Dalam banyak hal, mau apapun itu, memang benar bahwa yang hilang dari peradaban kita sekarang ini adalah di sisi kepekaan ruhani. Kita seperti benar-benar telah kehilangan ukuran keindahan secara ruhaniah, baik dalam melihat maupun menilai sesuatu. Implikasi sosialnya secara luas akan berdampak sangat negatif, ujung-ujungnya kita menjadi kehilangan orientasi sikap yang adil dan kebijaksanaan dalam berperilaku. Kita telah kehilangan koordinat nilai skala prioritas hidup, sehingga dalam banyak kasus pula kita mengalami hal yang sedemikian rancu dan bobroknya. Terutama soal akhlak atau perilaku kemanusiaan.
Entah, mau sampai kapan kita akan betah dengan keadaan semacam ini. Kiranya, memang banyak teori mengatakan bahwa mutu kesadaran akan benar-benar tumbuh dan sama sekali hidup kalau kita telah mengalami puncak kehancuran sedemikian rupanya. Tetapi, untuk mengetahui kesejatian-kesejatian dari sesuatu, sebenarnya juga tidak perlu untuk menunggu datangnya kehancuran terlebih dahulu. Mulai dari sekarang, pintu sudah terbuka begitu lebar dan luasnya untuk kita masuki, kemudian kita cari dan ketahui kesejatian makna sesuatu apa pun saja dalam hidup.
Toh, kita ini sebenarnya sudah demikian hancur dan bobroknya. Tetapi karena kita telah mengalami defisit besar-besaran di wilayah kepekaan ruhaniah dalam diri kita sendiri, sehingga membuat batin kita menjadi amat tumpul. Jangkauan pencapaian kita saat ini sama sekali tidak mampu menjangkau terhadap hal-hal nilai yang berbau ruhaniah. Maka, kita juga tidak bisa sampai memahami kehancuran yang sedang terjadi dan menimpa kita sekarang ini. Justru, kita sangat menikmatinya dan pola perilaku utama yang kita tampilkan sama sekali tampak hendak menyongsong puncak dari kehancuran itu sendiri.
Ya, semoga saja, semesta kehidupan (baca: Tuhan) masih tetap berbesar dan berlapang hati kepada kita-kita yang amat kerdil dan dungu ini, sehingga wabal tidak benar-benar terjadi atau tidak jadi ditimpakan ke atas ubun-ubun kepala kita-kita ini, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan. Tinggal semuanya kembali pada diri kita masing-masing, mau berlaku dan mengarahkan diri kita sendiri ke arah yang bagaimana dan seperti apa. Hingga kelak, tibalah akan terdengar shohidatan wahidatan yang begitu memekakkan telinga, di mana pada saat itu keseluruhan dari kita-kita ini akan berkumpul di titik simpul dari ujung kehidupan itu sendiri.
Eksistensi dan Esensi
Defisit yang muncul di wilayah kepekaan batiniah inilah yang akhirnya membuat problem-problem defisit pada wilayah-wilayah lain juga semakin ikut bermunculan. Kita benar-benar kehilangan sisi keindahan ruhaniah dalam banyak hal—bahkan, kita sudah kita tidak lagi tahu apa yang dimaksud kepekaan ruhaniah.
Kita terlalu menyibukkan diri dan amat mementingkan hal-hal materiil wadag yang sebenarnya tingkat keindahannya amat superfisial—tidak utuh dan tidak abadi. Dari soal nomor lagu hingga konsumsi budaya bahkan sampai konsumsi kebutuhan kita sekalipun sama sekali hanya menomorsatukan keindahan yang sifatnya parsial-artifisial.
Sekarang ini, banyak nomor-nomor lagu yang dibuat hanya berorientasi pada kenikmatan suara lahiriahnya saja, sehingga secara muatan makna liriknya sama sekali kosong—sangat kering dan tandus. Alih-alih sampai menenangkan hati, posisinya tak lebih sama halnya dengan nikmat isapan jempol. Maka, akhirnya, banyak nomor-nomor lagu yang akhirnya tiba-tiba layu dan mati begitu saja.
Itu baru soal nomor-nomor lagu. Dan, apa yang dialami pada nomor-nomor lagu kebanyakan semacam itu merupakan replika atau representasi kemerosotan nilai tentang apa-apa yang banyak terjadi dan sedang dialami nomor-nomor produksi maupun konsumsi di wilayah-wilayah lain.
Memang, untuk sampai bisa dipetakan secara detail-rincinya mengenai hal-hal tersebut—mungkin—sangat sukar untuk diketahui hulu permasalahan apa yang akhirnya membuat air-air kemerosotan menghilir sedemikian keruhnya. Limbah-limbah yang menjadi barang buangan atas pencapaian kemajuan teknologi dan keunggulan pengetahuan kita secara meteriil-fisik agaknya memang telah mencemari kejernihan air yang berada di dalam ruhani diri kita.
Sehingga, pada akhirnya baik jiwa, ruhani dan sisi batiniah kita menjadi keruh dan sedemikian busuk baunya. Bahkan, tidak sampai di situ saja. Kekeruhan tersebut akhirnya juga mengalir dan menempati ruang-ruang atau celah-celah kosong di setiap sel-sel syaraf yang ada di dalam tubuh dan di setiap sendi-sendi kesadaran kita. Maka, sudah tidak bisa dipungkiri bahwa output yang keluar sebagai perilaku, sikap maupun akhlak juga akan sangat keruh dan demikian busuk nilainya.
Sebab, seperti halnya input yang dimasukkan ke dalam operating system pada komputer itu sangat memengaruhi output apa yang akan keluar nantinya. Jadi, kalau dari awal input-nya sudah busuk nilainya, maka output nilainya tidak akan jauh berbeda. Begitu juga sebaliknya.
Kita ini memang sudah terlanjur mengedepankan kecenderungan untuk hanya menampakkan sisi eksistensi dalam seluruh cita-cita kehidupan kita—tanpa reserve sama sekali. Eksistensi kita mengalami surplus sedemikian rupa yang justru berakibat defisit bahkan hilangnya sisi esensi dari apa-apa yang menjadi impian kita untuk bisa eksis selama ini. Bahkan, tanpa sadar, kita sudah kehilangan pengetahuan atas esensi dari kehidupan dan manusia itu sendiri.
Memang tidak ada yang salah dan tidak buruk juga, apabila kita berjibaku sedemikian rupa untuk memunculkan eksistensi kita sebagai manusia—atau sebagai apa saja dengan tujuan apa pun itu. Tetapi, rule of game dari seluruh hal apa-apa yang hendak kita capai di dunia ini ialah sebagai ajang fastabiqul khairat dengan tujuan li-ta’arafu satu sama lain.
Oleh karena itu, kita ini seharusnya benar-benar memberangkat diri untuk tujuan yang hendak kita capai dengan berpijak pada prinsip nilai dari esensi keseluruhan yang kita agung-agungkan sebagai eksistensi tersebut. Maka, kita jangan sampai tidak paham esensi dari sesuatu yang hendak kita capai nantinya. Dasar pijakan serta pegangan nilai kita harus benar-benar mendasar dan jelas supaya kita tidak gampang tertipu oleh tampakkan yang sebenarnya semu dari sesuatu yang dinamakan: eksistensi diri.
Bahkan, kalau mau dikejar lebih jauh dan lebih dalam, manusia itu sama sekali tak memiliki muatan eksistensi atas dirinya sendiri—kalau dilihat dari kacamata hakikat. Manusia juga sebenarnya sama sekali tak punya hak atas dirinya sendiri. Atas dasar apa manusia demikian GR-nya untuk menunjukkan eksistensi dirinya? Wong manusia tidak bisa menciptakan dirinya sendiri.
Dan, dalam banyak manusia itu merupakan makhluk lemah yang selemah-lemahnya makhluk. Maka, kalau dalam wacana tasawuf puncak eksistensi sejati dari makhluk berjuluk manusia adalah ketika ia telah “meniadakan dirinya secara penuh”. Manusia hanya “ada” ketika Tuhan meng-“ada”-kan wujudnya. Maka, posisinya hanya sebatas di-“ada”-kan, tidak benar-benar “ada”. Jadi, seharusnya manusia harus bisa kembali menyatu sedemikian rupa dengan pihak yang menciptakan dirinya tersebut. Itulah yang dinamakan tauhid.
Terakhir, sebenarnya wujud secara jasadiah merupakan tampakkan paling “konyol” dari sesuatu yang dinamakan: ruh. Sehingga, tampakkan wajah dan kecantikan itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Tampakkan wajah itu wujud jasad, sedangkan kecantikan itu ruhnya. Maka, apabila kita hanya mampu dan begitu mengutamakan kecantikan hanya pada soal wujudnya wajah saja. Sama halnya, berarti kita sedang menggali sumber penderitaan kita sendiri di masa depan.
Jadi, ketika kita ini telah benar-benar kehilangan kepekaan ruhani, yang terjadi ialah: kita menjadi gampang tertipu dan akan banyak mengalami kekecewaan-kekecewaan.