Joker adalah dark komedi, film psikologi yang paling saya suka. Saya sudah lama menunggu film ini, Joker: Folie à Deux. Tentu saya bersemangat untuk menontonnya. Namun film usai, saya hampir merasa kecewa. Saya merasa ada yang hilang, tak ada ‘kegilaan Joker’. Pekikan tawa pedihnya jarang terdengar. Dia membiarkan dirinya tanpa pembelaan di pengadilan. Joker mencoba mendesak para saksi berkata jujur tentang keseharian Arthur Fleck di mana ia sebagai manusia yang berhati baik, berempati, tak pernah melecehkan siapapun bahkan dia adalah korban kekerasan dan pelecehan seksual sejak kecil, riwayatnya ini tidak diketahui oleh banyak orang. Sekalipun ini terbongkar, Joker tak menjadikan kesaksian atas kebaikannya itu sebagai materi pembelaan. Dia seperti masuk pada kesadaran baru. Menerima dirinya sebagai Arthur Fleck, seorang laki laki lemah, yang tak dianggap oleh lingkungannya.

Kenapa Joker! Mengapa kamu hilang! Bahkan ketika kamu (Joker) ditikam oleh narapidana lain, cerita selesai begitu saja. Saya merasa fantasi saya tidak terpenuhi. Tidak ada kegilaan seperti judulnya, Joker: Folie à Deux, yang berasal dari bahasa Prancis, artinya kegilaan yang dibagi oleh dua orang. Istilah psikologis yang menggambarkan hubungan dekat dua orang yang berbagi delusi atau gangguan mental yang sama. Semestinya ini menjadi dua kali lebih sadis, lebih anarki, kejam, dua kali lebih pedih, dua kali lebih menderita. Tapi ini kosong, ada apa denganmu, Joker?

Lalu saya merenung!

Seketika semuanya terbalik dan saya mencoba membuka kesadaran baru. Saya terkejut, betapa kagetnya saya atas apa yang saya temukan dari film ini. ‘Preeekkk…’ saya merasa tertampar sebagai penonton yang tidak berjarak. Ternyata Joker tidak hilang, namun fantasi kita sebagai penonton yang perlu dipertanyakan! Kita yang bermasalah.

Bukankah seharusnya kita senang jika ada orang seperti Arthur Fleck yang insyaf, meninggalkan sisi lain dari dirinya yaitu Joker yang telah melakukan kejahatan kriminal. Apapun katanya, kejahatan tetap kejahatan sekalipun itu dilakukan lantaran merasa hidupnya diperlakukan tidak adil dan diabaikan sisi kemanusiaannya. Maka, Joker adalah bentuk anarki dan kekejaman yang harus dihentikan.

Lalu mengapa kita tidak bahagia melihat Arthur mencoba kembali pada jalan yang baik dengan mulai menerima realitas atas dirinya yang tak dianggap dan sudah melakukan kejahatan, kemudian meninggalkan sisi Joker! Kok orang ingin insyaf kita malah tak senang! Kok orang naik pada kesadaran yang lebih tinggi, tapi kita yang gak happy!

Jangan jangan kita menjadikannya kambing hitam atas segala sisi buruk yang kita punya, sisi gelap yang kita sembunyikan, kegilaan kita semua sebagai penonton yang tidak berani menampakan kebusukan diri kita. Lalu kita senang ada Joker, yang mewakili itu semua. Seolah kita berbeda dari dia, lalu kita asik menunjuk dia sebagai orang jahat yang menderita.

 

Apakah kita sedang melampiaskan sisi terpendam kita, fantasi kita, ekspektasi kita terhadap dunia? Ini pertanyaan besar dan tamparan bagi kita semua. Jika orang berubah menjadi lebih baik, kita anggap itu tidak asik. Karena kita guncang jika kehilangan perwakilan sisi gelap diri kita.

Joker dengan riasan wajah, begitu ekspresif, muncul menunjukan sisi lainnya. Tetapi kita secara munafik dan bernyali kecil bersembunyi di belakang Joker. Diam diam kita lebih kejam. Kita ‘happy’ dengan kegilaannya! Maka, siapa yang dua kali lebih gila dan delusi? Kita.

Dari sini saya ingin mengajak teman teman melihat film ini dari sudut pandang filsafat dan psikologis. Supaya kita bisa mengupas batin kita sendiri dan melihatnya lebih jelas, siapa kita yang sebenarnya, melalui film ini.

Saya mencoba memahami Joker secara mendalam, humanis dan eksistensial, supaya kita mengerti tentang makna dan apa itu keterasingan.

𝙀𝙠𝙨𝙞𝙨𝙩𝙚𝙣𝙨𝙞𝙖𝙡𝙞𝙨𝙢𝙚 𝙎𝙖𝙧𝙩𝙧𝙚: 𝙄𝙙𝙚𝙣𝙩𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙏𝙚𝙧𝙗𝙪𝙖𝙣𝙜

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis aliran eksistensialis, memiliki konsep “l’en-soi” (diri seseorang dalam dirinya sendiri) dan “pour-soi” (diri seseorang bagi orang lain). Arthur Fleck, sebagai Arthur, tidak terlihat, tidak pernah diakui oleh lingkungan masyarakat. Dia dianggap tak berharga dan tidak penting. Namun ketika dia menjadi Joker, dunia akhirnya melihatnya, memberinya perhatian yang selalu ia dambakan. Di sini, Joker mencapai “pour-soi”, makna diri seorang Arthur menjadi Joker bagi orang lain, di mana eksistensinya diakui oleh orang lain, ia seketika dianggap, dibicarakan, meski lewat caranya yang penuh kekerasan dan kegilaan.

Namun, saat dia menyadari bahwa eksistensi atau keberadaan dirinya di dunia ini sebagai Arthur tak diakui, tak dilihat, tak dianggap, ia merasa seperti terjebak dalam perasaan kosong, terasing, seperti yang dikatakan Sartre, bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”. Maksudnya adalah manusia sebetulnya lahir ke dunia dikaruniai kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, apapun itu, terserah menjadi apa. Namun kebebasan itu pada kenyataannya tidak benar benar bebas karena ketika kita memilih secara bebas, selalu lahir tanggung jawab atas pilihan tersebut. Kebebasan selalu diikuti oleh konsekuensi dan tanggung jawab.

Di film ini pada akhirnya Arthur sadar bahwa kebebasan yang dia cari lewat anarki dan segala bentuk kejahatan sebagai Joker di mana itu pikihan dari ekspresi kebebasannya, ternyata itu semua hanyalah sebuah cermin dari kenyataan manusia yang absurd, tidak ada makna yang melekat, selain yang kita ciptakan sendiri.

𝘾𝙖𝙧𝙡 𝙍𝙤𝙜𝙚𝙧𝙨 𝙙𝙖𝙣 𝙃𝙪𝙢𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚: 𝙋𝙚𝙣𝙘𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙣𝙚𝙧𝙞𝙢𝙖𝙖𝙣

Carl Rogers, seorang psikolog humanis, ia menekankan pentingnya “self-concept” dan kebutuhan dasar manusia untuk diterima dan dihargai. Perjalanan Arthur Fleck dalam pencarian diri tentang cinta dan penerimaan, diabaikan oleh dunia saat ia menunjukkan sisi rapuhnya sebagai Arthur.

Namun ketika ia memakai topeng Joker, tiba-tiba ia menjadi fokus perhatian semua orang, sayangnya cara ini meromantisasi dan memuja kekacauan. Hal seperti ini menunjukan betapa dangkalnya penerimaan yang sering kali hanya menghargai seseorang ketika mereka memainkan peran yang sesuai dengan harapan sosial, harapan orang lain, termasuk di sini ekspektasi kita sebagai penonton, bukannya menghargai kemanusiaan sejati seseorang.

Arthur dalam wujud Joker, hanya dilihat sebagai sosok jahat yang memenuhi fantasi masyarakat, fantasi kita sebagai penonton bukan sebagai individu yang memiliki rasa sakit dan kebutuhan untuk dicintai.

Sehingga kita bilang film ini tidak asik karena kita tidak menemukan fantasi kita.

𝙁𝙧𝙞𝙚𝙙𝙧𝙞𝙘𝙝 𝙉𝙞𝙚𝙩𝙯𝙨𝙘𝙝𝙚: 𝙆𝙚𝙝𝙚𝙣𝙙𝙖𝙠 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝘽𝙚𝙧𝙠𝙪𝙖𝙨𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙝𝙖𝙣𝙘𝙪𝙧𝙖𝙣 𝙉𝙞𝙡𝙖𝙞

Nietzsche berbicara tentang konsep “Will to Power” atau kehendak untuk berkuasa, di mana manusia berusaha untuk menegaskan keberadaannya lewat kekuatan dan dominasi.

Joker dalam transformasinya, menggambarkan bahwa dia ingin berkuasa dan mengambil alih cerita hidupnya. Ketika ia berhenti menjadi Joker dan kembali menjadi Arthur, ia menolak kehendak untuk berkuasa ini.

Di sini kita bisa melihat bahwa Joker walaupun jahat, masih memiliki kapasitas untuk mencintai dan berempati, terutama terhadap Harley Quinn. Tetapi, masyarakat dan penonton telah begitu terikat dengan persona Joker. Sehingga saat ia berhenti jahat, kita semua merasa kehilangan sosok untuk mengidentifikasi sisi gelap diri kita yang tersimpan.

Dalam pandangan Nietzsche, dunia Joker ini adalah tanda kehancuran sebuah nilai, yaitu kondisi di mana masyarakat sudah tidak lagi percaya pada aturan lama, norma tradisional, atau sudah tidak tidak punya panduan moral yang kuat. Sehingga situasinya tidak stabil. Pada situasi ini, orang orang seperti Joker muncul untuk membuat aturan baru.

Joker menjadi simbol dari kehancuran nilai-nilai lama, dan penolakan Arthur terhadap persona Joker adalah penolakan terhadap dunia yang dikuasai oleh kehendak yang nihilistik.

Sederhanya, Joker hidup di dunia di mana “aturan lama” tentang moral sudah tidak lagi berlaku, dan manusia, termasuk Joker, harus menciptakan aturan dan maknanya sendiri, sekalipun itu berarti kekacauan dan kehancuran.

𝙋𝙨𝙞𝙠𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙅𝙪𝙣𝙜𝙞𝙖𝙣: 𝘽𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙧𝙨𝙤𝙣𝙖

Carl Jung menjelaskan konsep bayangan dan persona, di mana persona artinya topeng yang kita tunjukkan kepada dunia, sementara bayangan adalah bagian dari diri kita yang tersembunyi dan sering kali gelap.

Joker adalah manifestasi dari bayangan Arthur, segala ketakutan, frustrasi, dan kemarahan yang ia tekan sebagai Arthur meledak menjadi kekacauan ketika ia mengenakan topeng Joker. Namun, ketika Joker memutuskan untuk berhenti menjadi Joker, ia mengakui bahwa bayangannya tidak lagi dapat menjadi pelindung atau tempat pelarian. Ia ingin dunia melihat Arthur yang sebenarnya, seorang pria yang lemah lembut dan penuh cinta. Tapi, di sini ada tragisnya: masyarakat di film itu dan kita sebagai penonton lebih menginginkan bayangannya daripada diri Arthur yang sejati. Kita menginginkan sosok yang bisa kita tuduh sebagai jahat, sementara kita sendiri merasa aman di balik kedok moralitas yang munafik.

𝙆𝙚𝙗𝙚𝙧𝙖𝙙𝙖𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙄𝙧𝙤𝙣𝙞𝙨: 𝙈𝙪𝙣𝙖𝙛𝙞𝙠 𝙙𝙖𝙣 𝘽𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙆𝙤𝙡𝙚𝙠𝙩𝙞𝙛

Dalam film ini, terlihat jelas bagaimana banyak orang temasuk saya dan penonton lainnya, menggunakan Joker sebagai simbol kejahatan yang bisa kita tunjuk, tetapi ketika Joker menolak perannya, kita semua kebingungan. Kita semua merasa kecewa saat Joker berhenti, karena kita tidak lagi bisa menyembunyikan sisi gelap kita di balik kehadiran seseorang yang dianggap lebih jahat.

Ini mengingatkan pada konsep Scapegoating atau “kambing hitam”, di mana kita sering kali memilih orang lain atau kelompok tertentu sebagai perwakilan dari dosa dan kekurangan kita sendiri. Ketika Joker memilih untuk tidak lagi menjadi Joker, kitavsemua sebagai penonton kehilangan sosok yang kita anggap sebagai perwujudan dari kejahatan, dan kita dipaksa untuk menghadapi kegelapan kita sendiri.

𝙎𝙞𝙨𝙞 𝙀𝙢𝙤𝙨𝙞𝙤𝙣𝙖𝙡: 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙥𝙚𝙙𝙞𝙝𝙖𝙣

Bagian paling menyentuh dari perjalanan Arthur Fleck adalah ketika ia menyadari bahwa meskipun ia memiliki sisi gelap sebagai Joker, ia tetap masih merasakan cinta. Namun, cinta itu tidak dihargai saat ia menunjukkan sisi rapuhnya sebagai Arthur.

Kepedihan tertinggi muncul ketika Harley Quinn, seseorang yang ia cintai, hanya menginginkan dirinya sebagai Joker, bukan sebagai Arthur. Di sini, kita melihat kepedihan eksistensial yang mendalam. Betapa dunia sering kali menolak sisi lembut dan rentan seseorang, dan lebih memilih persona yang sesuai dengan fantasi dan harapan mereka.

Dalam konteks film musikal ini, Joker akhirnya membuat pilihan untuk meninggalkan identitas Joker. Adegan di mana ia kabur dari kelompok pengikutnya adalah simbol salam perpisahan bagi dirinya dan juga bagi kita sebagai penonton. Ia sadar bahwa keberadaannya sebagai Joker telah menjadi perwujudan dari kegelapan yang lebih dalam di diri orang-orang yang tak pernah mengakui bahwa mereka juga memiliki sisi gelap yang sama.

Dalam perspektif ini, kita menyadari bahwa Joker yang asli mungkin tidak seberbahaya joker-joker yang tidak memakai riasan di wajahnya, yaitu manusia yang menutupi sisi gelap mereka tanpa pernah mengakuinya. Di sinilah letak ironi terbesar: ketika Joker berhenti menjadi Joker, yang tersisa adalah manusia-manusia yang lebih mengerikan dalam kemunafikannya.

Komentar