Alfin Miftahul Khairi*

University of Malaya adalah kampus tertua dan pertama yang didirikan di Malaysia. Dengan luas kampus 309 hektar. Pelbagai macam prestasi ditorehkan kampus masyhur ini. Selain peringkat 50 terbaik dalam bidang pendidikan se-dunia, peringkat 38 oleh Times Higher Education Asia University Ranking dan peringkat 301-350 THE World University Ranking 2019 dari 1258 institusi se-dunia. Prestasi bukan kaleng-kaleng.

Sebelum mengunjungi kampus, kami terlebih dahulu cekrek-cekrek (foto) di Twin Tower Petronas. Dari hotel tempat menginap kurang lebih lima belas menit saja perjalanan menggunakan mobil (Grab).

Sayangnya, pagi hari adalah waktu yang kurang tepat berswafoto di menara kembar itu. Gambar yang didapat kurang maksimal. Bahkan kami disarankan untuk datang lagi malam harinya oleh turis yang kebetulan ada di sana. But, it’s ok.

Puas di Twin Tower, kami melanjutkan perjalanan ke University of Malaya. Tepat jam 11.00 kami tiba di kampus. Suasana akademik yang kental begitu terasa saat pertama kali kaki menginjakkan tanah di kampus yang luas ini. Kebetulan Fakultas Pendidikan yang kami kunjungi bangunannya masih beraroma klasik. Tidak megah tapi mempesona.

Banyak pepohonan di sekitar kampus. Suasana sejuk dan rindang membuat mahasiswa UM dan kami betah berlama-lama. Terlihat sekali mahasiswa UM yang berdiskusi.

Mereka sesekali saja memegang handphonenya. Semua larut dalam lautan ‘tukar pikiran’. Belum lagi ada yang konsultasi mengenai tugas akhir ke dosen, dan mereka menggunakan bahasa Inggris.

Kami disambut oleh Ibu Ummu Hani., Ph.D. Salah satu dosen senior UM yang membantu audiensi kami dengan pihak kampus. Tidak berselang lama memasuki gedung Fakultas Pendidikan, kami bertemu dengan Ibu Rafidah., Ph.D, dosen senior Prodi Psikologi Pendidikan dan Konseling, UM. Beliau memperoleh gelar master dari University of Western Australia, Perth. Dan gelar doktoral dari Monash University, Australia. Semuanya di bidang konseling.

Hampir satu jam kami memperoleh kuliah singkat dari beliau tentang Cross-cultural Counseling di Malaysia. Materi yang disampaikan sangat padat dan jelas. Meski disampaikan dalam dua bahasa, Melayu dan bahasa Inggris. Tampak mahasiswa kami antusias mendengarkan ‘ceramah’ beliau. Yang mungkin ini pengalaman pertama mereka mendengarkan pemaparan dalam dua bahasa, bahkan lebih dominan menggunakan bahasa Inggris. Sekali lagi, bukan kaleng-kaleng.

Waktu yang singkat (hampir dua jam), membatasi kami untuk lebih mendalami ilmu baru dari beliau. Kecewa pastinya. Karena agenda berikutnya kami harus segera menuju ke daerah Shah Alam, Selangor.

Waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam dari Kuala Lumpur. Setelah bertukar cenderamata dari masing-masing institusi, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Rafidah., Ph.D dan staff yang sudah menyambut hangat kedatangan kami di UM. PEKA adalah tujuan kami selanjutnya.

PEKA singkatan dari Persatuan Kaunseling Pendidikan Malaysia. Sebuah LSM yang bergerak di bidang konseling dan psikologi terapan. Bahkan mereka pernah ke daerah yang tertimpa bencana di Indonesia, yaitu Lombok dan Aceh. Kita lebih banyak sharing tentang konseling krisis di dua negara, Indonesia dan Malaysia. Suasana kekeluargaan begitu kental meski kami terlahir di negara yang berbeda. Semua hanyut dalam diskusi panjang terkait konseling krisis. Mahasiswa kami tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk bertanya yang mungkin tidak datang dua kali dalam hidupnya. Mengobati apa yang terjadi di UM sebelumnya, karena kami tidak sempat bertanya kepada pemateri.

Tepat jam 16.45 kami berpamitan. Kebetulan di depan gedung ada pasar dadakan Ramadhan. Kesempatan kuliner untuk persiapan berbuka nanti. Banyak dagangan yang disajikan, dari berbagai macam es sampai makanan. Yang menarik adalah, ketika mahasiswa kami tawar-menawar dengan salah satu pedagang es di sana. Suasana alot karena tawar-menawar harga itu pun cair saat mereka tahu kami dari Indonesia, dan mereka ternyata orang Surabaya. Dunia tak selebar rempeyek kalau begini.

Kami membeli Ayam Percik untuk santapan berbuka. Kuliner berbahan ayam yang diolah dengan beragam jenis rempah. Mengapa Percik? Karena diolah dengan cara merendam ayam ke dalam bumbu untuk kemudian dipanggang sehingga sedikit angus. Saat dipanggang, ayam diberi bumbu tambahan dengan cara dipercik sehingga menjadikan makanan ini bernama ayam percik.

Sebelum disajikan ayam kembali dibalur dengan saus dan cabai sehingga aroma dan cita rasanya tetap terjaga dari luar dan dalam ayam. Harganya cukup membayar 7.50 RM. Murah. Plus nasi lagi.

Lokasi berbuka kami sengaja memilih di Dataran Merdeka. Satu jam lagi ditempuh dari Shah Alam. Karena berlokasi di Kuala Lumpur. Ibarat bolak-balik. Sepanjang perjalanan tidak ada hambatan sama sekali. Jika macet tidak sampai menjular berkilo-kilo. Macet tapi lancar. Jika dibandingkan dengan Jakarta, mungkin Anda tahu sendiri jawabannya. Kami terbagi tiga mobil. Saya termasuk rombongan kedua. Saat rombongan saya tiba di Dataran Merdeka, tiba-tiba (bersambung)

*Dosen Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta

Komentar