran santri?. Tentunya santri saat ini harus meneruskan jihad para ulama terdahulu yang telah berjuang merebut kemerdekaan. Caranya dengan terjun ke masyarakat, mengisi ruang-ruang yang saat ini banyak dikuasai oleh sekelompok aliran Islam yang ‘mengkapling’ surga hanya untuk golongannya.
Santri seharusnya keluar dari zona nyaman pesantren untuk masuk ke ruang kampus sehingga memperkaya khazanah keilmuan. Ini penting agar wacana santri dapat berkembang, sehingga adagium al-muhafadzah ‘alal qadim al shalih yang diwakili oleh tradisionalitas kajian kitab kuning dapat bersinergi dengan wal akhdzu bil jadidil ashlah yang dilihat dari wacana modernitas kontekstual.
Selain itu, santri juga harus menyumbangkan suara di media, baik offline maupun online. Terlebih yang terakhir ini, santri harus ‘melek’ dengan perkembangan teknologi sehingga dapat mewarnai wacana keislaman. Salah satu tokoh yang sudah mulai ‘turun gunung’ adalah Prof. Nadirsyah Hosen yang sering menjadi counter wacana dari pemahaman keislaman yang cenderung kaku dan tekstual. Nah, disinilah peran santri untuk membantu para kyai dan masyayikh yang sudah turun gunung terlebih dahulu.
Silakan masuk ke media baru saat ini, facebook, instagram, twitter, youtubem podcast, dll. Semua itu adalah sarana (al-wasa`il) yang dapat berubah sesuai dengan kondisi zaman. Tetapi, tujuannya (maqasid) tidak boleh berubah, dari dahulu sampai sekarang tetap sama. Maqasid-nya adalah dakwah, tetapi sarananya boleh berganti melalui youtube atau twitter. Dulu, ulama produktif menulis kitab, saat ini santri bisa meneruskan dengan produktif membuat video atau film pendek sebagai respon terhadap perkembangan zaman.
Dengan demikian, santri juga harus dibekali dengan skill (kemampuan) mengelola media sosial. Ia harus paham cara mengemas dan menampilkan berita atau caption, mengedit foto atau video, dll. Sebab, maa laa yatimmul waajib illaa bihi fahuwa waajib. Dakwah itu kewajiban, dan cara berdakwah saat ini adalah melalui media sosial, maka logikanya seorang santri juga harus belajar pernak-pernik media sosial. Nilai plus santri yang terjun ke media sosial adalah ia punya bekal keislaman sekaligus pandai dalam mengelola media sosial, sehingga pemahaman keislaman yang ditampilkan tidak lagi sekadar ‘kulit’-nya semata, tetapi menyelami makna-makna esensial dari keagamaan.