يَا بُنَيَّ: احْفَظْ عَنِّي أَرْبَعًا وَأَرْبَعًا لاَيَضُرُّكَ مَا عَمِلْتَ مَعَهُنَّ: أَغْنَى الغِنَى العَقْلُ، وَأَكْبَرُ الفَقْرِ الحُمْقُ وَأَوْحَشُ الوَحْشَةِ العُجْبُ، وَأَكْبَرُ الحَسَبِ حُسْنُ الخُلُقِ
Kalimat di atas adalah isi dari nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada putranya Hasan bin Ali. Kiranya, penting untuk kita resapi pada situasi saat ini. Dalam kalimat tersebut, ada empat pesan Sayyidina Ali yang apabila dikerjakan, maka tak ada yang membahayakan diri Hasan dan tentunya bisa diterapkan untuk diri kita. Pertama, akal adalah hal yang paling berharga dalam hidup. Kedua, kefakiran terbesar adalah kebodohan. Ketiga, kesombongan adalah sifat yang buruk bagi manusia. Keempat, kemuliaan seseorang dilihat karena budi pekertinya.
Dari nasehat di atas, kiranya pangkal dari keempatnya adalah Akal. Karena beberapa hal setelahnya, akan mengikutinya. Apabila sehat akalnya, maka sehat pula kepribadiannya dan perilakunya. Kiranya, hal pertama itulah yang akan dijelaskan di sini.
Akal (nalar) adalah hal penting yang harus dijaga seseorang dalam kehidupannya. Sebab salah satu yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah akalnya. Akal di sini dapat kita maknai dengan sikap yang mengedepankan pada aspek rasionalitas. Bisa juga dimaknai dengan nalar kritis yang berdasar pada fakta dan data yang ada. Tanpa akal, manusia akan jatuh pada hal yang kebodohan, kesombongan, dan hilangnya budi pekerti.
Orang yang tidak mau menggunakan akalnya, akan sangat mudah diperdaya oleh nafsu buruknya. Sehingga dengan mudah terperangkap dalam sikap sombong, merasa paling benar, dan merasa paling mampu. Al-Qur’an sendiri dalam dalam ayatnya menekankan penggunaan akal. Misalnya dengan redaksi afala ta’qilun (apakah kalian tak berfikir), la’allakum tatafakkarun (hendaknya kalian berfikir), dan sejumlah redaksi yang lain.
Seseorang yang kehilangan akalnya, maka akan jatuh pada jurang kebodohan. Maka di dalam maqasid al-syari’ah, salah satu hal penting yang harus dijaga oleh setiap muslim adalah akal (hifz al-‘aql). Maqasid al-Syaria’ah adalah ajaran Imam As-Syathibi yang kemudian dikembangkan oleh para muridnya, yang salah satunya adalah Imam Al-Ghazali. Profesor Yudian Wahyudi menyebut maqasid al-syaria’ah sebagai the philosopi of Islamic Law (filsafat hukum Islam) mengajarkan tentang penjagaan terhadap lima hal penting di dalam Islam. Di antaranya; menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz ‘aql), menjaga harta (hifz al-mal), menjaga kehormatan/keturunan (hifz al-nasl).
Berkaitan dengan hal di atas, ketidakmampuan menjaga akal, menghilangkan proses penjagaan yang lain. Sebagai contoh, pengharaman meminum khamer mengakibatkan hilangnya nalar, sehingga mereka tega membunuh (hilangnya jiwa), rusaknya agama, terganggunya keturunan, dan hilangnya harta. Itulah pentingnya menjaga akal.
Melihat fenomena kontestasi politik beberapa waktu yang lalu, kita perlu merefleksikan kembali apakah nalar kita masih berjalan pada tempatnya. Jangan-jangan sudah bergeser pada hal-hal yang tidak bisa dibenarkan secara logika dan akal sehat. Misalnya, banyak orang bersitegang dengan teman dan koleganya bahkan keluarganya hanya karena pilihan politik. Ketegangan-ketengan yang diciptakan dan dipelihara oleh sekelompok orang, bisa jadi tidak mendatangkan keuntungan apapun bagi mereka selain kebencian yang dipelihara, karena tak menggunakan akalnya. Mereka bermain di wilayah emosi dan egonya sendiri.
Terakhir, tanpa upaya penggunaan akal dan nalar, kita akan terjerembab pada sikap sombong, merasa paling benar, suka menyalahkan dan merendahkan orang lain karena hilangnya pekerti luhur. Semoga kita semua dapat menjaga kesehatan akal. Amiin.