Alfin Miftahul Khairi*
Ay (21 th), mahasiswi kami, terkapar tidak berdaya di ruangan underground lapangan Dataran Merdeka. Bukan karena apa, usia kehamilannya sudah menginjak di tujuh bulan. Mungkin si baby iri melihat ibunya jalan-jalan di Malaysia. Meski dipaksakan untuk makan, terasa percuma. Karena dimuntahin lagi. Hampir setengah jam Ay lunglai sambil dikipasin teman yang duduk di sampingnya.
Pikiran saya seketika itu kabur entah kemana. Ada kekhawatiran takut terjadi apa-apa dengan mereka berdua, baby dan ibunya. Dari awal keberangkatan, kami dari pihak jurusan sudah mewanti-wanti hal tersebut. Dengan usia kandungan yang sudah mendekati semester akhir kehamilan, ibu memang harus ekstra waspada. Kekhawatiran itu akhirnya sirna juga, setelah Ay mau makan nasi meski sedikit. Alhamdulillah.
Dataran Merdeka memang pas untuk lokasi berbuka puasa. Dataran merdeka terdiri dari beberapa bangunan kuno di satu sisi dan sebuah lapangan luas di sisi lainnya. Lapangan ini merupakan saksi sejarah saat bendera Union Jack milik Inggris diturunkan dan bendera Malaysia pertama kali dikibarkan pada 31 Agustus 1957. Sejak saat itu, setiap hari kemerdekaan Malaysia di sini digelar Parade Hari Kemerdekaan.
Bangunan kuno peninggalan kolonial Inggris berjejer di seberang Dataran Merdeka. Yang paling mencolok dan terlihat sangat menawan adalah Bangunan Sultan Abdul Samad. Bangunan ini bergaya unik dengan menara jam yang dipuncaki kubah. Ada juga beberapa kubah khas masjid yang terpasang di bagian depan gedung. Bangunan klasik ini dibangun oleh A.C. Norman pada tahun 1897 dengan gaya arsitektur Mughal atau Moorish. Spot yang pas untuk jepret-jepret.
Di sebelah bangunan Sultan Abdul Samad berdiri bangunan kolonial lainnya yang ternyata adalah National History Museum atau Musium Serajah Nasional dalam bahasa Melayu. Bangunan museum ini tadinya bank tapi sejak tahun 1966 fungsinya diubah sebagai museum nasional. Di sebelah gedung terdapat Galeri Kuala Lumpur dengan tulisan ‘I Love KL’ yang ikonik. Sayangnya, langit yang mulai gelap tidak memungkinkan untuk berfoto di sana.
Kami berbuka dengan bekal yang sudah dibeli dari Shah Alam tadi. Di lapangan terbuka, semua campur baur menjadi satu. Baik wisman ataupun wisatawan lokal. Adzan berkumandang terasa syahdu di telinga kami sambil minum es campur khas Malaysia (meski yang buat orang Indo). Dari orang yang berpacaran, muda-mudi sampai yang berbuka dengan keluarga. Semua menikmati hidangan masing-masing. Nilai plusnya adalah mereka tidak membuang sampah sembarangan setelah berbuka. Semua membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan di pojok lapangan Dataran Merdeka.
Puas bercengkarama sambil berbuka, kami langsung balik ke hotel. Sepuluh menit adalah waktu yang dibutuhkan Grab untuk sampai di hotel dari Dataran Merdeka. Kami sudah harus bersiap lagi menuju tujuan berikutnya. Yaitu Petaling Street di kawasan Chinatown-nya Kuala Lumpur. Surganya tempat oleh-oleh khas Malaysia bak kawasan Pecinan di Semarang. Hanya tujuh menit dari hotel tempat kami menginap jika berjalan kaki.
Karena berada di Chinatown, Petaling street dihiasi banyak dekorasi berwarna merah mulai dari gerbangnya yang berwarna merah dengan nuansa Tiongkok. Di sepanjang jalan kios-kios juga dihiasi warna merah serta lampion. Layaknya pasar pada umumnya, barang yang dijajakan pun beraneka ragam. Dari yang asli (orisinil) sampai yang KW. Meski mayoritas barang yang dijual berlabel KW. Tawar-menawar sudah biasa antara kami dan pedagang bak di Pasar Klewer, Solo.
Kami tidak lama berada di Petaling Street. Waktu terbaik untuk berbelanja adalah mulai jam 5 sore saat cuaca tak lagi panas dan pasar malam dimulai. Biasanya Petaling akan ramai mulai jam 7 malam. Dan kami di sana saat jam sudah menunjukkan angka 10. Sebagian kios sudah menutup barang dagangannya. Terlanjur sudah sampai, kami tetap jalan saja. Menikmati malam di Petaling Street.
Suasana malam di KL tetap ramai. Apalagi tengah malam. Mobil masih saja berlalu-lalang mencari tujuan akhirnya. Jalan raya yang ‘kelihatan’ senggang kami sempatkan untuk berswafoto. MRT masih saja beroperasi. Menandakan malam masih terlalu dini untuk dininabobokan. Rasa letih baru terasa saat sampai di kamar masing-masing. Mata pun cepat terlelap dengan berbagai cerita di benak kami masing-masing. Baru dua jam mata terpejam, saya dikagetkan dengan kabar bahwa (bersambung)
*Dosen Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta