Abraham Zakky Zulhazmi*

Alkisah, seorang pemuda hendak menikahi seorang gadis cantik. Tapi, jelang hari pernikahan, gadis itu diserang penyakit cacar yang hebat. Penyakit cacar itu menghadirkan kehebohan. Keluarga si gadis sedih sekaligus khawatir kalau-kalau pemuda itu membatalkan pernikahan. Cacar telah membuat si gadis buruk rupa.
Hanya saja, apa yang kemudian terjadi justru mengejutkan. Pemuda itu mendatangi keluarga si gadis dan mengatakan bahwa ia terserang sakit mata yang menjadikannya buta. Tentu ini adalah kepura-puraan belaka dari pemuda itu.

Mendengar penjelasan tentang kebutaan itu, hilanglah kesedihan dan kekhawatiran keluarga si gadis. Pernikahan akhirnya tetap dilangsungkan sesuai rencana awal. Hal yang mengesankan adalah bahwa pemuda itu berpura-pura buta selama dua puluh tahun. Ketika sang istri wafat barulah ia membuka matanya.
Selepas kejadian, seseorang bertanya kepada pemuda itu, “apa yang telah kau lakukan?” Jawab pemuda itu, “Aku melakukan semua itu agar keluarganya tidak bersedih.”

Dari kisah tersebut, kita bisa belajar banyak hal. Terlihat jelas kemauan kuat pemuda itu untuk tidak menyakiti orang lain. Kemauan untuk tidak membuat orang bersedih. Sesuatu yang rasanya sangat puitis, seperti kisah di negeri dongeng. Namun, begitulah idealnya hidup sebagai makhluk sosial.

Dalam sebuah hadis disebutkan: Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Dan pekerjaan yang palling dicintai Allah adalah menggembirakan seorang muslim, menjauhkan kesusahan darinya, membayarkan utangnya, atau menghilangkan laparnya.

Pemuda itu, yang pura-pura buta itu, mengirim pesan penting kepada kita. Agar, sebagai muslim, kita mampu menutup mata pada kekurangan orang lain. Pemuda itu tahu calon istrinya punya “aib”, tapi ia pura-pura tak melihat, pura-pura buta. Dengan satu tujuan luhur: tidak membuat kecewa dan sedih orang lain.

Mampukah kita meneladaninya?
Dalam interaksi, kita teman, saudara atau kolega kita tentu memiliki aib. Bisakah kita menutup mata untuk tak melihatnya? Tampaknya yang sering terjadi justru sebaliknya. Sebagian kita begitu gemar membincang dan mengumbar aib saudaranya. Mengumbar aib dalam kemasan rasan-rasan/ghibah/bergunjing. Seolah lidah rasanya kelu jika sehari saja tidak bergunjing.

Ghibah atau gunjing menjadi semakin lumrah. Apalagi ketika difasilitasi internet/media sosial yang makin memudahkan manusia abad ini. Kita kenal misalnya akun lambe turah, atau akun-akun sejenis. Akun yang gemar menelanjangi aib, akun sumber gosip. Akun semacam itu tidak makin berkurang tapi semakin berkembang biak.

Parahnya, hal semcam itu juga kita saksikan pada ranah perpolitikan Indonesia masa kini. Pada pilpres 2019, salah satu pilpres paling bar-bar dalam sejarah Indonesia, masing-masing timses berlomba untuk menelanjangi aib masing-masing paslon. Politik penuh kesantunan dan keadaban ditinggalkan jauh di belakang.

Perpecahan sering kali hadir karena mulut yang tak terjaga. Mulut yang menyakiti. Kemudian merembet ke fitnah, caci maki, dan umpatan. Ucapan yang melukai hati lebih tajam dari sayatan pedang. Hati yang luka, biasanya, sukar disembuhkan.
Sudah benar jika banyak tokoh menyerukan rekonsiliasi dan persatuan di bulan yang mulia ini.

Persatuan yang koyak bisa kembali dijahit dengan kemauan merendahkan hati dan melapangkan dada. Tak perlu mimbar-mimbar kultum dijadikan ajang provokasi. Apalah artinya puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari jika dalam hati sesak dengan kebencian?

*Dosen Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN Surakarta

Komentar