Saban hari kita mendengar Fadli Padi, yang suaranya khas itu, bernyanyi di televisi. Ia mengingatkan kita untuk patuhi “pesan ibu” (pakai masker, cuci tangan, jaga jarak). Jika bukan karena pandemi, nyaris mustahil kita saksikan band lagendaris Padi tampil sesering itu di layar kaca, bersaing dengan iklan marketplace yang obral diskon akhir tahun.

Kita menyimak Fadli bernyanyi sembari menunggu vaksin siap. Pesan tentang menjalankan protokol kesehatan terus didengungkan sebab itulah cara yang paling mungkin dilakukan untuk menekan angka penderita covid-19 sementara vaksin belum disuntikkan. Televisi dipandang ampuh karena nyaris ada di seluruh rumah penduduk Indonesia, pun jumlah penontonnya meningkat di masa pandemi menurut survei Nielsen Indonesia.

Nyatanya tak hanya Iklan Layanan Masyarakat yang menampilkan Padi saja yang serukan untuk patuh protokol kesehatan. Para pembawa acara berita memakai masker lalu menyampaikan “pesan ibu” di penghujung acara. Di acara-acara lain, para pesohor juga terlihat mengenakan face shield. Televisi tampak berupaya memainkan perannya untuk mengedukasi masyarakat di tengah laju wabah.

Hanya saja, di awal merebaknya covid-19 di Indonesia, salah satu stasiun televisi sempat “terpeleset” dengan menerjunkan seorang reporter dengan gas mask atau masker respirator. Masker itu ia kenakan saat meliput pasien covid-19 di Depok, Jawa Barat. Seketika foto sang jurnalis bermasker itu viral dan memancing pro kontra. Ada yang menuduh, masker itu tidak tepat digunakan dan justru memantik kepanikan. Meski telah diklarifikasi oleh televisi yang berangkutan, hanya saja peristiwa “jurnalis bermasker gas” itu menjadi catatan khusus perihal bagaimana media bekerja di masa pandemi.

Selanjutnya, sejak Maret 2020 melalui televisi kita melihat update data terbaru tentang covid-19 di Indonesia diumumkan oleh Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan covid-19. Yurianto kemudian digantikan Reisa Broto Asmoro. Sampai akhirnya update perkembangan covid-19 tak lagi diumumkan secara rutin di televisi (beralih ke www.covid-19.go.id). Yurianto dan Reisa menjadi ujung tombak di bawah bayang-bayang Menteri Kesehatan yang dianggap tidak cakap dalam menangani wabah covid-19 di Indonesia.

Pertanyaannya apakah pola komunikasi yang ditempuh pemerintah serupa itu efektif? Padahal, kita ingat, sebelumnya justru sejumlah tokoh publik memberikan pernyataan kontroversial, yang cenderung meremehkan covid-19. Seperti pernyataan (kelakar) seorang menteri bahwa nasi kucing bisa bikin kebal covid-19. Nahasnya, pernyataan sensasional itu didengungkan oleh televisi (media). Alih-alih segera memberi porsi besar bagi para ahli/pakar untuk bicara soal covid-19, media justru kerap terjebak menampilkan hal-hal yang sensional belaka.

Hal yang menarik dari televisi di masa pandemi malah bisa kita lihat pada TVRI. Selain menayangkan pelajaran sekolah yang membantu anak-anak belajar dari rumah, TVRI juga tayangkan film-film bagus yang “sepi penonton”. Film Ziarah dan Istirahatlah Kata-kata misalnya, dua film itu dapat tempat di TVRI. Setelah sebelumnya tak satupun televisi swasta yang tertarik atau sekadar mau melirik film-film itu.

Kiranya, itulah wajah televisi kita di masa pandemi. Tentu banyak yang berubah, termasuk “raibnya” acara-acara olahraga dari layar kaca, juga pertandingan bola tanpa penonton yang terasa hambar. Selebihnya, tanyangan televisi kita belum benar-benar “berubah”. Kita masih mudah mendapatkan sinetron-sinetron yang minim edukasi, masih ada talkshow yang memberi ruang bagi narasumber provokatif-agresif yang pernyataannya punya potensi menyulut perpecahan, dan tayangan-tayangan lain yang bermasalah.

Kita tentu berharap, televisi-televisi kita semakin meningkatkan lagi kualitas tayangan. Jangan ada lagi acara-acara yang mengebiri akal sehat. Masyarakat butuh acara-acara yang mencerahkan dan mencerdaskan. Jangan sampai orang-orang yang berdiam di rumah untuk menghindari covid-19 disuguhi acara-acara tak bermutu. Sudah stres karena terlalu lama di rumah, eh masih diberi sajian acara televisi yang nirfaedah. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

“Kalau acara-acara televisi buruk, matikan saja televisinya. Pindah ke Youtube atau kanal lain, lalu pilih acara yang menurutmu bagus.” Sekilas pernyataan itu benar dan heroik. Tapi, bagi saya, kuota internet dan sinyal adalah privelese. Tak sedikit masyarakat yang tak punya punya akses internet, entah karena faktor ekonomi atau geografi. Mereka hanya punya akses ke televisi. Maka, pemilik televisi berkewajiban sajikan tayangan yang berkualitas. Kalaupun himbauannya adalah “pindah ke Youtube”, toh Youtube juga mulai dipenuhi artis-artis televisi yang “lu lagi-lu lagi”.

Selain persoalan kualitas tayangan yang sebetulnya sudah jadi isu klasik, televisi juga dihantui persolan perlindungan bagi reporter televisi selama bertugas di masa pandemi. Riset Remotivi menemukan bahwa 50% dari kemunculan reporter tidak menerapkan protokol kesehatan. Menurut Remotivi, hal tersebut menunjukkan perusahaan televisi tidak serius dalam melindungi pekerjanya. Acuan yang digunakan Remotivi adalah pedoman UNICEF untuk reporter (memakai masker dengan benar, menjaga jarak, memakai sarung tangan, memakai pengaman mikrofon). Ini belum ditambah ancaman PHK yang menguntit pekerja media (televisi) di tengah perekonomian yang memburuk karena pandemi.

Komentar