Islamsantun.org – Pak Kiai Dian Nafi’ (saya memanggil beliau Pak Yan) memiliki vespa sprint berwarna biru dongker. Pertama kali saya menaikinya saat dibonceng Pak Yan dari Pondok Al-Muayyad Mangkuyudan ke Pondok Al-Muayyad Windan. Sesaat setelah saya sowan beliau di kantor SMA Al-Muayyad. Saat itu, saya mengadu tentang kebingungan saya diterima di UNS Surakarta.
Saat saya sowan, beliau dengan senyum tipis langsung menyapa mengucapkan selamat. Maklum, saat itu saya termasuk santri yang diragukan diterima di UNS Surakarta. Cukup beralasan, karena memang saya sudah dinyatakan hampir tidak lulus dari SMA Al-Muayyad.
Di hadapan beliau saya sampaikan bahwa saya bingung harus bagaimana. Saya senang diterima di UNS Surakarta. Keluarga dan masyarakat desa saya juga heboh mendengar kabar ada santri yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Hal yang tabu saat itu. Saya sendiri senang hanya dalam dua hari, selebihnya pusing karena orang tua sudah angkat tangan, belum tentu bisa mendanai biaya kuliah saya. Mau bayar registrasi Rp 375 ribu saja saat itu tidak ada uang.
Mendengar keluh kesah saya, Pak Yan langsung ngendikan, “Kamu ikut saya mau? Tinggal dan makan sama saya”. Ha?, spontan saya jawab, “Inggih Pak. Matur nuwun”. Saya pun diminta menunggu beberapa waktu karena nanti akan diajak bareng ke rumah beliau. Saat itu saya tidak tahu kalau rumah beliau itu adalah Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan.
Saya pun turun dari lantai 3 SMA Al-Muayyad ke serambi masjid. Alhamdulillah, urusan tempat tinggal dan makan sudah aman. Pikirku saat itu. Kebingungan muncul berikutnya. Saya sama sekali tidak punya uang untuk registrasi di UNS. Dalam kebingungan, saya pun jalan-jalan di depan Pondok. Saat itu kebetulan saya lewat di jalan depan Toko Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren) Al-Muayyad.
Saya lihat, Pak Ishom, manajer toko sedang menurunkan barang-barang belanjaan dari vespa super beliau. Tetiba terbersit ide dari benak saya untuk matur ke Pak Ishom. Saya pun tunggu beberapa waktu sampai beliau selesai merapikan belanjaan. “Pak badhe matur”, saya memberanikan diri. “Saya mau pinjam uang untuk bayar registrasi kuliah di UNS. Kalau boleh saya mau pinjam Rp 500 ribu saja. Tapi,….apa boleh saya bayarnya dengan bekerja di sini?”
Entahlah, Pak Ishom barangkali kaget juga orang nekat kayak saya saat itu. Beliau langsung mengiyakan. Saya pun langsung dikasih uang Rp 500 ribu dan saya langsung dikasih jadwal jaga sebagai penjaga Wartel dan layanan jual beli toko Kopontren. Dari toko Kopontren saya pun kembali ke dalam komplek Pondok, kongko-kongko di dekat bedug masjid sembari menunggu Pak Yan.
Seusai dhuhur saya ke Windan dengan Pak Yan. Saya bonceng vespa biru. Vespa yang rupanya dulu pernah dipakai oleh beliau KH. Abdul Rozaq Shofawi untuk wira-wiri dari Mangkuyudan ke Mangli, Magelang ngaji ke Mbah Hasan Mangli kurang lebih 3 tahun. Vespa itu juga yang telah menghantarkan adik Pak Yan, beliau Bapak H. Adib Ajiputra sukses menjadi pengusaha muda di Solo.
Setelah di Windan, sayalah kemudian yang didhawuhi untuk merawat vespa itu. Membersihkan, mencuci vespa tersebut sebelum dipakai Pak Yan untuk tindakan (pergi).
Singkat cerita, vespa kadang suka macet. Namanya juga barang antik. Pak Yan memutuskan membeli motor baru. Bagaimana dengan vespanya? Saya pun matur ke Pak Yan. Vespanya mau saya beli. Dengan syarat boleh dicicil selama 3 tahun. Saat itu deal, vespa diharga Rp 3 juta. Jadi setiap tahun saya bayar ke Pak Yan 1 juta. Lumayan kan. Dari mana saya dapat uang untuk itu. Kisahnya di lain cerita ya.
Dengan vespa biru itu pula, saya sering ndherekke Almarhumah Simbah Nyai Umi Abror bepergian untuk banyak keperluan: silaturrahmi, ngaji, urusan dagang, belanja ke pasar, urusan perjodohan, urusan santri, dst. Vespa biru ini pula yang ikut menghantarkan saya lulus kuliah S1 di UNS Surakarta. Juga menemani saya saat kuliah S2 di UGM Yogyakarta. Rahasia ya.
Melalui vespa biru ini pula pertama kali saya boncengin cewek Arab saat di Yogya. “Gembrobyos gaes. Maklum santri sibuk. Gak pernah kenal cewek. Wakakakak”. Dan vespa biru itu juga yang menjadi modal awal saya menikahi istri tercinta Maria Ulfah binti Hasan bin Abdurrahman Basyaiban. Awal-awal kehidupan kami, vespa biru pun menemani. Kenangan macet di jalan itu biasa gaes. Hehe. Sambil gendong anak pertama, Hasan Nur yang masih bayi pula.
Vespa biru ini yang menemani saya bekerja sebagai guru di SMK Bhinneka Karya Manahan Surakarta, sebagai Project Officer di LBK-UB Boyolali dan beragam kegiatan lain di Solo dan sekitarnya. Masih ingat betul saat saya sering didhawuhi untuk membantu segenap kegiatan FSHKB (Forum Suara Hati Kebersamaan Bangsa) di Solo. Vespa ini punya andil yang tidak sedikit. Vespa sering dipakai untuk kepentingan angkutan logistic: beras, minyak, air mineral, sampai potongan bambu untuk acara-acara forum lintas iman tersebut.
Seiring waktu, sebelum Simbah Nyai Umi Abror wafat beliau berpesan ke saya, “Vespane entuk didol yen entuk ganti mobil” (Vespanya boleh dijual jika sudah dapat ganti mobil). Jadi, teman-teman santri dan alumni yang menanyakan di mana vespa itu berada, tolong dimengerti. Vespanya sudah saya jual! Kalau masih nanya lagi, saya traktir mie ayam ntar. hehe..
Sugeng tindak Pak Yan..
Matur nuwun semuanya..