Aris Widodo*
Selamat menjalankan shalat tarawih, bagi yg menjalankannya.
Sesungguhnya “tarawih”, yg akar katanya r-w-h (روح), atau di sebagian mu’jam lain berakar pada r-a-h (راح), memiliki makna, di antaranya, enjoy, atau “isis”, atau lega-puas-damai…
Menurut pakar bahasa, Tahiyya ‘Abd al-Azis, dari akar kata yg sederhana itu, bisa dibentuk ratusan kata, yg saling berkaitan. Itulah mengapa, al-Qur’an yg “hanya” satu mushaf, tapi penafsirannya bisa belasan jilid…
Tarawih bisa bermakna enjoy maupun “isis” (semilir), karena shalat tersebut merupakan “pemberian-angin” (ventilasi: تهوية) bagi “ruh” kita (روح), sehingga akhirnya jiwa kita tidak sumpek. Itulah mengapa ketika shalat, kadang Kanjeng Nabi memerintahkan kepada Bilal dengan kata-kerja yg berakar pada r-a-h (أرحنا بالصلاة).
Di sisi lain, tarawih juga bermakna lega-puas-damai, karena dengan shalat itu, kita menikmati, meminjam bahasa Qur’an, “hidangan langit” (مائدة من السماء), atau memakai ungkapan Abu Thalib al-Makkiy, “santapan ruhani” (قوت القلوب).
Jika setelah berbuka kita merasa “makpyar”, makcles (و ابتلت العروق), lega karena, memakai bahasa Abraham Maslow, kebutuhan jasmani (biological need) terpenuhi, maka dengan tarawih, batin kita juga merasa “lega” dan “wareg” (kenyang).
Terakhir, jika ketika berbuka puasa kita bisa mencecap manisnya hidangan, dan kita juga sering mengungkapkan “manisnya senyuman dan manisnya wajah”, maka tarawih menggiring kita untuk mencecap, memakai bahasa Kanjeng Nabi, “manisnya iman” (حلاوة الإيمان).
Sekali lagi, selamat ber-tarawih, semoga enjoy, “isis”, dan “wareg”, serta bisa merasakan “manisnya keyaqinan.”