Islamsantun.org. Sudah mafhum, menjelang pergantian tahun ada satu momentum yang diperingati oleh umat Kristiani seluruh dunia, yaitu kelahiran Sang Juruselamat, Yesus Kristus. Permasalahannya tidak selesai disitu, kita pun berdebat soal kebolehan mengucapkan selamat Natal hingga persoalan memakai kostum Natal bagi umat Islam.
Entah apakah memang kualitas pengetahuan kita tidak bertambah, setiap tahun perdebatannya tak pernah beranjak. Kita selalu fokus pada boleh atau tidak, seolah kehidupan hanya berputar pada hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Padahal Tuhan pun memberikan jalan yang beragam kepada manusia.
Untuk dapat memahami esensi Natal, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bagaimana umat Kristiani memandang Yesus. Dalam iman Kristiani, Yesus adalah 100% Ilahi dan 100% manusia. Mungkin agak sulit memahaminya dalam perspektif iman Islam. Sebab posisi Yesus dalam Islam sama saja dengan Nabi dan Rasul lainnya, tentu dengan mukjizat atau keistimewaan khusus pula.
Secara sederhana, umat Kristiani memahami bahwa logos atau firman Tuhan telah nuzul menjadi tubuh manusia yang terpatri dalam pribadi Yesus. Hal ini mirip meskipun tak sama persis dengan peristiwa nuzul al-Quran, turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad. Keperawanan Maria ketika melahirkan Isa serupa dengan ketidakmampuan Muhammad untuk membaca dan menulis ketika menerima firman Al-Quran, sehingga keduanya menggambarkan kuasa Ilahi yang berperan di dalamnya, bukan campur tangan manusia.
Sampai di sini kita dapat memahami bahwa memang ada perbedaan konsep dalam melihat pribadi Yesus antara umat Kristiani dan umat Islam. Hal ini juga yang menyebabkan sebagian ulama mengharamkan ucapan Natal.
Namun perlu diingat, meskipun dalam banyak hal kita berbeda –Al-Quran pun sering memberikan “kritik” pada agama sebelumnya—, dalam konteks kelahiran Isa Al-Masih, baik Al-Quran apalagi Alkitab merekam kisahnya dengan apik. Bahkan Al-Quran pun merekam ucapan “Natal” yang sangat islami dalam Surat Maryam ayat 33 berikut:
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَيَّ يَوۡمَ وُلِدتُّ وَيَوۡمَ أَمُوتُ وَيَوۡمَ أُبۡعَثُ حَيّٗا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.
Sebagian ulama kemudian menegaskan kebolehan mengucapkan selamat Natal berdasarkan ayat tersebut. ‘Ala kulli hal, perdebatan seputar boleh atau tidak memang banyak menguras tenaga. Ulama memang berbeda pendapat, maka tak perlu diseragamkan. Kita cukup mengikuti pendapat mana yang dianggap lebih menentramkan jiwa.
Lantas apa makna kelahiran Almasih ini bagi umat manusia? Ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh Jalaluddin Rumi dan dikutip oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya “Akulah Angin, Engkaulah Api” sebagai berikut:
“Tubuh itu seperti Maryam, masing-masing kita punya satu Isa. Namun, selama tidak ada kepedihan berarti Isa kita tidak lahir. Jika kepedihan tak pernah datang, Isa kita kembali ke tempat asalnya di jalan rahasia, dan kita tertinggal di belakang, dalam keadaan kehilangan dan tidak memiliki apa pun darinya”.
Senada dengan ungkapan Rumi, Meister Eckhart filsuf sekaligus “sufi” Katolik dari Jerman mengatakan: “makhluk spiritual akan lahir dalam jiwa manusia, asal saja kita sudi memikul beban kepedihan yang ditimbulkan oleh Cinta Ilahi”.
Mari kita belajar dari sosok Maria, bagaimana ia meminggul kepedihan hidup hingga dia mampu menerima amanah melahirkan sosok agung. Dalam Al-Quran, tatkalah Maria masih dalam kandungan, ibundanya telah bernazar untuk memberikan anaknya ini totalitas melayani dan mengabdi kepada Tuhan.
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Ali Imran: 35)
Perlu dipahami bahwa konteks saat itu, orang-orang yang melayani di rumah Tuhan adalah kaum lelaki karena budaya patriarki yang masih kuat. Sehingga sebenarnya ketika istri Imran berdoa demikian, ada pesan yang tersirat semoga kelak anaknya adalah lelaki. Namun, Allah punya jalan lain untuk memuliakan hamba-Nya.
فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ إِنِّي وَضَعۡتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰۖ وَإِنِّي سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَإِنِّيٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk” (QS. Ali Imran: 36)
Karena ibunda Maryam telah bernazar, maka Maryam pun tetap diberikan untuk totalitas mengurus rumah Allah. Jika kita lihat di sini, sejak dalam kandungan hingga dilahirkan, Maryam sudah mengalami ujian. Puncaknya adalah ketika mengandung sosok yang mulia ini.
Bayangkan saja, Maryam adalah wanita yang suci pelayan Tuhan, tetapi mengandung tanpa ada proses biologis sebelumnya, tentu hal ini akan menjadi omongan di tengah masyarakat. Maryam pun sadar dan sempat bertanya kepada malaikat Jibril ketika diberikan informasi akan mengandung bayi. Secara manusiawi, perempuan mana yang tidak terkejut akan mengandung tanpa ada pria yang menyentuhnya. Namun, bagi Allah itu adalah hal yang mudah. Di sini terlihat jelas perjuangan yang dilakukan oleh Maryam untuk mengandung dan menjaga janinnya hingga lahir.
Tatkala akan melahirkan, kepedihan yang luar biasa kembali dialami Maryam. Bahkan diabadikan perkataannya dalam Surat Maryam ayat 23:
فَأَجَآءَهَا ٱلۡمَخَاضُ إِلَىٰ جِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ قَالَتۡ يَٰلَيۡتَنِي مِتُّ قَبۡلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسۡيٗا مَّنسِيّٗا
Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”.
Kesakitan demi kesakitan yang dialami Maryam, kesulitan dan kesendirian yang dilalui dari lahir hingga Maryam mengandung, membuatnya menjadi wanita layak dan tepat untuk melahirkan Almasih ibn Maryam. Di sinilah makna dari ungkapan Rumi dapat kita pahami kembali. Masing-masing dari kita mempunyai satu Isa. Namun tanpa kepedihan, kesakitan, kesungguhan, Isa itu tidak akan lahir. Kata “Isa” di sini dapat dipahami sebagai tajalli atau manifestasi sifat-sifat keilahian.
Sebab manusia diciptakan memang serupa dengan citra Ketuhanan atau dalam bahasa Al-Quran, manusia diciptakan sesuai dengan fitrah keilahian. Nah, untuk menemukan fitrah tersebut, kita harus melewati fase kesulitan, kedukaan yang membuat kehadiran Tuhan semakin nyata dalam kehidupan.
Hal inilah yang sulit dirasakan oleh manusia modern yang kian jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Di tengah gempuran teknologi yang kian cepat, semua orang bisa menjadi terkenal. Popularitas di dunia maya ini membuat kita semakin jauh dari citra Tuhan. Sebab yang ditampilkan dari dunia maya adalah citra kepalsuan.
Oleh karena itu, jalan yang dapat ditempuh untuk melahirkan “Isa” dalam tubuh kita adalah dengan memilih jalan sepi, jauh dari keramaian dan kebisingan. Sebagaimana Maryam yang menjauh dari hiruk-pikuk masyarakat tatkala mengandung Almasih, kita pun harus mengontrol diri untuk tidak mengikuti arus trend yang ada. Kian terpersok mengikuti arus, makin jauh kita dari jalan pengabdian yang tulus.
Karenanya PR kita saat ini bukan lagi berdebat soal boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal, tetapi menemukan “Isa” yang terpatri dalam jiwa kita masing-masing. Di penghujung tahun 2021 ini, boleh jadi ada kepedihan yang dilalui, mari kita refleksikan duka dan nestapa yang ada, untuk melahirkan “Isa” di masa mendatang dengan penuh suka cita.
Akhirnya, kepada umat Kristiani, selamat merayakan Natal. Semoga Natal kali ini dapat menjadi momentum bagi kita untuk melahirkan Isa dalam jiwa kita. Puncaknya adalah tatkala kita bisa melihat orang lain sebagaimana Almasih, yaitu memandang dengan kasih.