‎“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-‎olok kaum yang lain, (karena) boleh Jadi mereka (yang diperolok-‎olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan ‎pula perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh ‎Jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang ‎mengolok-olok). Janganlah kamu saing mencela satu sama lain, dan ‎janganlah saling memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk ‎panggilan adalah (panggilan) yang buruk fasik) setelah beriman. Dan ‎barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang ‎zalim.” (Q.S. Al-Hujurat: 11)‎

Di antara etika dalam pergaulan yang harus kita jaga, agar hubungan ‎dengan sesama tetap terjalin dengan baik adalah saling menghormati dan ‎menghargai antarsesama. Ya, jika kita ingin dihormati orang lain, maka kita ‎harus menghormati orang lain. Pun jika kita ingin dihargai orang lain, kita juga ‎harus menghargai orang lain. Inilah hukum universal yang berlaku di mana-‎mana.‎

Ironisnya, dalam fenomena sehari-hari yang kita lihat, sikap saling ‎menghormati dan menghargai satu sama lain kian hari kian memudar. Justru ‎sikap merendahkan serta meremehkan orang lain, entah dalam konteks ‎gurauan, atau memang serius, sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari.‎
‎ ‎
Disadari atau tidak, setiap orang tentu ingin diakui keberadaanya. Dan ‎untuk mendapatkan pengakuan itu, ada seribu satu macam cara yang ‎dilakukan seseorang untuk menunjukkan eksistensinya. Ada yang ‎menunjukkan eksistensinya dengan cara memamerkan kekayaannya. Ada ‎yang menunjukkan keberadaannya dengan jabatan yang dimilikinya. Ada pula ‎yang berharap diakui eksistensinya dengan menunjukkan keilmuannya. Tetapi ‎tidak sedikit pula yang ingin ‘dianggap’ oleh orang lain dengan ‎mengunggulkan dirinya sekaligus menjatuhkan dan merendahkan orang lain. ‎Cara terakhir ini adalah cara yang paling sering dilakukan seseorang, baik ‎dalam dunia bisnis, dunia kerja atau dunia pergaulan pada umumnya.‎

Banyak di antara kita yang merasa ‘lebih’ dari orang lain. Sehingga ‎sadar atau tidak, berimbas pada sikap kita yang menganggap rendah orang ‎lain. Padahal merendahkan orang lain adalah bagian dari sikap takabbur. ‎Sebagaimana diungkapkan para ulama tentang definisi takabbur yaitu: ‎‎“menolak kebenaran dan meremehkan manusia”.‎

Iblis laknatullah ‘alaih adalah sosok makhluk yang pertama kali ‎melakukan kesombongan (takabbur) dengan merasa lebih baik, sekaligus ‎merendahkan Adam a.s. Dia menolak perintah Allah untuk sujud (hormat) ‎keapada Adam a.s. Alasannya adalah bahwa dia merasa lebih baik, karena ‎diciptakan dari api, sedangkan Adam a.s. diciptakan dari tanah.‎

Sikap merasa paling baik sekaligus merendahkan yang lain inilah yang ‎akhirnya menyebabkan iblis diusir dari surga dan menjadi musuh utama ‎manusia hingga kiamat tiba.‎

Jika belajar dari sejarah iblis dengan kesombongannya itu, niscaya kita ‎akan mendapatkan sebuah pelajaran penting, bahwa sikap merendahkan ‎orang lain adalah salah satu dosa yang sangat dibenci Allah Swt. Karena yang ‎paling berhak untuk takabbur adalah Allah. Dialah Al-Mutakabbir. Tiada yang ‎berhak untuk takabbur selain Allah. ‎

Dalam pergaulan sehari-hari, orang-orang yang merasa lebih atau ‎bahkan paling dari orang lain, akan mendapat kecaman. Tidak akan ada ‎seorang pun yang simpatik kepada mereka yang senang merendahkan orang ‎lain. Karena, pada hakekatnya setiap manusia memiliki kelebihan dan ‎kekurangan (mazaya wa ‘uyub, more and less). Tidak ada manusia yang ‎sempurna. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Sehingga tidak ada ‎alasan bagi kita untuk merasa lebih baik dari orang lain apalagi merendahkan ‎orang lain.‎

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa dahulu ketika Nabi ‎Muhammad Saw. di Madinah, ada seseorang yang jika sholat, dia sudah ‎datang sebelum sahabat Nabi datang. Dan masih sholat, saat sahabat Nabi ‎pulang. Kagum atas ibadah orang ini, sahabat Nabi menceritakan kepada Nabi. ‎Ketika Nabi melihatnya, Nabi berkata, “Aku seperti melihat bekas tamparan ‎setan diwajahnya.”Lalu Nabi mendatangi orang tersebut dan bertanya,”Apakah ‎ketika kamu sholat, kamu merasa tidak ada yang lebih baik dari dirimu?” ‎‎“Benar, “ jawab orang tersebut, sambil masuk ke mesjid.

Nabi Muhammad lalu ‎berkata kepada sahabatnya,”Kelak akan muncul kaum dari keturunan orang ‎tersebut. Bacaan al-Quran kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan ‎mereka, dan sholat kamu tidak ada nilainya dibandingkan sholat mereka, dan ‎puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca ‎al-Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya al-Quran itu milik ‎mereka saja, padahal sebenarnya al-Quran itu akan melaknat mereka. Umatku ‎akan menderita di tangan mereka. Merekalah seburuk-buruknya manusia. Jika ‎aku hidup saat itu, aku akan bangkit melawan mereka. (Shahih Bukhari ‎Muslim).‎

* Ruang Inspirasi, Jumat, 13 Agustus 2021.

Komentar