Di Kompas, 7 September 2019, kita membaca berita kecil berjudul “Gaya Penulisan di Media Sosial Belum Cerminkan Kesantunan”. Santun di berita berkaitan dengan kaidah kebahasaan. Pada pengertian lanjutan, kesantunan adalah sikap bergaul di media sosial. Ayu Utami dan Najwa Shihab urun pendapat dalam acara diskusi di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, 6 September 2019. Mereka mengarahkan perhatian ke penggunaan bahasa di media sosial. Kesantuan terus merosot dan terbaikan oleh pamrih-pamrih picisan para penghuni media sosial. Berbahasa tanpa kaidah dan pamer pendapat sembarangan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Rudiantara) mengungkapkan prihatin: “Kaidah penulisan di media sosial tak bisa kita harapkan mengikuti kaidah profesional. Di media sosial, tak ada tata krama penggunaannya.” Konklusi itu mungkin puncak kebingungan kita mengingatkan atau memberi petunjuk ke umat media sosial tentang bahasa dan kesantunan.

Sekian tahun terakhir, “santun” itu diksi dan tema penting di Indonesia berkaitan politik dan agama. Pelbagai peristiwa besar selalu memicu khawatir atas sikap berdemokrasi, toleransi, dan keluhuran mengacu kebhinekaan. Kejadian-kejadian buruk membuat kita seperti kehilangan sokoguru menjadi Indonesia. Kaidah-kaidah sebagai warga dan pengejawantahan diri sebagai orang beragama dihadapkan pelbagai keamburadulan dan kebebalan. “Santun” dipilih untuk seruan mengingatkan publik, mengembalikan kita ke adab telah terbentuk sejak ribuan tahun lalu.

Diksi santun sudah berusia puluhan atau ratusan tahun di Nusantara? Kita mencari tahu dengan membuka kamus-kamus lama dan baru. Kita mulai dengan Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) susunan Sasrasoeganda. Kamus sudah berusia melebihi seabad. Di halaman 396, santoen (santun) berarti “mrijajeni” atau “sareh”. Bentukan istilah menjadi sopan santoen mengandung arti “djatmika oetawa betjik toemrap trapsilane lan mrijajeni.” Kita mengerti itu baik, lembut, halus, dan bijaksana. Di kamus lawas, santoen dan sopan santoen sudah dimengerti dan digunakan orang-orang di Nusantara dalam percakapan atau tulisan. Di kamus, kita diajak cenderung memahami santun itu di kalangan priyayi atau etika bagi priyayi. Pengertian belum terbuka bagi pelbagai kelas sosial.

Kita masih di edisi kamus lawasan. Santoen di Kitab Arti Logat Melajoe (1919) susunan D Iken dan E Harahap memiliki pengertian “sopan beradat”. Sopan santoen berarti “tahoe adat”, “beradat”, “peri lakoenja baik”, “beradab”. Kita bertambah mengerti bahwa santun bereferensi ke adat. Di Nusantara, puluhan adat mengajarkan orang menjadi santun. Di Jawa, santun itu pernah cenderung ke priyayi, tak gamblang mencakup kaum kromo atau wong cilik.  Di kamus susunan Iken dan Harahap, kita tak pernah menemukan ada penjelasan khusus Jawa.

Pada masa pendudukan Jepang, santun  mulai berkaitan dengan pemaksaan adat dan militer dari Jepang ke bumiputra. Perlawanan terjadi mendapat ganjaran: pemecatan atau hukuman. Jepang datang dengan hal-hal “baroe”, berbeda dengan tatanan hidup saat masih berlakon penjajahan Belanda. E St Harahap membuat Kamoes Indonesia (1942). Di halaman 323, santoen berarti “perlahan-lahan” “sopan”, “beradat”. Contoh di penggunaan kalimat: “Ia berdjalan dengan santoen” atau “Kadir seorang jang sopan santoen.” Praktik santun pada masa itu mungkin agak dipengaruhi dengan perintah-perintah politik dan militeristik selera Jepang. Sekian hal tentu bertentangan dengan adat-adat di Nusantara dan orang-orang bereferensi ke agama. Kita ingat para ulama dan santri melawan perintah-perintah Jepang gara-gara dianggap bertentangan dengan agama. Kaum terpelajar terpengaruh adab Eropa pun menolak menuruti perintah-perintah berdalih santun cap militer Jepang.

Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta, kita menemukan arti santun adalah “budi bahasa jang baik”, “tahu adat”, “beradab”, atau “baik budi bahasanja”. Kita mulai mendapat patokan bahwa santun itu bahasa dan perbuatan. Penguatan arti bahasa menjadikan masa lalu pengertian santun mendapatkan imbuhan saat Indonesia mulai mengalami revolusi dan Soekarno memerintahkan pembentukan kepribadian nasional. Sutan Muhammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) mengartikan santun agak berbeda dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta). Pengertian santun: “sopan, hormat, sabar, tatakrama, adat halus, adat orang.”

Pada 1977, terbit Kamus Sinonim Bahasa Indonesia susunan Harimurti Kridalaksana. Santun sama arti dengan “halus dan baik, sopan, sabar dan tenang, beradab.” Pengertian “bahasa” tak lagi dimunculkan seperti tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia. Santun pada masa Orde Baru mungkin agak berbeda dari masa lalu dengan kebijakan-kebijakan Soeharto. Anutan kekuasaan ke adat Jawa, Pancasila, dan terapan demokrasi cap Orde Baru memberi pengaruh pada diksi santun. Pada masa itu pula kita diberi pilihan agak membingungkan: sopan santun atau tata krama. Di buku-buku pelajaran, dua ungkapan itu menginginkan bocah-bocah menjadi manusia sesuai tujuan pembangunan nasional.

Pengertian santun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018) terbaca: “halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya)”, “sabar dan tenang”, “sopan”, “penuh rasa belas kasihan”, “suka menolong”. Santun itu kita baca berlatar 2018 dan 2019. Santun mengingatkan seruan etika politik dari para guru bangsa dan ulama. Berpolitik memerlukan etika, basis dari kesadaran politik tanpa kejahatan, kekerasan, dan kemunafikan. Santun tentu termuat dalam etika politik. Nilai-nilai kebaikan, toleransi, kasih, hormat diejawantahkan dalam ucapan dan tindakan. Santun menjadi modal dan orientasi berpolitik. Kesadaran penggunaan bahasa juga berkaitan etika politik.

Kita bisa mengingat penggunaan istilah santun dalam pelbagai peristiwa, mengacu sejarah dan perkembangan pengertian dalam bahasa di Indonesia. Pengertian lama dan baru bisa menjadi referensi bagi kita untuk mengerti penggunaan kata-kata oleh para elite politik, intelektual, sastrawan, militer, dan ulama dalam slogan, pidato, puisi, atau iklan. Berpolitik memerlukan pengetahuan bahasa. Kamus-kamus pun berperan besar agar penggunaan diksi santun  memiliki sejarah dan alur perkembangan, dari masa ke masa.

 

 

 

Komentar