Ziauddin Sardar, seorang intelektual muslim dari Barat yang lahir tanggal 31 Oktober1951. Masa kecilnya ia lewati di Pakistan. Bersama sang ibu, ia pertama kali mengenal bacaan Al-Quran. Sang ibu mengajarkan Al-Quran dengan penuh cinta, sehingga Sardar pun dengan tulus mencintai Al-Quran sebagai firman Tuhan.
Perjalanan hidup membawanya hijrah ke London. Di negara Barat tersebut, ia pun mulai berdinamika dengan rasionalitas dan tradisi ilmiah. Nalar kritisnya tumbuh, membaca Al-Quran tidak sebatas menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim, yakni menggapai pahala.
Sardar berkembang dengan pemikiran kritis. Ia mencoba mendekati Al-Quran dengan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu karyanya yang berjudul “Reading the Quran: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam” dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Ngaji Quran di Zaman Edan”. Melalui karyanya tersebut, Sardar mencoba mentadabburi ayat-ayat Al-Quran dengan mengkombinasikan metode tafsir tahlili dan juga tematik. Meskipun menggunakan metode tafsir klasik, ia mencoba mengemasnya dengan dimensi yang baru. Ia membawa pembaca untuk bertanya, apa makna ayat ini untuk situasi saat ini.
Karya-karya Sardar lainnya adalah “Why Do People Hate America?”,“How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations”, “What Do Muslims Believe? The Roots and Realities of Modern Islam”,dan“Mecca: The Sacred City”. Melalui karya-karya tersebut, ia hendak menjelaskan bagaimana Islam hadir di tengah modernitas, bercengkerama dengan kehidupan Barat.
Memang tarik ulur argumentasi seputar Islam dan Barat selalu menarik untuk diperbincangkan. Kehadiran Sardar justru untuk menegaskan bahwa ajaran Islam pun sesuai dengan kehidupan di Barat. Sebab, Al-Quran juga dapat dipahami dalam perspektif kekinian.
Pendiri The Muslim Institute ini menuturkan bahwa dirinya adalah tipikal pecinta yang argumentatif. Cintanya kepada Al-Quran bukan cinta buta, melainkan cinta yang didasarkan pada pertanyaan dan argumentasi; apa maksud ayat ini? apakah surahnya makkiyah atau madaniyah? mengapa ayat ini menggunakan redaksi ini? apa latar belakang turunnya ayat ini? dll.
Dia menegaskan bahwa kecintaan buta sebagian umat Islam terhadap Al-Quran melahirkan pemaknaan yang literal. Dalam bahasa Fazlur Rahman, pemahaman semacam ini merupakan pendekatan yang atomistik. Sebab, pemahaman literal biasanya hanya berdasarkan makna satu ayat saja, tanpa melihat ayat-ayat lain yang setema. Padahal, salah satu metode terbaik dalam menafsirkan Al-Quran adalah penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, yufassiru ba’dhuhu ba’dh.
Pendekatan atomistik ini sering dijumpai di masyarakat. Ketika satu kelompok hanya memegang satu ayat saja, seolah ayat tersebut sudah memberikan jawaban bagi segala problem. Sampai di sini sebenarnya pendekatan literal adalah pendekatan yang sah. Karena hal ini juga bagian dari upaya memahami kitab suci.
Permasalahan muncul ketika pemahaman ini berujung pada penegasian pihak yang berbeda, pengkafiran, bahkan membunuh orang yang tidak seideologi. Inilah yang dilakukan oleh kelompok teroris. Mereka memahami ayat-ayat seputar jihad dan qital secara apa adanya, tanpa didasarkan pada pembacaan kritis. Mengapa ada ayat jihad dan qital? apa bedanya jihad dan qital? apakah ayat tersebut berlaku umum atau khusus? bagaimana kaitan ayat tersebut dengan ayat lain yang mengajak untuk meninggikan derajat manusia?dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Jika kita tulus membaca Al-Quran, maka akan ditemukan banyak ayat yang menyuruh manusia untuk menggunakan akal: afala ta’qilun, afala ta’lamun, afala tubshirun, dll. Karenanya Sardar menolak pemahaman taklid, jumud, mengikut pada ulama terdahulu tanpa melihat kebutuhan dan kondisi masa kini.
Berangkat dari realitas inilah, ia menawarkan pembacaan Al-Quran yang kontekstual, di sini dan pada masa kini. Sikap Sardar sebenarnya selaras dengan para pembaharu Islam lainnya seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan di Indonesia kita mengenal KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhammadiyah.
Menariknya, meskipun sangat menekankan pembacaan kritis dan kontekstual, ia tetap tidak menafikan peran ulama-ulama terdahulu. Dengan rendah hati, ia mengutip penafsiran dari ulama yang otoritatif dalam sejumlah karyanya. “We owe a great deal to classical commentaries”, “Kita berutang budi pada tafsir-tafsir klasik”, ungkap Sardar.
Namun, Sardar tak mau berhenti dengan sekadar meng-copy paste pemikiran ulama.Sebab, kehadiran tafsir klasik tentu sangat erat dengan konteks zaman itu. Sedangkan saat ini kita hidup dengan situasi di sini dan masa kini. Meski demikian, kita pun tidak harus menolak semua hal yang berasal dari masa lalu. Tentu ada poin-poin dari ulama terdahulu yang masih relevan hingga saat ini. Di sinilah pentingnya membaca Al-Quran juga karya tafsir secara kritis dan dinamis.
Sardar menegaskan, “Saya tak pernah percaya bahwa hanya dengan satu metode kita dapat mencapai semua pengetahuan mengenai suatu fenomena, apalagi sebuah naskah yang serumit Al-Quran. Karena itulah saya memilih beragam metode”.
Yap, dia mencoba memahami Al-Quran dengan berbagai cara, baik cara lama maupun baru. Selain itu, ia pun menyebutkan bahwa keterbatasan kita dalam mengakses bahasa Arab bukan menjadi alasan untuk tidak mau mentadabburi kitab suci lebih jauh. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menyelami firman Tuhan. Dengan demikian, Sardar mengajak kita untuk tidak puas dengan satu cara mendekati Al-Quran. Apalagi hanya selesai membaca satu versi terjemahan Al-Quran dan mematenkannya sebagai sesuatu yang sakral.
Intinya adalah senantiasa membaca Al-Quran, menghafalkan, memahami, merenungkan, dan bertanya.Setelah dapat jawabannya kemudian renungkan kembali. Siklus belajar yang tak pernah berakhir. Itulah yang harus kita lakukan.