Abraham Zakky Zulhazmi*
Bagian menarik dari diskusi buku “Dari Halliday Hingga Hannan Attaki” di Pesantren Mahasiswa (Pesma) FUD (8/5/2019) adalah suasananya yang guyub. Diikuti 50an peserta, dengan konsep lesehan di ruangan yang tak terlalu luas, diskusi terasa akrab.
Lebih-lebih sajian buka puasa dimasak sendiri oleh para santri. Nasi, sayur dan lauk dituang di atas nampan lalu disantap bersama. Sangat khas pesantren.
Atmosfer kekeluargaan begitu terasa. Bukan sekadar seremonial merayakan terbitnya buku. Meski harus berkejaran dengan waktu berbuka, buku tetap dibincang dengan hangat. Bahkan setelah menyeruput takjil, diskusi masih dilanjutkan. Seolah waktu yang tersedia masih kurang.
Muncul pertanyaan-pertanyaan menarik dari peserta. Misalnya, apa tantangan terbesar atau bagian sulit dari penerbitan buku ini? Abd. Halim yang hadir di tengah-tengah peserta berkisah bahwa menerbitkan bunga rampai selalu soal tenggat. Tidak semua penulis taat deadline tampaknya sudah jadi rahasia umum.
Ada juga pertanyaan: sebetulnya buku ini ditujukan kepada siapa? Siapa yang jadi sasaran pembaca? Dosenkah atau mahasiswakah? Generasi Z atau milenial? Atau siapa?
Vera Imanti, salah satu narasumber, bercerita tentang orang-orang yang membeli buku “Dari Halliday Hingga Hannan Attaki” melalui perantara dia. Menurutnya, ada anak SMA yang membeli buku itu, ada juga ibu-ibu yang tertarik. Artinya buku ini diminati dan cocok untuk dibaca siapa saja. Dan memang itulah tujuan buku ini ditulis, agar dapat dibaca semua kalangan.
Secara umum, diskusi itu menyimpulkan bahwa internet mengubah banyak hal dalam hidup. Penggunaan gawai oleh anak-anak misalnya. Sebagaimana yang disampaikan Vera Imanti, yang juga menggeluti dunia parenting, gawai tidak haram digunakan anak-anak, tapi penggunaanya harus dalam pengawasan orang tua. Agar anak tidak kecanduan dan bisa mengambil manfaat dari gawai dan internet.
Sebelum gawai ada dan massif digunakan, tentu permasalah tidak “sepelik” sekarang. Anak-anak zaman dulu menghabiskan waktu dengan mandi di sungai, memanjat pohon, bermain di lapangan dll. Ketika gawai hadir, banyak perubahan dan pergeseran terjadi dan tentunya butuh penyikapan-penyikapan. Di sini orang tua dituntut untuk kreatif.
Demikian juga dalam dunia dakwah. Sebagaimana yang saya sampaikan, dakwah di era digital tentu sangat berlainan dengan dakwah di masa lalu. Esensinya mungkin masih sama namun media dan metodenya berbeda. Kita berjumpa misalnya dengan Hannan Attaki yang memberi gimmick pada dakwahnya terutama dalam soal fashion (meninggalkan peci, baju koko dan sarung). Ia juga gemar main skateboard dan touring. Sesuatu yang saya baca sebagai sebuah strategi mendekati generasi Z.
Kita tentu berharap akan muncul diskusi buku berikutnya. Mengingat tema yang dimuat buku itu amatlah beragam. Perlu ada diskusi tersendiri yang membahas konseling, linguistik dst. Kita menunggu diskusi buku berikutnya yang tak kalah hangat, guyub dan gayeng. Semoga.
*Salah satu tim editor dan penulis buku Dari Halliday hingga Hanan Attaki