Beberapa minggu yang lalu, saya sedang melakukan perjalanan ke kota Kudus, Jawa Tengah untuk menjalankan sebuah pekerjaan. Tiap kali melintas ke kota Kretek itu saya menyempatkan diri sowan sekaligus bertawassul ke makam Sunan Kudus. Sehabis berziarah, saya iseng-iseng mampir ke toko kitab yang lokasinya tidak jauh dari area Menara. Tujuan awalnya hanya ingin melihat-lihat saja barangkali ada sesuatu yang bisa dijadikan buah tangan untuk saya bawa ke Solo. Benar saja, saya dipertemukan dengan kitab kecil nan tipis yang berwarna hijau. Kitab tersebut adalah Syiir Ngudi Susilo karangan Kyai H. Bisri Mustofa. Tak perlu berpikir panjang, saya memutuskan membeli kitab tersebut bersama kitab-kitab tipis lainnya seperti Syi’ir Sekar Kedaton, Sekar Melati dan Syi’ir Cempoko.
Kitab Syi’ir Ngudi Susilo ini seketika membawa memori masa lalu saya pada 23 tahun lalu. Memori itu mengingatkan saya saat duduk di bangku kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah di kampung kelahiran saya di Demak, Jawa Tengah. Ingatan yang melekat dalam benak saya adalah setiap hari senin, kami para murid diwajibkan untuk menghafal dua bait dari kitab karangan Mbah Bisri yang fenomenal itu. Jika tidak hafal, maka bersiaplah mendapatkan punishment dari guru pengampu untuk berdiri di depan papan tulis sampai guru tersebut selesai menuliskan bait selanjutnya di papan tulis. Metode pengajaran tersebut berdampak sampai sekarang ini, beberapa syair masih teringat meski tidak secara keseluruhan.
Setibanya di Solo, saya kembali membaca ulang kitab tersebut. Secara umum Syi’ir Ngudi Susilo mengajarkan dan menanamkan pendidikan karakter kepada anak untuk birrul walidain (patuh kepada orang tua). Syi’ir ini terbilang kitab yang sangat tipis, pasalnya hanya berukuran 10 x 14,8 cm dengan ketebalan naskah 16 halaman yang terbit pada Rembang, Jumadil Akhir 1373 Hijriyah. Rembang, Maret 1951 M. Syi’ir yang dikemas dengan penulisan pegon ini berisi 84 bait yang terbagi kedalam 9 bab. Bab pertama berisi Mukadimah, kemudian disusul bab Ambagi Wektu, Ing Pamulangan, Mulih Saking Pamulangan, Ono Ing Ngomah, Karo Guru, Ono Tamu, Sikap Lan Lagak, dan tutup dengan bab Cita-cita Luhur. Karakteristik kitab demikian, jika dibaca oleh orang dewasa, kitab ini akan selesai kurang dari 10 menit. Akan tetapi, jika mau diresapi dan dianalisis, kitab ini memiliki nilai-nilai yang luhur sebagai seruan moral dan pendidikan karakter kepada anak.
Nilai-nilai Kecerdasan Moral
Jujur saya harus membaca berulang-ulang Syi’ir ini. Tujuannya untuk meresapi dan memahami tiap bait-baitnya. Pertama saya berhenti pada bait ke 7-8 yang berbunyi “Bocah iku wiwit umur pitung tahun # Kudu ajar thatha keben ora getun”. Bait ini kemudian mengingat saya pada teori perkembangan kognitif milik Jean Piaget, bahwasannya anak 7-11 tahun masuk dalam perkembangan concrete operational, dimana anak dalam rentang usia tersebut akan mengembangkan kemampuan mempertahankan ingatan terhadap substansi. Disisi lain, intelektual anak sudah mampu memecahkan masalah nyata dan mengerti hukum serta mampu membedakan baik-buruk. Saya menginterpretasikan bahwa Mbah Bisri menekankan pentingnya budi pekerti, karena pada umumnya di sekolah-sekolah Madrasah (informal) anak usia 7 tahun mulai menampakan kakinya di kelas belajar.
Mbah Bisri secara tersirat dalam syi’irnya mengajak serua-seruan moralitas dan pendidikan budi pekerti, dalam hal ini merepresentasikan pada makna Akhlak. Akhlak menjadi pendidikan jiwa agar perilaku dihiasi oleh sifat terpuji sehingga terhindar dari sifat-sifat yang tercela. Bentuk-bentuk konkret yang diajarkan oleh Mbah Bisri diantaranya “Kudu tresna maring ibune kang ngrumati # Kawit cilik marang bapa kang gemati. Ibu bapa rewangana lamon repot # Aja kaya wong gemagus ingkang wangkot. Lamon ibu bapa prentah enggal tandang # Aja bantah aja senggol aja mampang Andap asor ing wong tua najan liya # Tetepana aja kaya raja kaya”.
Penekanan kepatuhan terhadap orang itu tersebut gambaran dari lingkungan terdekat anak. Tingkat dasar sosialisasi anak berada di lingkungan keluarga, sehingga perilaku yang tumbuh dimulai dari lingkungan dasar. Oleh sebab itu, Mbah Bisri dalam mukhadimahnya menjelaskan hubungan anak dengan orang tua terlebih dahulu untuk membentuk pribadi yang birrul walidain baru ke tahap lingkungan lebih luas.
Seruan moral ini saya maknai sebagai bentuk kecerdasan moral, di mana kecerdasan moral merupakan suatu kecerdasan yang membutuhkan perasaan yang empati, sukarela, toleransi dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Indikator-indikator tersebut tertulis dalam Syi’ir Ngudi Susilo, seperti perasaan empati terhadap orang tua, guru, saudara dan teman sebaya.
Perkembangan kecerdasan moral anak sangatlah penting pasalnya akan berkaitan dengan perkembangan aspek kognitifnya dan akan berkembang seiring dengan tahapan usianya sesuai dengan pola perkembangan moral anak. Untuk itu, Mbah Bisri membangun pondasi lewat Syi’ir Ngudi Susilo ini agar anak tumbuh sebagai insan yang bermoral yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pentingnya kecerdasan moral juga diungkapkan oleh Masganti (2010) bahwa perkembangan kognitif pada anak usia dini berpengaruh terhadap kemampuan anak untuk membedakan perilaku benar dan salah berdasarkan aturan. Adanya keterkaitan antara perkembangan kognitif dan perkembangan moral telah diakui oleh ahli yaitu Piaget dan Kohlberg, yang memiliki pandangan bahwa remaja menerapkan aspek kognitif-moral pada dilema moral.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Syair tersebut ingin menumbuhkan kecerdasan moral yang dimiliki oleh anak akan membantu anak untuk menilai hal yang benar dan salah dan berperilaku sesuai aturan agama dan budaya.
Nilai-nilai Kecerdasan Emosional
Tidak hanya melatih kecerdasan moral, Syi’ir Ngudi Susilo juga terkandung nilai-nilai kecerdasan moral. Pesan-pesan yang ditulis oleh Mbah Bisri ini mengajak anak-anak untuk mulai melatih kemampuan yang dimiliki untuk menyadari, mengolah, mengatur dan mengontrol emosi yang terjadi di dalam dirinya untuk mencapai kebahagiaan dirinya dan dapat mengatasi segala macam permasalahan yang terjadi selama tahap perkembangannya menuju kedewasaan. Misalnya yang terkandung dalam bab Ing Pamulangan, “Disangoni akeh sithik kudu trima # Supaya ing tembe dadi wong utama” anak diajak untuk menerima dengan ikhlas ketika diberi uang saku yang sedikit orang tua. Kemudian masih di bab yang sama dengan bait, “Ana kelas aja ngantuk aja guyon # Wayah ngaso kena aja nemen guyon. Karo kanca aja bengis aja judes # Mundak diwadani kanca ora waras. Bait ini mengajarkan anak untuk memperhatikan ketika pelajaran berlangsung dan mengajarkan untuk ramah dengan temannya di sekolah.
Nilai-nilai kecerdasaan emosional dalam Syi’ir ini setidaknya mempunyai tiga macam yaitu, pertama kecerdasan intrapersonal yang artinya kemampuan dalam menyadari diri sendiri pada saat merasakan emosi dan mampu mengungkapkan perasaan serta gagasan. Seperti yang terkandung dalam bab Ambagi Wektu dan bab Sikap Lan Lagak. Kedua kecerdasan emosional interpersonal yang artinya mampu menyadari dan memahami perasaan orang lain sehingga memiliki kepedulian yang sangat besar dan menjalani hubungan lebih akrab. Seperti yang terkandung dalam bab Ono Ing Ngomah, Karo Guru, Ono Tamu, Ketiga kecerdasan emosional memotivasi dan suasana hati yang artinya mampu selalu bersikap optimis sehingga akan selalu merasakan kebahagiaan. Seperti yang terkandung dalam bab Cita –Cita Luhur.
Mengajarkan Kemandirian Anak
Jika dicermati lebih dalam, selain pesan moral, syi’ir tersebut juga mengajarkan kemandirian, manajemen waktu, dan kedisiplinan sejak dini kepada anak. Hal tersebut termaktub dalam bab Ambagi waktu. Anak di usia 7 tahun mulai diajarkan untuk mengingat waktu agar tidak terlarut saat bermain, menunaikan ibadah sholat tanpa diperintah. Mbah Bisri menuliskan rentetan waktu sebagai upaya kemandirian dan kedisiplinan seperti “Kenthong subuh enggal tangi nuli adus # Wudhu nuli shalat khusyuk ingkang bagus. Rampung shalat tandang gawe apa bae # Kang prayoga kaya nyaponi umah”. Perumpamaan tugas yang diberikan oleh Mbah Bisri selain sebagai upaya kemandirian dan kedisiplinan, ada nilai lain yang terkandung yaitu dapat melatih motorik kasar anak. Dimana terdapat aktivitas fisik yang dikerjakan di pagi hari dapat melatih motorik dan membantu meningkatkan kemampuan mengelola, mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan tubuh dan cara hidup sehat, sehingga dapat menunjang pertumbuhan jasmani yang sehat, kuat dan terampil
Ajaran kemandirian dan kedisiplinan sangat ditekankan dalam Syi’ir tersebut. Seperti yang terkandung dalam bab Ing Pamulangan dan Mulih Saking Pamulangan. Sebagai anak yang sudah mulai masuk dalam dunia pendidikan, Mbah Bisri menyerukan agar saat berada di kelas untuk benar-benar memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh guru dan menghimbau ketika selesai pelajaran agar segera pulang serta tidak lupa untuk berganti pakaian untuk belajar rajin dan disiplin.
Selain ajaran kepatuhan terhadap orang tua, kedisiplinan dan kemandirian, mengutip penelitian dari Syaiful Fatoni (2015), secara komprehensif Syi’ir Ngudi Susilo ini mengajarkan Sopan santun, baik sopan santun di lingkungan rumah, di sekolah maupun dengan teman sebaya. Kemudian mengajarkan kesabaran, hal tersebut tertuang dalam bab Ana Tamu, anjuran maupun perintah kepada seorang anak untuk bisa bertata krama dengan baik ketika ada tamu yang datang ke rumah. Terdapat juga nila Qana’ah, dimana anak diajarkan untuk menerima sedikit atau banyak pemberian orang tua (bab Ing Pamulangan).
Seruan Nasionalisme
Hal menarik lain dari Syi’ir ini adalah adanya penanaman nasionalisme, tidak hanya seruan agama, Mbah Bisri juga menampilkan tokoh-tokoh bangsa sebagai suri tauladan bagi anak-anak. Seperti yang terkandung dalam bab Sikap Lan Lagak dan bab Cita-cita Luhur. Mbah Bisri memberikan contoh bahwa terdapat banyak orang yang berilmu akan tetapi tidak baik dalam tingkah laku (budi pekerti). Kemudian mencontohkan sikap kebangsaan dari Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol sebagai presedennya dalam menghargai budaya dan mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi dalam mewujudkan kemerdekaan. Kemudian pada bab akhir Cita-cita Luhur, terdapat seruan agar menjadi pribadi yang berilmu dan beragama agar mampu memimpin dari level keluarga hingga negara. Untuk itu dibutuhkan cita-cita yang luhur karena kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.
Melalui perenungan ini, Syi’ir Ngudi Susilo memiliki banyak nilai-nilai luhur jika mau dieksplorasi. Sayangnya, harus kita akui bahwa budaya yang diajarkan dalam dunia pendidikan itu hanya sebatas menghafal saja. Jika dalam metode pengajarannya disertai eksplorasi atau pengajaran secara kontekstual, syi’ir ini menjadi bahan ajar yang relevan di tengah menurunnya moralitas akibat modernisasi. Dan sayangnya lagi. Syi’ir ini hanya diajarkan di pendidikan nonformal seperti Madrasah sore dan di beberapa Pondok Pesantren saja. Kitab ini bisa diadaptasi untuk pendidikan formal pada umumnya yang secara khusus untuk anak sekolah dasar sebagai pendidikan karakter sekaligus muatan lokal agar anak-anak kembali mengkaji bahasa jawa meski dikemas pegon. Setidaknya anak-anak sekarang mengenali dan memperbanyak diksi-diksi bahasa jawa yang sekarang ini mulai luntur.