Pada tahun 2016, saya menulis artikel pendek di Geotimes tentang aspek politik narasi pengorbanan Isma’il. Artikel itu berjudul “Politik Arab dalam Pengorbanan Isma’il.” Saya melacaknya pada tafsir-tafsir awal. Misalnya, tafsir Muqatil, kemudian disusul Tabari. Kesimpulannya: tafsir awal condong menunjuk Ishaq, bukan Isma’il.
Sekarang, persoalan ini sudah menjadi pengetahuan umum. Minimal, di kalangan penulis medsos. Menjelang lebaran Idul Adha kemarin, saya lihat banyak status Fb membicarakan soal itu. Senang melihatnya. Saya tidak mengatakan saya orang pertama yang memperkenalkan diskursus tersebut kepada pembaca di Indonesia. Itu tidak penting bagi saya. Dan bukan untuk tujuan itu saya tulis status ini.
Yang menjadi tujuan saya ialah bagaimana tafsir menjadi arena pertarungan ideologis. Aspek politik dalam tafsir tak terhindarkan.
Banyak orang mengira bahwa tafsir merupakan upaya memahami makna dan maksud kalam Ilahi. Al-Quran merupakan wahyu dari Allah. Kitab hidayah. Sumber keimanan, hukum, dan etika. Dan tugas mufasir ialah menyingkap kehendak Allah melalui Kitab Suci ini.
Tujuannya? Ya, agar kaum Muslim hidup sesuai ajaran al-Qur’an. Dalam bahasa Sayyid Qutb, hidup di bawah naungan al-Qur’an atau “fi dhilalil Qur’an”. Karenanya tidak heran jika dalam pendahuluan kitab tafsir kerap disebutkan betapa mulianya kerja-kerja menafsirkan al-Qur’an.
Dalam artikel lain yang saya lupa judulnya, saya mencoba memperlihatkan kompleksitas kerja tafsir. Bukan cuma menyingkap makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Seringkali para mufasir membawa makna ke dalam teks. Dalam istilah Dr. Sukidi, makna al-Qur’an diciptakan atau diproduksi oleh mufasir.
Jadi, jika seorang mufasir berpaham konservatif atau eksklusivis, maka demikian juga bunyi tafsirnya atas ayat-ayat al-Qur’an. Jika anda bertanya makna ayat-ayat tertentu kepada Zakir Naik atau orang-orang ISIS, misalnya, maka ayat paling inklusif sekalipun akan dimaknai eksklusif.
Demikian juga sebaliknya. Orang-orang berpaham inklusivis atau pluralis akan mencari strategi penafsiran agar ayat-ayat eksklusif bisa bermakna sesuai dengan paham yang dianutnya. Mufasir berpaham Asy’ari atau Mu’tazili atau Syi’i dan seterusnya akan cenderung menafsirkan al-Qur’an sejalan dengan paham teologisnya.
Dalam batas yang besar, tafsir itu bersifat ideologis. Penafsiran atau pemaknaan teks-teks al-Qur’an kerap diarahkan untuk mendukung paham yang dianut penafsirnya. Jadi, tafsir tidak sesederhana pandangan umum: Menyingkap makna yang dikehendaki Allah. Justeru aspek ideologis lebih dominan dalam kerja-kerja tafsir.
Poin inilah yang didiskusikan oleh penulis Arab Saudi bernama Yasir bin Mathir al-Muthrafi dalam bukunya al-‘Aqa’idiyyah wa tafsir al-nash al-Qur’ani (2016). Mungkin bisa diterjemahkan “aspek aqidah dan penafsiran teks al-Qur’an.”
Menurut kitab setebal 700 halaman ini, seiring dengan muncul dan berkembangnya sekte-sekte Islam, seperti Khawarij, Mu’tazilah, ahlul hadits, berbagai kelompok dalam Syi’ah dan Sunni, keragaman tafsir al-Qur’an juga mengalami akselerasi.
Kitab ini dilengkapi dengan contoh-contoh detail bagaimana mufasir dengan latar belakang Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah Isma’iliyah, Imamiyah, Ibadhiyah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan paham teologisnya. Kelebihan buku ini ada pada contoh-contoh yang didiskusikannya.
Memang, Yasir bin Mathir, penulis Arab Saudi itu, bersikap selekstif. Maksudnya, dia mengidentifikasi ayat-ayat tertentu yang ditafsirkan demikian oleh, misalnya, mufasir Isma’ili. Sementara mufasir Asy’ari menafsirkan lain sesuai paham Asy’ariyah.
Yang juga menarik dari kitab ini ialah contoh-contoh di mana para mufasir menggunakan ayat-ayat tertentu untuk menolak bahkan menyerang paham teologi yang berseberangan. Misalnya, tafsir Tsa’labi yang beraliran Asy’riyah menafsirkan Q 3:8 dengan mengatakan “Dalam ayat ini ada penolakan terhadap paham Qadariyah.”
Sebenarnya kecenderungan ideologisasi tafsir tersebut diakui oleh para ulama terdahulu. Dalam bab pendahuluannya, Yasir bin Mathir mengutip pernyataan ulama-ulama. Misalnya, Abu al-Manshur al-Maturidi disebutkan mengatakan begini: “Setiap mazhab dalam Islam menuduh lawan-lawannya dengan menggunakan ayat-ayat tertentu.”
Ideologisasi penafsiran teks al-Qur’an terutama sangat kental di kalangan mutakallimun (mereka yang bergelut dengan ilmu kalam). Begini kata Ibn Qutaybah (dikutip dari halaman 69 buku Yasir):
“Sebenarnya para mutakallimun mengembangkan berbagai pandangan berdasar penalaran akal mereka, kemudian setelah itu mereka mencari ayat-ayat (pendukung) dalam al-Qur’an. Jika ternyata mereka mendapatkan ayat-ayat yang justeru bertentangan dengan pandangan mereka, maka ayat-ayat tersebut ditakwilkan sedemikian rupa.”
Supaya status ini tidak terlalu panjang, saya akan mengakhiri begini: Buku Yasir ini sangat kaya dengan contoh, namun miskin secara teoretis. Tak ada diskusi metodologis yang memadai. Dari berbagai contoh yang teridentifikasi, Yasir tak mampu membangun sebuah teori bagaimana memahami contoh-contoh tersebut. Bahasa orang Madura: How should we make sense of it?
Bagi mereka yang berminat diskusi teoretis tentang ideologisasi (bahkan juga politisasi) tafsir, saya sarankan baca tulisan Norman Calder yang cukup berpengaruh, berjudul “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the descriptions of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham.” Ini tulisan lama. Terbit tahun 1993. Namun sangat penting dibaca.
Calder menyorot kenapa ada banyak tafsir tentang beragam episode kisah Ibrahim. Apakah semata karena teks-teks al-Qur’an memang terbuka untuk ditafsirkan berbeda? Setiap teks bersifat polivalen. Ataukah ada faktor-faktor eksternal yang menyebabkan sebuah teks dapat dimaknai berbeda?
Yang didiskusikan Calder secara sangat baik ialah “independent variables”, yakni variabel-variabel yang berada di luar teks. Di antara variables yang paling menonjol ialah aspek teologi atau aqidah. Seorang mufasir memahami ayat-ayat tertentu atau menolak tafsir orang lain bukan karena bertentangan dengan bunyi teks, melainkan karena bertentangan dengan aqidah yang diyakininya.
Kerangka teoretis yang dikembangkan Calder membantu saya memahami kitab Yasir al-Muthrafi secara lebih baik. Kerja tafsir tidak semata soal menyingkap makna dari “dalam” teks. Yang kerap terjadi ialah para mufasir memproduksi makna sesuai dengan orientasi teologi dan/atau politik yang dianutkan. Jadi, makna teks bukan berada di “dalam” teks, melainkan di “depan” teks.
Saya memang suka sekali dengan tulisan Calder itu, hingga bilang ke mahasiswa di Notre Dame: “Kalian jangan merasa tahu kerja penafsiran sebelum baca tulisan Calder.” Tidak terlalu panjang. Hanya 40 halaman.
Namun, pernyataan itu saya katakan ke mahasiswa saya di Notre Dame. Saya tak berani mengatakannya ke pembaca/mahasiswa Indonesia. Mereka lebih tahu dari Calder. Apalagi saya. Wong saya menyebut judul kitab saja, mereka sudah tahu isinya. Padahal, saya kira, mereka baru tahu judulnya dari saya.
 


 
 
 
 
