Abd. Halim*

Tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang harmonis antara kedua pasangan. Keduanya seharusnya terjalin dalam suatu gerak yang serasi dalam mengarungi kehidupan. Jika ada satu bagian yang sedang jatuh, yang lain membantu membangkitkan. Jika ada yang sedang santai dan yang lain sibuk, maka yang satu ikut membantu yang lain. Begitulah seharusnya sebuah keluarga jika ingin hidup tenteram dan langgeng.

Dalam mengarungi dunia rumah tangga, semua keluarga pasti menghadapi gesekan-gesekan kecil, pertengkaran-pertengkaran dan perselisihan. Penyebab konflik dalam keluarga sangat beragam sekali bahkan terkadang berawal dari hal-hal sepele, seperti salah meletakkan sandal pada posisi semula, lupa menaruh sabun di tempatnya di kamar mandi dan lain-lain. Hal-hal sepele semacam ini bahkan bisa menjadi pemicu konflik jika kedua pasangan sama-sama bersikap keras dan tidak mau mengalah.

Di masyarakat kita, yang sebagian besar patriarkhi terkadang posisi laki-laki sangat mendominasi sehingga perempuan seolah-olah berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebaliknya dalam masyarakat matriarkhi, perempuan menjadi sangat berkuasa. Lelaki seakan-akan berada di bawah ketiak perempuan. Nah, hubungan yang ideal antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga adalah egaliter, dalam atrian setara dalam fungsi. Karena sesungguhnya laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan dan memperoleh kebaikan.

Salah seorang tokoh feminis asal Indo-Pakistan, Riffat Hasan menyatakan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga bukan bersifat hierarkis superior-inferior tetapi bersifat fungsional yang saling melengkapi. Keduanya memiliki peran yang sama di mana yang satu tidak boleh menafikan peran yang lain. Yang diperlukan adalah kesalingpengertian dan rasa cinta kasih. Persoalan ada gesekan dan letupan-letupan kecil, itu adalah hal biasa yang seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Ada kisah menarik tentang bagaimana menghadapi konflik dalam keluarga ini. Suatu ketika ada seorang sahabat yang hendak sowan Sayyidina Umar rhadiyallahu ‘anhu. Sahabat ini ingin curhat dan meminta nasehat kepada Umar bin Khattab tentang istrinya yang selalu memarahinya. namun, saat berada di depan pintu Umar, sahabat ini tercengang, ternyata ia sedang menyaksikan Umar dimarahi istrinya. Akhirnya sahabat ini berpaling sambil bergumam,

‘Amirul mu’minin Umar bin Khattab saja seperti ini apalagi saya!’ Kemudian, ia membalikkan badan dan hendak pulang. Namun, ternyata keberadaan sahabat ini diketahui oleh Sayyidina Umar dan kemudian dipanggal.

“Apa keperluanmu, Wahai saudaraku?”

“Begini, Amirul Mu’minin.. Saya ingin mengadukan istri saya yang kurang baik perangainya dan sering memarahiku, lalu sesampainya di sini saya menyaksikanmu dimarahi istrimu dan engkau tetap diam. Jika keadaanmu seperti itu, lantas apalagi saya, Wahai Amirul Mu’minin…”

Kemudian Umar menjelaskan, “Saya menganggung kemarahannya karena dia juga menanggung kewajibanku. Dia menabak nasi dan membuatkan roti untukku, mencucikan pakaianku. Dia juga selalu menyusui anakku. Padahal ia tidak wajib melakukannnya. Dan aku menjadi tenang karenanya terjauh dari perkara haram.”

Sahabat itu menjawab, “istriku juga demikian, wahai Amirul Mu’minin.”

“Kalau begitu, sabarlah wahai saudaraku! Itu hanya sebentar saja!”

Kisah ini mengajarkan tentang bagaimana Sayyidina Umar menghargai pengorbanan yang dilakukan oleh istrinya dan menahan amarahnya di saat istrinya sedang marah. Ia menyadari bahwa ada tanggungjawab yang seharusnya dia lakukan tetapi dilakukan oleh istrinya. Begitulah, hubungan suami istri yang ideal. Jika yang satu sedang sibuk maka yang lain ikut membantu.

Jika kita sedang kecewa dengan pasangan kita, maka cobalah kita mengingat segala pengorbanan yang sudah dilakukan selama ini. Pengorbanan yang betul-betul tulus dan dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Jangan sampai, hubungan yang sudah lama terjalin rusak hanya karena emosi sesaat.

Ada nasihat yang sangat bagus dari Gusmus tentang bagaimana agar pasangan suami istri bisa saling pengertian dan menghormati. Yakni, laki-laki dan perempuan seharusnya sama-sama berpegang pada pedoman yang pas dan cocok. Semisal, perempuan memegangi hadis atau ayat yang menjelaskan tentang keutamaan ketaatan seorang perempuan kepada laki-laki sehingga ia maksimal dalam taat dan khidmah kepada suami. Sedangkan laki-laki berpegang pada hadis, Mâ akraman nisâ illâ karîm wamâ ahânahunna illâ laîmun, (Hanya laki-laki mulialah yang memuliakan perempuan sedangkan yang merendahkan perempuan adalah laki-laki rendahan). Begitulah, nasehat Gusmus agar kedua pasangan bisa saling menghormati dan menghargai peran masing-masing. Semoga kita dianugerahi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, amin!

Komentar