Islamsantun.org. Asosiasi kita ketika mendengan sastra pesantren adalah sebuah kitab kuning dengan anotasi “jambulan” atau “janggotan”—bahasa ilmiahnya “interlinier notes”—yang memenuhi sebagian besar naskah yang ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu. Ada benarnya, bahwa sesungguhnya apa yang dimaksud “kesusasteraan” tentu saja karya tulis atau tepatnya manuskrip yang dituangkan kedalam kertas, dluwang, atau lontar yang bernilai sejarah dan ketika dihubungkan dengan pesantren, berarti naskah tersebut ditulis oleh para ulama yang hidup di pesantren atau bisa juga ditulis oleh orang-orang yang “nyantri” di sebuah pesantren.

Tidak berlebihan jika disebutkan, bahwa model pendidikan indigenous yang dimiliki Islam di Indonesia adalah pesantren, sehingga hampir tidak mungkin model pendidikan Islam lokal ini terabaikan begitu saja dari kajian historiografi Islam di Indonesia. Bagi saya, sastra pesantren tentu saja menjadi bukti sangat penting dalam memahami bagaimana proses Islamisasi di Nusantara ini, termasuk bagaimana penghayatan batin orang-orang Nusantara terhadap Islam, khususnya di Jawa, sebab disanalah prototipe pesantren itu lahir dan kemudian bertransformasi menjadi model pendidikan Islam paling awal di Indonesia.

Indonesianis kawakan asal Belanda dan murid tersohor Snouck Hurgronje, G.W.J Drewes pernah menulis, bahwa gambaran Eropa tentang Islam Indonesia yang sekadar selaput tipis yang hidup dalam pikiran orang-orang Muslimnya merupakan suatu kekeliruan, sebab “Islam begitu amat sangat menguasai batin masyarakat Indonesia” sehingga para pemerhati Islam di Indonesia kerap gagal dalam melihat orang-orang Idonesia yang beragama Islam.

Kritik yang cukup objektif justru datang dari seorang pemerhati kesusasteraan Jawa, Nancy K Florida, yang menganggap dimana Indonesianis asal Belanda pada masa kolonial selalu “gagal melihat” realitas yang sesungguhnya dari komunitas Muslim yang ada di Nusantara, khususnya mereka yang hidup di wilayah pulau Jawa. Dengan gaya bahasa yang sarkasme, Nancy menyebut penggambaran yang dibuat kesarjanaan kolonial tentang Islam-Jawa yang sinkretik adalah penggambaran dari manusia yang ngelindur. Ahli kesusasteraan Jawa ini justru melihat, bahwa aspek-aspek Islam telah begitu lama masuk dan tetap tinggal dalam hampir seluruh dimensi masyarakatnya, bahkan dari aspek intelektualitasnya yang dituangkan dalam berbagai naskah kesusasteraan Jawa, bahkan yang dianggap paling kuno sekalipun.

Seiring dengan proses Islamisasi di Indonesia yang dimulai abad ke-13, terjadi penyebaran yang begitu massif dari agama ini, bahkan mungkin telah melampaui batas-batas wilayah yang mungkin saja tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan, penerjemahan-penerjamahan dan gubahan yang berasal dari naskah klasik berbahasa Arab telah dilakukan oleh para ulama Indonesia dan secara tradisional diajarkan secara verbal dan menjadi suatu tradisi intelektual yang semakin meluas secara oral-aural, menjelma menjadi sebuah “tradisi minor” yang hidup dan saling berhubungan dan tak mungkin dilepaskan dari suatu “tradisi mayor”nya yaitu agama Islam.

Kita mungkin akan terkagum-kagum ketika membaca salah satu naskah Nusantara cukup tua, seperti Babad Melayu atau Babad Tanah Jawi masih menggambarkan bahwa genealogi masyakarat Nusantara berawal dari Nabi Adam, sehingga melihat dari aspek kroniknya, unsur-unsur Islam telah sangat kuat mengikat kesusasteraan Nusantara dan bukan unsur-unsur dari agama lain yang disebut-sebut justru paling dominan. Kita pada akhirnya akan melihat, betapa kesusasteraan Jawa justru kental nuansa Islamnya, sebab orang-orang yang menulisnya merupakan seorang Muslim yang juga dikirim oleh orang tuanya untuk belajar di pesantren. Tidak menutup kemungkinan, dimana naskah-naskah lain seperti Serat Centini atau Serat Cabolek—keduanya merupakan naskah yang diadopsi kedalam Babad Tanah Jawi—juga dikarang oleh seseorang yang pernah mendalami disiplin keislaman di pesantren.

Beberapa naskah Nusantara yang diakui pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya, ditulis oleh Yasadipura, pujangga keraton Surakarta yang juga pernah menjalani pendidikan di pesantren. Kehidupan keturunan keluarga Yasadipura umumnya adalah santri lelana atau “pelajar pengembara agama Islam” yang berpindah dari satu ulama ke ulama yang lain untuk belajar tentang disiplin keislaman. Mungkin yang paling dikenal pada saat ini adalah Yasadipura II, seseorang dengan banyak sebutan nama.

Yasadipura ini dikenal juga dengan nama R. Ng. Ronggawarsita. Yasadipura ini pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Tegalsari, Ponorogo yang disebut sebagai salah satu pesantren tertua di Nusantara. Selain menulis karya sastra berupa serat dan macapat, ia juga menulis Serat Ambiya (Buku Para Nabi), sebuah sejarah tebal mengenai cerita kehidupan para Nabi yang berasal dari tradisi agama Islam. Ia juga mengarang puisi Piwulang yang di dalam kandungan ajarannya menghidupkan isu-isu etika Islam dan praktik-praktik pemerintahan Muslim saleh.

Dalam satu kesempatan, ia menulis Suluk Burung, suatu diskursus mistik penuh kiasan ihwal tingkatan kesempurnaan. Namun, sumbangan terpenting sastra Jawa-Islam adalah karangannya “Chentini” yang merupakan bagian paling indah dari tradisi “ngelmu” yang erat kaitannya dengan transmisi intelektual para ulama di Jawa yang diperoleh dari suatu pengembaraan intelektual (rihlah ilmiyah) dari pesantren ke pesantren, bahkan jaringannya sangat luas hingga ke Mekah di Timur Tengah.

Komentar