Eksistensi Pesantren di era 4.0 semakin mengalami tantangan yang cukup berat, terutama tantangan globalisasi dan kompetisi dunia pasar bebas. Globalisasi memang bisa berdampak positif, salah satunya kemudahan akses informasi dan komunikasi bagi masyarakat. Namun di sisi lain, globlalisasi juga berdampak negatif salah satunya munculnya ideologi transnasional yang dapat menggerus nilai-nilai nasionlisme kita.
Sementara itu, pasar bebas juga menjadi tantangan tersendiri dalam bidang kompetisi ekonomi dunia yang luar biasa. Produk-produk luar begitu mudah masuk ke Indonesia, sementara produk lokal dan dalam negeri sendiri semakin terseok-seok melawan persaingan tersebut. Kita seringkali lebih menjadi objek (maf`ul bih) katimbang menjadi subjek (fa`il). Untuk itu, hemat saya dunia pesantren dituntut tidak hanya fokus pada lembaga tafaqquh fiddin (mempelajari secara mendalam tentang ilmu agama), tetapi juga sebagai lembaga dakwah dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Itulah tiga fungsi pesantren yang perlu direvitalisasi, agar pesantren tetap akan kokoh dan kukuh dalam menghadapi industri 4.0 yang serba kompetitif tersebut.
Pendek kata, pesantren harus terus berbenah diri agar pesantren tidak tertinggal dan ditinggalkan masyarakat. Gerakan Ayo Mondok, Gak Mondok Gak Keren, mestinya harus diiringi dengan semangat bagaimana menyiapkan model pesantren yang di satu sisi tetap menjaga penguatan tradisi keilmuan para ulama salaf di satu sisi, dan kesiapan menghadapi tantangan dan gempuran era disrupsi yang semakin berat.
Setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi, yaitu Pertama, radikalisasi agama yang kian mencuat yang salah satu sebabnya adalah munculnya ustadz/ustdzah di dunia medsos maupun TV swasta yang belum memiliki kapasitas yang cukup dalam bidang agama. Mereka yang seringkali hanya mengandalkan kemampuan berceramah pinter ngomong, meski kadang tidak memiliki basis keimuan Islam yang jelas, sering kali justru lebih dipercaya masyarakat dan generasi mellinial, daripada alumni pesantren yang sanad keilmuannya dan keahliannya jelas.
Hal ini disebabkan karena nalar masyarakat terkadang terjebak pada kapitalisme global. Jika ada “ustadz” yang penting wajah keren, pinter humor dan banyak follower-nya, maka dia yang diikuti. Ini tentu mushibah akhir zaman. Untuk itu, hemat saya, para santri atau ustadz/dzah tidak ada salahnya juga harus berani dan percaya diri untuk tampil di dunia medsos menyampaikan nilai-nilai Islam yang lebih santun, inklusif dan toleran, agar agama ini tidak dibajak oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi, tetapi memiliki semangat agama yang berlebihan. Semangat keagamaan yang berlebihan yang tidak diimbangi oleh keilmuan yang mendalam cenderung melahirkan radikalisasi agama.
Kedua, tantangan ekonomi yang semakit berat dan kompetitif di era 4.0. Pasar bebas dan sistem ekonomi yang menganut paham kapitalisme juga merupakan tantangan yang berat. Untuk itu, para santri perlu didorong untuk memiliki jiwa kreatif dan inovatif di bidang interpreneurship. Santri harus memiliki keterampilan baik, soft skill maupun hard skill. Sehingga, kelak mereka pulang ke masyakat mereka percaya diri berdakwah, sebab secara ekonomi mereka cukup mampu. Mohon maaf, menjadi ustadz, dai atau kiai, kalau kelihatan miskin atau menampakkan kemiskinan itu –menurut hemat saya- tidak elok. Untuk itu, konsep zuhud (asketis) ketika belajar tasawuf mestinya jangan disalahpahami. Sufi atau zahid tidak harus identik dengan menjadi orang miskin. Sebab Nabi Salaiman yang disebut sebagai aghna al-nas (orang paling kaya) justru disebut sebagai azhad al-zâhidîn (orang paling zuhud). Nabi Muhammad Saw, adalah seorang pedagang yang sukses, Abdurrahman bi Auf, Usman bin Affan, keduanya adalah sahabat kaya raya. Sunan Drajat adalah represntasi wali yang kaya, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asya’ri pendiri NU dulu kalau hari selasa konon ngaji diliburkan karena beliau harus menyetorkan dagangannya di pasar.
Walhasil, para santri harus memiliki harus kuat secara keilmuan, karakter dan ekonomi, sehingga semakin siap menghadapi tantangan masa depannya yang semakin kompetitif. Mengutip pandangan Pak Bahlil Lahadahlia, Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal, “Para santri harus menjadi bagian integral dari keseluruhan upaya komponen bangsa untuk membangkitkan kemampuan ekonomi Indonesia dengan mengembangkan kemampuan wirausaha yang didukung olen nilai keadilan dan kemanusiaan sebagaimana diajarkan dalam Islam.”. Al-Marhum, KH Ali Maksum Krapyak dulu sering menyampaikan tausiah yang sangat inspiring menurut hemat saya, yaitu “ `ala man yu`allimu al-nas an yamût an yu`allima al-nâs an ya`isy. (Terjemahan bebasnya, wajib bagi orang yang akan mengajari manusia bagaimana besok ia mati dengan baik, ia juga harus mengajari bagaimana agar manusia bisa eksis dalam hidup dunia ini dengan baik). Wa Allu a`lam bis shawab.