Mengapa Allah Swt Besumpah dengan (wa dhuhâ)? Apa hubungan psikologi Nabi Saw dengan sumpah tersebut?
Hidup bagai Putaran Siang dan Malam
Hidup ini bagai putaran siang dan malam, kadang terang kadang gelap. Jangan pernah Anda menyangka bahwa kalau malam tiba suasana menjadi gelap, itu pertanda dunia akan gelap selamanya. Tetaplah optimis, bahwa hidupmu tak selamanya gelap. Percayalah bahwa besok pagi sang mentari akan bersinar kembali menerangi hari-hari Anda. Itulah mengapa Allah Swt berfirman:
(وَالضُّحَى) (الضحى : 1 )
(وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى) (الضحى : 2 )
(مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى) (الضحى : 3 )
Demi waktu Dhuha,
Dan demi malam ketika telah gelap gulita,
Tuhanmu tidaklah meninggalkanmu, dan tidak membenci.
Waktu Dhuha adalah waktu dimana yang sangat cerah, di mana kehangatan dan sinar matahari sangat baik untuk kesehatan. Waktu Dhuha juga merupakan gambaran ketika seseorang sedang mengalami kegembiraan dan kesenangan. Ia tampak cerah, secerah mentari di waktu Dhuha. Itulah salah satu maksud (maqashid), dari Allah Swt bersumpah dengan waktu Dhuha.
Saat itu Nabi Saw baru saja menerima wahyu, setelah mengalami masa inqithâ’ al-wahy (keterputusan wahyu) cukup lama. Sehingga, saat itu orang-orang Musyrik Quraisy membully dan mencemooh Nabi Saw, dengan mengatakan, “Sekarang Malaikat tidak turun lagi kepada Muhammad. Tuhan Muhammad telah meninggalkannya”. Maka, Nabi Saw saat itu juga merasa galau, sedih dan menduga kalau dirinya telah ditinggalkan dan dibenci Tuhannya. Kondisi kegalauan dan kesedihan Nabi tersebut digambarkan seperti gelapnya malam. Maka, Allah Swt bersumpah, wal laili idza sajâ . Demi waktu malam, ketika gelap gulita.
Namun, tidak lama kemudian, turunlah wahyu yang memberi jawaban atas kondisi psikologis Nabi Saw yang sedang galau tersebut. Allah Swt berfirman, disampaikan oleh Malaikat Jibril, “Tuhanmu tidaklah meninggalkanmu, tidak pula membenci. Walhasil, penggunaan sumpah Allah dengan wa al-Dhuha dan wal Laili (waktu dhuha dan waktu malam), untuk mengingatkan tentang filosofi hidup, bahwa hidup itu ada gelap ada terang. Hidup itu tak selamanya sedih, tak selamanya senang. Ada duka, ada suka, itulah sunah kehidupan. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah cokro menggilingan (yakni ada perputaran, ada pergantian).
Masa Depan itu Lebih Baik Dari Masa Lalu
Kemudian Allah Swt melanjutkan firmanNya akan pentingnya looking forward (melihat ke depan). Sebab masa depan itu lebih baik, katimbang masa lalu. Ibarat Anda mengendarai mobil, Anda harus lebih banyak melihat ke depan, supaya mobil tetap melaju ke depan, bukan ke belakang.
Itu sebabnya, kaca depan mobil Anda lebih besar katimbang kaca sepion. Memang, sesekali Anda boleh melihat kebelakang melalui kaca sepion, jika diperlukan. Namun, Anda harus ingat perjalanan hidup ini terus berpacu dengan waktu. Jangan Anda terlalu BAPER (bawa perasaan), tenggelam larut dalam kesedihan masa lalu anda berlama-lama, hingga waktu Anda tidak produktif.
Allah Swt berfirman:
(وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى) (الضحى : 4 )
(وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى) (الضحى : 5 )
Dan sesungguhnya masa depan itu lebih baik katimbang masa lalu.
Dan sungguh Tuhanmu kelak akan memberimu, sehingga kamu ridha (puas)
Di dalam ayat tersebut, kata akhirah secara semantis berarti sesuatu yang akan datang, sedangkan kata dun-ya berarti sesuatu yang dekat, pendek, dan hina. Ini mengingatkan kita bahwa orang ke-donyan (mabuk duniawi ) berarti ia orang yang berpikir pendek. Orang yang nalarnya hanya mikirkan dunia, lalu lupa akhirat, berarti ia tidak cerdas menatap masa depan.
Kita harus mampu berpikir progresif (ke depan), karena masa depan itu lebih baik katimbang masa lalu yang kemarin. Bahkan kelak akan dijanjikan Allah Swt memperoleh prestasi-prestasi dan anugerah yang mengantar kepuasan. Itu pula yang dijanjikan Allah kepada Nabi Muhammad dalam ayat tersebut (Q.S. al-Dhuha:5) . Allah Swt memberi sesuatu yang membikin hati Nabi Muhammad ridha (puas).
Apa yang membuat hati Nabi Muhammad akan ridha (puas)? Dalam Tafsir Jami` al-Bayân karya Imam al-Thabari dan Mafâtih al-Ghaib, karya al-Râzi, disebutkan beberapa pendapat. Pertama, seribu istana di surga yang terbuat dari permata, tanahnya terbuat dari minyak misik, dengan segala kenikmatan di dalamnya. Kedua, bahwa tidak ada satupun dari ahli bait Nabi yang masuk neraka. Ketiga, kemenangan yang diperoleh Nabi, di waktu perang Badar, Keempat, syafaat Nabi Saw yang diberikan Allah kepadanya, untuk para ahli la ilaha illah (ahli tauhid). Apapun tafsirnya, kita bisa berkata bahwa siapa saja yang mampu memandang hidupnya, dengan sikap optimis, tidak patah semangat dan melihat ke depan untuk bangkit menggapai prestasi, niscaya Allah Swt akan memberi anugerah prestasi yang membuatnya puas.
Ingat Masa lalu Sesekali Juga Penting untuk Introspeksi
Seperti penulis katakan sebelumnya, bahwa sesekali kita perlu menengok ke belakang untuk mengingat masa lalu, sebagai bahan pelajaran dan interospeksi diri. Masa lalu adalah kenangan dan pelajaran, masa sekarang adalah kenyataan, sedangkan masa depan adalah cita-cita dan harapan. Oreng yang bijak adalah orang yang mampu menjadikan masa lalunya sebagai pelajaran, dalam rangka menentukan sikap sekarang, demi menggapai harapan dan impian di masa depan.
Allah Swt berfirman dalam rangka mengingatkan masa lalu Nabi Muhammad Saw.
(أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى) (الضحى : 6 )
(وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى) (الضحى : 7 )
(وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى) (الضحى : 8 )
Bukankankah Dia mendapatimu (Muhammad) dulunya yatim, kemudian dia melindunginya?
Dan bukankah dia juga mendapatimu bingung, lalu Dia memberi petunjuk ?
Dan bukankah Dia mendapatimu miskin, lalu Dia memberi kecukupan (kekayaan)?
Tiga ayat di atas adalah masa lalu Nabi Muhammad. Allah Swt mengingatkan hal itu agar menjadi pelajaran baik, bukan saja untuk Nabi, tapi juga untuk kita sebagai umatnya. Dalu Nabi Saw sempat bingung (Maaf, penulis dalam hal ini tidak mengartikan kata dlalan dengan sesat). Mangapa Nabi Saw sempat bingung? Karena beliau melihat berbagai perilaku kebodohan kaum Kafir Quraisy yang banyak menyembah berhala. Saat itu beliau belum diberikan petunjuk wahyu. Maka setelah Allah memberi petunjuk (hidayah), Nabi Saw tidak bingung lagi, dan jelas mengambil sikap, yakni berdakwah untuk mengantar keselamatan umatnya demi kemaslahatan dunia akhirat.
Memang adakalanya dalam hidup ini kita juga dilanda kebingunan dan keraguan untuk memutuskan perkara. Namun, setelah datang petunjuk Allah, apa yang membuat kita bingung dan bahkan gelap seperti gelapnya malam, akan menjadi jelas dan terang, seperti terangnya waktu Dhuha. Itu sebabnya, setiap hari kita minimal diperintahkan untuk memohon hidayahNya. Kita diperinthkan membaca doa ihdinâ al-shirâthal mustaqîm, minimal sebanyak tujuh belas kali dalam shaolat lima waktu. Itu semua, agar kita dapat menjalani kehidupan ini dengan lurus dan sampai tujuan. Bahkan bukan hanya minta petunjuk, melainkan minta diantar agar sampai menuju petunjuk tersebut.
Seseorang Harus Memiliki Kepekaan Sosial
Hidup ini harus memilki kepekaan sosial, jangan hanya memikirkan dirinya sendiri. Allah Swt juga mengingatkan Nabi Saw tentang masa lalunya yang miskin, tak memiliki banyak harta. Seolah Allah Swt berkata, “Hai Muhammad, bukankah dulu kamu miskin, kemudian sekarang telah menjadi kaya dan berkecukupan? Ayat ini penting disampaikan kepada Nabi Muhammad untuk mengingatkan masa lalu Nabi yang dulu masih miskin, supaya tidak muncul rasa sombong dan lupa diri. Sehingga setelah sekarang Nabi Saw diberi limpahan harta, –antara lain berkat kesuksesan bisnis berdagang dan menikah dengan Khadijah—Nabi Saw diperintahkan agar memiliki kepekaan sosial. Ayat ini juga berlaku untuk kita semua. Kita mesti ingat lho. Dulu kita tidak punya apa–apa, hidup miskin dan susah. Maka jika sekarang sudah kaya, jangan lupa di sana ada hak-hak sosial buat mereka yang papa.
Dalam konteks ini kemudian Allah Swt lalu melanjutkan firmannya:
(فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ) (الضحى : 9 )
(وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ) (الضحى : 10 )
(وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ) (الضحى : 11 )
Maka adapun terhadap anak yatim, maka kamu jangan menghardiknya.
Dan adapun terhadap orang yang meminta, maka janganlah kamu membentaknya
Dan terhadap nikmat TuhanMu, maka ceritakan
Setidaknya ada dua pesan utama, yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad terkait dengan teori maqashidi, yaitu, Pertama, hifzhul mâl (menjaga harta). Menjaga harta salah satu dengan bersedekah atau mengeluarkan zakat. Santunilah mereka anak-anak yatim, dan berilah mereka yang membutuhkan bantuan. Sebab apa yang sekarang kamu peroleh berupa harta dan berbagai kenikmatan, sesungguhnya hanyalah titipan dan amanah. Demikian halnya nikmat yang Allah karuniakan kepadamu, juga semestinya kamu mau menceritakan kepada orang lain. Kedua, hifzh al-din (menjaga agama). Nikmat Tuhanmu yang dimaksud adalah nubuwwah atau al-Qur’an. Maka dakwahkanlah pesan-pesan kenabian dan al-Qur’an kepada orang lain, agar agama ini terjaga (hifzh al-din).
Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud nikmat dalam ayat tersebut adalah nikmat al-Qur’an, sebab al-Qur’an adalah nikamat terbesar. Ada pula yang berkata, nikmat itu adalah nikmat nubuwwah (kenabian). Sebagian lagi berkata bahwa nikmat itu adalah nikmat berupa kemampuan menjalankan ibadah dan ketaatan. Maka, Nabi Muhammad diperintahkan untuk menceritakan hal itu, sebagai bentuk dakwah, agar diikuti dan diteladani umatnya. Ceritakan, sebarkan dan dakwahkan nikmat tersebut, agar orang lain juga mendapatkan pencerahan dari dakwahmu. Kita juga bisa berkata bahwa nikmat adalah segala bentuk pemberian Allah, baik lahir maupun batin. Maka ceritakan, syukurilah nikmat tersebut dengan kesediaan berbagi kepada orang lain, sekaligus sebagai tanggung jawab sosial. Wa Allahu a`lam bis shawab.