Dalam rukun Islam yang ke-3 setiap muslim wajib berpuasa di bulan Ramadan. Berbagai cara penyambutan bulan Ramadan telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia salah satunya dengan menggunakan tradisi daerah. Di desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang ada sebuah komunitas Bonokeling yang bergerak melestarikan tradisi unggahan. Tradisi unggahan ini dilaksanakan ketika menjelang berpuasa. Dahulu tradisi unggahan pernah di lakukan ketika sebelum panen dan saat bercocok tanam..

Sebenarnya tradisi unggahan lebih dikenal dengan tradisi nyadran. Antara tradisi unggahan dengan tradisi nyadran hampir sama tetapi dalam pelaksanaannya memiliki sedikit perbedaan.  Awal mula dari tradisi ini dipelopori oleh Kiai Bonokeling saat beliau memerintahkan masyarakat untuk menyambut bulan Ramadhan dengan melakukan ritual doa dan dzikir terutama di bulan sya’ban.

Dianjurkan pula mengunjungi makam- makam dari sanak saudara untuk mendoakan. Kemudian tradisi ini diwariskan turun-temurun oleh masyarakat sehingga terbentuklah komunitas Bonokeling. Sebuah komunitas pengikut dari ajaran Kiai Bonokeling itu sendiri. Kiai Bonokeling sendiri dikenal sebagai leluhur pertama penyebar agama Islam di daerah Banyumas kemudian meluas ke daerah Jatilawang.

Dalam pelaksanaan prosesi tradisi perlon unggahan dilakukan selama tiga hari berturut-turut dan ikuti oleh warga desa Pekuncen juga dari sejumlah warga lain. Mereka juga diwajibkan menggunakan pakaian adat, kemben dan jarit bagi perempuan. Untuk laki-laki harus bersarung dan memasang ikat kepala.

Tradisi unggahan memiliki beberapa tahapan  cukup panjang. Hari Kamis minggu pertama di bulan Sya’ban antara anggota dengan panitia penyelenggara melakukan rapat koordinasi. Selanjutnya Pada hari Kamis minggu kedua mereka  melaksanakan prosesi  girah. Yaitu membersihkan ruangan, alat-alat dapur, dan mempersiapkan segala sesuatunya.

Di hari Rabu bertepatan dengan 3 hari sebelum acara dilangsungkan, anggota dari komunitas ini membuat jenang dan nasi sebagai bekal kenduri yang dibungkus dari dedaunan. Kemudian dilakukan penyerahan hasil bumi dari luar daerah ke desa Pekuncen. Pada hari Kamis malam masyarakat desa Pekuncen mengadakan nedu (dzikir) di enam Balai Pesamon (rumah adat). Acara zikir ini dipandu oleh 1 juru kunci dan 5 Kyai.

Mereka bersamaan mengucapkan lafal kata lailahailallah dan berdoa memanjatkan hajat. Pada hari Jumat siang adalah puncak dari prosesi  unggahan. Bagi warga perempuan yang akan mengadakan ziarah harus bersuci terlebih dahulu. Sementara warga desa kaum laki-laki membantu memasak menu makanan untuk upacara slametan.  Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, warga segera menempatkan diri dengan membawa makanan kenduren dan mengenakan pakaian adat kejawen.

Mereka berangkat  ke makam panembahan Bonokeling sembari tapa bisu. Acara pisowanan ini dipandu oleh pemangku adat dan para bedhogol serta pemanggul. Ketika memanjatkan doa dan memohon keberkahan. Di akhir acara masyarakat membersihkan kuburan kiai Bonokeling  sebagai bentuk penghormatan karena beliau berjasa dalam membuka lahan pertanian pertama kali di desa Pekuncen. Selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh berpengaruh dalam proses penyebaran agama Islam.

Sejauh ini saya menangkap makna ritual dari unggahan sisi menariknya ada pada ketika prosesi ziarah. Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, prosesi unggahan hampir sama dengan ziarah kubur pada umumnya. Tetapi disini unggahan memiliki sisi keunikannya sendiri karena berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan hanya dilakukan oleh komunitas bonokeling.

Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa saling tenggang rasa terikat kuat di sini. Artinya tradisi Unggahan mampu menjawab kesenjangan sosial dari sikap individualisme di zaman modern.  Dalam hal ini ini tradisi memiliki kekuatan semacam harmoni untuk menyelaraskan antara kebudayaan Jawa dengan Islam tanpa menghilangkan unsur salah satunya.

Untuk itu tidak perlu dipermasalahkan mengenai pendapat miring jika tradisi unggahan kental dengan perbuatan syirik dan menyekutukan Allah. Biarkan agama dan budaya  melekat dan menjadi jati diri masyarakat tanpa dicederai oleh pandangan semacam itu.

*Tulisan ini merupakan kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan media Islam Santun.

Umi Nur Baity, Mahasiswa prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir UIN Raden Mas Said Surakarta. Dia salah satu pegiat literasi di Unit Kegiatan Mahasiswa LPM Dinamika.

Komentar